Monday, December 22, 2008

.....

: K.W.

Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: ingin sampai rumah saat senja supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.

Ah cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk, uang makin banyak maunya, jalanan macet, akhirnya pulang terlambat. Seperti turis lokal saja, singgah menginap di rumah sendiri buat sekedar melepas penat.

Terberkatilah waktu yang dengan tekun dan sabar membangun sengkarut tubuhku menjadi rumah besar yang ditunggui seorang ibu. Ibu waktu berbisik mesra: "Sudah kubuatkan sarang senja di bujur barat tubuhmu. Senja sedang berhangat-hangat di dalam sarangnya."


(citacita, joko pinurbo, 2003)

Saturday, December 20, 2008

all you get from love is a love song

Like sailin' on a sailin' ship to nowhere
Love took over my heart like an ocean breeze
As seagulls fly I knew that I was losin'
Love was washed away with the driftin' tide

Oh, it's a dirty old shame
When all you get from love is a love song
That's got you layin' up nights just waitin' for the music to start
It's such a dirty old shame when you get to take the blame for a love song
Because the best love songs are written with a broken heart

And now the tears in my eyes are ever blinding
The future that lies before me I cannot see
Although tomorrow I know the sun is rising
Lighting up the world for everyone, but not for me


(all i get from love is a love song, the carpenters)


kisah mengenai manusia siput yang mengatakan "tidak" kepada saya bertahun lampau...

: manusia siput di rumah gereja putih, di hari minggu hujan...


Seseorang dari folder lama saya baru saja mengabarkan bahwa ia akan bertunangan. Seseorang ini tidak pernah mau memanggil langsung nama saya. Tidak pernah. Akunya dulu pada saya, karena ia tidak berani. Ia tidak akan pernah bisa memanggil saya dengan nama saya. Ia selalu memanggil saya dengan “mbak” alih-alih nama saya. Saya merasa tua sekali waktu itu dan memintanya memanggil dengan nama saja, tapi ia bersikukuh bahwa biarkan saja begitu adanya. Biarkan saja “mbak” itu sebagai penghormatan pada saya. Penghormatan? Saya tidak terlalu membutuhkan itu. Baginya itu sebuah penghormatan. Bagi saya itu adalah sebuah jarak yang diciptakan untuk membuat saya tahu bahwa ada halaman yang tidak boleh saya lintasi. Jarak yang terus menyadarkan saya dimana saya seharusnya. Bahwa halaman itu berpagar dan saya tidak diijinkan masuk ke dalam karena dia tidak memberikan kuncinya kepada saya. Kuncinya –jelas ka, diberikan pada orang lain.


Begitulah sekian tahun berteman dengannya –bisakah itu disebut dengan pertemanan sementara saya tampak sebagai Attila the Hunt, sang agresor, pihak yang sangat mengintimidasi tanpa saya berkata apapun– ia tetap tidak mau mengecilkan jarak di antara kami. Dan akhirnya saya menyerah untuk tidak memaksanya lagi. Saya menyerah, untuk kemudian mundur. Kemudian kami sibuk dengan hidup masing-masing. Hubungan kami hanya sebatas itu. Saling berkirim kabar, bertanya bagaimana hidup masing-masing, kemudian menghilang, dan kemudian ia muncul lagi dengan berita itu. Berita yang saya tahu pasti akan sampai ke telinga saya, dan saya tahu saya akan seperti ini: bengong dan berderaiderai. Saya tahu, saya bisa memastikan bagaimana reaksi saya, dan tetