Tuesday, May 29, 2007

bulan salju...

Bisik-bisik salju, tapi bukan suara salju
Di luar salju bulan menderu
Warna bulan itu putih
Tak setiap bangku punya kekasih

- D. Zawawi Imron -

setelah hujan turun

Setelah hujan turun, seluruh permukaan bumi menjadi basah. Basah oleh setiap titik air yang sekitar beberapa jam yang lalu seperti ditumpahkan dari atas. Bress. Tapi semuanya sudah berhenti sekarang. Yang tertinggal hanyalah titik-titik air yang menggantung di pucuk daun-daun. Menetes tanpa beban ke atas tanah. Tes. Tes. Tes. Tanpa suara. Hmm.... sebenarnya lebih tepat hampir tanpa suara. Suara tetes air hujan yang menggantung di pucuk daun-daun itu begitu lirih sehingga ketika kau tidak mendengarkannya secara seksama maka kau tidak akan menangkap suaranya.
Aku suka suara tetesan air di pucuk-pucuk daun itu ketika menyentuh tanah. Merdu sekali di telingaku. Seperti sebuah simfoni. Seperti saat ini. Duduk mencangkung di terasku yang berdebu. Menatap daun-daun itu sambil mengharapkan mampu mendengar suara tetes air hujan. Suara tetes-tetes air yang mampu menjangkau kedalaman jiwaku. Mengetuknya perlahan. Memberi kententraman.
Aku membutuhkan ketentraman. Ya, paling tidak untuk hari ini. Hari ini adalah hari besar untukku. Hari ini aku mengakhiri hidup seseorang. Seseorang yang menghantuiku. Aku melakukannya dengan tanganku sendiri. Aku merasakan bagaimana darahnya mengucur deras membasahi wajahku. Mengalir turun membasuh tubuhku. Membuatnya menjadi merah. Warna merah yang kucari. Warna merah sempurna yang tidak ada duanya. Aku menikmatinya. Menikmati setiap detik nyawanya yang ditarik keluar perlahan. Mengelojot. Menggelepar. Mengejang. Ini seperti sebuah performance art. Indah. Memukau. Kadang kematian memang indah. Ya. Indah. Seperti beberapa saat lalu.
..........
Tanganku berbau amis. Sedikit memualkan. Darah yang ada di tanganku sudah mulai mengering. Aku beranjak berdiri. Melangkah ke belakang rumah menuju sumur. Genangan-genangan air sisa hujan tadi masih menggenang di sana-sini. Menimbulkan bunyi kecipak ketika kakiku menginjaknya.
Rasanya damai sekali ketika air sumur yang dingin mengenai kulitku. Warna merah muncul ketika air sumur itu membasuh tanganku. Merah yang tidak terlalu merah lagi seperti tadi. Sekarang lebih muda. Bercampur dengan air. Sekarang terbentuk aliran kecil mengular berwarna merah di sepanjang selokan kecil di samping sumur. Entah mengalir kemana. Aku tidak tahu. Apakah selokan kecil itu akan bertemu dengan sungai besar dan mengabarkan bahwa ada seseorang yang mati terbunuh dan darahnya sekarang sedang mewarnai aliran air yang mengular itu. Akankah kabar itu menyebar? Bahwa aku telah membunuh seseorang? Apa peduliku? Aku akan hadapi semuanya. Semuanya. Aku tidak takut. Ketakutan hanya menjadi penghalang bagiku. Aku sudah mengalahkan semua ketakutan itu.
Setelah tanganku bersih, aku segera menuju ke dalam rumah. Rumah ini menguarkan bau cendana. Bau yang khas. Bau ibuku. Meski bertahun-tahun telah terlampaui tetap saja bau itu tetap tertinggal di sini. Di setiap sudut kamar. Di setiap pojok ruangan. Menempel erat di setiap inci tembok dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sana. Kenanganku juga tertinggal di sana. Lekat. Erat. Kuat. Meski sekarang bau itu samar-samar bercampur dengan aroma amis darah yang memualkan. Mengganggu saja. Gerutuku jengkel dalam hati. Orang itu selalu saja. Bahkan dalam keadaan tak bernyawa pun ia masih saja menjengkelkan.
Bergegas aku menuju ke salah satu ruangan yang ada di rumah ini. Salah satu ruangan terbesar. Studio lukis ayahku. Sejak dulu aku tidak pernah suka berada di ruangan ini. Ruangan ini besar. Dengan langit-langit yang tinggi, jendela-jendela besar dari kayu jati menghadap kebun di halaman samping, lantai keramik yang retak di sana sini serta dinding kelabu yang dingin membuat ruangan ini sama sekali tidak ramah. Dingin dan berjarak. Aku selalu menggigil ketika memasuki ruangan ini. Sejak dulu saat aku kecil dan bahkan sampai saat ini.
Ruangan ini makin lama makin suram. Warna dindingnya menjadi semakin kelabu. Debu bertebaran dimana-mana. Sejumlah lukisan teronggok di pojokan. Tak terurus. Kotor dan kusam. Warna lukisan-lukisan itu sudah memudar tertutup debu. Lukisan-lukisan itu karya ayahku. Dulu begitu disanjungnya tapi sekarang lihat, tergolek tanpa daya, tertutup debu dan menjadi tak ubahnya barang rongsokan.
Di bagian lain ruangan ini tergantung lukisan yang sangat kukenal. Lukisan wajah seorang perempuan remaja. Ibuku. Wajahnya yang luruh dan redup menatap ke arahku. Matanya menatap lembut. Wajahnya masih cantik ketika dilukis. Ia pasti masih sangat muda kala itu. Ia masih begitu ceria dan bahagia. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Rona pipinya masih memerah. Gurat-gurat kesedihan di sekitar matanya belumlah nampak seperti terakhir kali aku melihatnya.
Aku tidak terlalu ingat kapan pertama kali aku melihat lukisan itu. Mungkin saat aku berusia empat tahun. Mungkin. Sejak pertama kali melihat lukisan itu aku sudah sangat menyukainya. Mungkin lukisan wajah ibuku itu adalah satu-satunya lukisan ayahku yang kusukai. Satu-satunya. Pertama dan terakhir.
Pandanganku kembali beredar memutari ruangan ini. Dan akhirnya pandanganku terhenti pada sesosok tubuh bersimbah darah yang tergolek bersandar di dinding yang sekarang tidak lagi berwarna kelabu melainkan berwarna merah darah. Matanya terpejam. Perutnya entah seperti apa bentuknya. Kedua tangannya terkulai di samping tubuhnya. Di sebelahnya bersandar sebidang kanvas besar dengan lukisan yang masih setengah jadi. Kanvas itu pun terkena bercak-bercak darah yang tak sengaja terciprat. Rambutnya yang panjang dan memutih di sana sini, tergerai kusut masai tak karuan. Ujung sebelah bawah sedikit berwarna merah. Huh, dia. Ya dia. Ia tak lagi bergerak. Napasnya sudah terbang beberapa saat yang lalu. Dunia sepertinya lebih tenang tanpa kehadirannya.
Kupandang ia sekali lagi. Pemandangan yang akan terekam kuat di kepalaku sampai kapanpun. Ia bersimbah darah di hadapanku. Hmm... Aku menarik napas dalam. Menghirup udara pengap dan dingin di ruangan ini yang bercampur dengan bau darah. Tidak terlalu mual seperti tadi. Agaknya aku sudah terbiasa. Baguslah. Paling tidak untuk beberapa jam ke depan. Aku masih ingin berada di sini. Menikmati semua kenangan yang tersisa di rumah ini. Untuk beberapa jam ke depan.
........................
Aku hanya bisa menutup telingaku rapatrapat. Suarasuara itu. Lenguhan. Desah napas memburu. Jeritan tertahan ditingkah suara tamparan dan pukulan. Makian kasar terlontar disela desah napas liar. Di ruangan sebelah entah apa yang sedang terjadi. Hanya Tuhan yang tahu dan aku.
Suarasuara itu menyiksaku. Setiap jeritan yang kudengar menusuk telingaku sampai pecah bernanah. Erang kesakitan yang kudengar dari ruang sebelah itu merontokkan jiwaku. Melumpuhkan kakiku. Membuatku tak mampu bergerak seincipun.
Kututup rapatrapat telingaku, setengah berharap suarasuara jahanam itu segera berlalu. Ingin aku masuk ke sana. Menghentikan semuanya. Tapi apa daya bocah seperti aku. Dengan tubuh ringkih tak berdaya untuk berbuat apapun.
Aku tahu apa yang terjadi di dalam sana. Aku tahu persis apa yang terjadi di sana. Aku tahu. Di dalam sana yang ada hanya perbudakan. Pelecehan besarbesaran yang pernah kusaksikan tanpa sengaja. Andai aku tak pernah menyaksikannya. Andai.
Malam itu secara tak sengaja aku menyaksikannya. Ibuku diseret masuk ke dalam ruang sebelah itu setelah pukulan demi pukulan menderanya. Pukulan yang diterima ibuku setiap hari. Pukulan tanda bahwa ia, lakilaki itu berkuasa atas ibuku. Ibuku menerimanya tanpa mengeluh sedikitpun. Tanpa kata. Pun ketika tubuhnya digelandang masuk ke dalam ruangan sebelah itu. Dilemparkan di atas kasur tua apak meruapkan bau tembakau tak sedap. Pekat menusuk hidung.
Ibuku ambruk tak berdaya di atas kasur tua itu. Lakilaki itu memburu ke arah ibuku. Membuka gaunnya dengan paksa. Napasnya mendengusdengus seperti seekor anjing buduk yang mengendus daging di tempat sampah. Lakilaki itu menindih ibuku. Mulutnya menyemburkan katakata yang bagiku mirip dengan sampah yang memenuhi sudut belakang rumah kami. Mirip. Bahkan menurutku lakilaki yang sedang menindih ibuku itu adalah bagian dari sampah yang teronggok di belakang rumah.
Ibuku masih tak berdaya. Terkangkang. Telanjang. Matanya hanya bisa menatap ke atas. Sementara lakilaki itu ada di atasnya. Air mata turun pelan di kedua pipinya. Aku tahu ia menahan sakit. Aku hanya bisa berdiri terpaku di sini. Berdiri di celah pintu yang tidak tertutup. Menatapnya ditikam binatang itu. Entah kenapa ia tidak melawan. Kenapa ia diam saja?
Tibatiba ia menoleh ke arah pintu. Tepat ke arah mataku. Ia menatapku. Aku menatapnya. Mata yang penuh dengan kesedihan itu menghujam masuk ke jantungku. Perih. Tinggalkan aku, Nak. Tidurlah. Mataku panas. Air mataku jatuh. Aku mundur dan menutup pintu. Meninggalkannya bersama lakilaki itu.
.........................
Untuk apa kau datang kemari? Tanyanya tanpa menatapku sedikitpun. Ia masih sibuk dengan lukisannya.
Kau tidak berhak datang lagi ke sini. Kau sudah kuusir pergi. Ujarnya dingin dan masih tidak beranjak dari kanvasnya. Memunggungiku. Aku tidak terlalu peduli.
Aku tahu. Aku hanya mengunjungi ibu dan menyelesaikan beberapa urusan di sini. Jangan kuatir, aku tidak akan berlamalama di sini. Kataku.
Tidak ada jawaban. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa bersuara.
Aku ingin bicara padamu. Kataku pelan. Ia tidak menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Masih tetap memunggungiku. Ia tidak peduli.
Dengan pelan kudekati dirinya.
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal.
Aku tidak peduli.
Aku tahu.
Jarakku dengannya tidak lagi jauh. Aku berdiri di sampingnya. Dengan cepat kuhunjamkan pisau yang sejak tadi kugenggam ke arah pinggangnya. Darah muncrat membasahi lantai. Ia terpekik. Kaget dan kesakitan. Ia goyah. Ia terjatuh dari kursinya.
Aku berdiri di depannya. Tidak bergerak. Hanya menatapnya. Pisauku berlumur darah. Ia mencoba berdiri memegangi pinggangnya yang berlumur darah. Kau. Ia berdiri. Mencoba menjauh. Aku berjalan mendekat. Kali ini pisauku menghunjam perutnya. Dalam. Kurasakan tanganku masuk ke dalam perutnya. Aku mau pisauku masuk sampai ke dalam sana. Kurasakan tamparan di kedua pipiku. Tamparan kuat yang kemudian melemah seiring dengan pisauku yang semakin masuk ke dalam dirinya. Cukup. Kutarik pisauku. Cukup.
Hujan turun. Deras. Bau tanah terkena hujan bercampur pekat dengan bau darah. Amis. Meruap di udara.
............................
Ibu membelai rambutku. Lembut. Dari mulutnya aku mendengar urouro pengantar tidur yang memang biasa ia nyanyikan sebelum aku tidur. Pelan, ia bersenandung. Rambutnya yang panjang tergerai dan sebagian jatuh ke atas wajahku. Membelai hidungku. Bau cendana. Bau khas ibu.
Kupejamkan mataku. Menikmati semuanya. Ibu. Pelukan hangatnya. Suaranya yang merdu mengiringiku dalam buaian. Membuai. Melambungkan aku jauh dari kenyataan. Menjauhkan aku dari setiap memar yang ada di setiap jengkal tubuh ibuku. Menjauhkan aku dari jangkauan lakilaki itu. Di sini yang ada hanyalah aku dan ibu. Dunia yang damai dan tenang. Dunia yang berwarna perak dan penuh pelangi. Dunia dimana senandung diperbolehkan dan suara perempuan didengarkan. Tak ada lagi tamparan. Tak ada lagi tendangan hanya karena tidak ada kopi di atas meja pada suatu sore. Tidak ada lagi malam penuh siksa dengan seekor anjing mengendusendus ganas di atas tubuh ibuku. Tidak ada lagi air mata. Lihatlah ibuku bahagia di sini. Lihatlah ia kembali menjadi cantik. Kerut di ujung matanya menghilang. Lihat matanya berseriseri. Lihat.
...................................
Kuturunkan lukisan wajah ibuku dari dinding. Hanya benda ini yang akan kubawa pergi. Ibuku.
Kututup pintu depan. Perlahan aku berjalan menuju ke arah pagar. Sebelum pergi kupandangi rumah itu. Rumah dimana semua kenangan dan mimpi buruk itu terjadi.
Selamat tinggal. Semua sudah selesai. Mimpi buruk sudah berakhir. Aku pergi.
...................................
Matanya nanar menatapku. Tak percaya. Kau. Mulutnya membuka mengeja namaku. Terpatah-patah. Ia memegangi perutnya yang terbuka. Darah menyembur keluar tanpa kendali. Menyembur. Memancar seperti pancuran di depan rumah kami. Kali ini berwarna merah. Ia terhuyung-huyung. Dan akhirnya jatuh tersungkur ke atas lantai. Tangannya menudingku. Bola matanya menatapku lekat.
Mengapa?
Aku hanya tersenyum. Senyum yang entah bagaimana caranya kembali lagi ke dalam diriku setelah sekian belas tahun menghilang.
Apakah ini semua membutuhkan jawaban? Balasku.
Ya.
Kudekati ia. Duduk di hadapannya. Kutatap matanya. Mata yang telah bertahun-tahun memenjarakan aku ke dalam kesedihan dan keputusasaan tanpa batas. Menghantuiku. Mengikutiku kemanapun aku pergi.
Ibu. Jawabku. Akhirnya.
Ia menatapku lagi. Kali ini ia hanya diam. Matanya memancarkan suatu pemahaman akan jawabanku tadi. Ia memejamkan matanya. Dengan susah payah ia berusaha menyandarkan tubuhnya di dinding. Darah semakin lama semakin membanjir. Ia tak akan lama bertahan.
Ibumu. Kau benar. Ini untuk ibumu. Tidakkah untukmu juga? Sebuah pembalasan?
Ia tahu. Aku hanya tertawa. Ya. Ini untukku juga.
Pembebasan jiwaku yang sekian lama terkurung dalam ketakutan. Kau tahu.
Ia hanya menghela napas. Napasnya kian berat. Satu. Satu. Dadanya naik turun dengan berat. Nyawanya sudah mulai memanjat naik ke tenggorokannya. Aku tinggal menunggu saatnya. Aku akan sabar menunggunya. Aku menikmati hal ini.
Kau puas? Tanyanya dengan terengah. Nyawanya sudah ada di ujung anak tekak sekarang.
Ya.
Sekarang nyawanya sudah berada di ujung lidah dan napasnya pun berhenti bersamaan dengan matanya yang menutup. Akhirnya. Aku terbebas.
Sampaikan salamku untuk ibu jika kau berjumpa dengannya di sana. Aku rindu padanya.
..................
Sudah selesai. Aku bebas.
Ia. Laki-laki itu. Ayahku.

FIN

05.03.07 22.24...

Saturday, May 26, 2007

aku, kamu dan percakapan kita sore tadi...

Kamu : hidup menuju kematian, kenapa takut? Hari ini aku datang ke pemakaman mbahnya Slamet. Aku membayangkan kalau itu adalah aku. Berat rasanya.
Kamu : aku tidak bisa tenang lagi menunggu hasil tes!
Kamu : Oya, besok kamu mengajar kan? Aku mau ngobrol denganmu serius tentang hasil tesku. Rencananya jam 1. bagaimana?
Aku : besok setelah aku mengajar ya...
Aku : aku tidak tahu harus bilang apa. Katakata hanya akan menjadi klise tapi aku cuma bilang kalau aku tidak meninggalkanmu. Apapun hasil tesmu. Aku tidak berjanji tapi aku berusaha. Aku sudah mempersiapkan diri untuk hasil terburuk.
Kamu : terima kasih. Aku tidak bisa tenang. Aku takut kamu akan pergi. kalau HIVnya, itu adalah buah dari masa laluku. Aku ingin memelukmu. Boleh tidak?
Aku : silakan. Dengan senang hati...
Kamu : besok apapun hasilnya. Positif atau negatif, aku masih tetap boleh memelukmu to? Menciummu?
Aku : boleh...
Kamu : kamu tidak takut?
Aku : kalau kamu positif, tentu saja ada batasnya. Kau tidak mau membunuhku kan?
Aku : aku tidak bilang bahwa aku tidak takut. Aku hanya manusia biasa. Yang coba kulakukan adalah menghadapinya. Melihatnya lebih dekat. Itu saja.
Kamu : gila jika ketika aku tahu bahwa aku positif terus mau menularkan itu ke kamu! Aku tidak sejahat itu. Mungkin aku akan memilih pergi saja. Aku tidak mau menjadi beban untukmu.

Aku : aku menghormati setiap keputusan yang kau ambil. Apapun itu. Kalau kau pikir pergi adalah jalan terbaik, aku hanya bisa membiarkanmu. Tapi jika kau memutuskan untuk tinggal, kau tahu dimana mencariku...
Kamu : kita lihat saja besok. Tapi tetap saja aku takut! Tolong sampaikan pada Tuhanmu barangkali dia mau mendengar doa untuk orang yang tidak percaya dengan keberadaanNya...
Aku : dia mendengar kok. Jangan kuatir. Dia mendengarkanmu bahkan sebelum kau minta dia mendengarkanmu. Dia mengirim aku untuk memelukmu ;-)
Kamu : aku baca buku saja dulu ya. Barangkali bisa sedikit membantu mengalihkan kekuatiranku. Sampai bertemu besok ya...

24.05.07 21.07...

Thursday, May 24, 2007

shadows...

saya sayang kamu. jangan takut... hanya itu yang bisa saya katakan saat ini. jangan takut...

Wednesday, May 16, 2007

abuabu

bolehkah saya peluk kamu? saya ingin menangis...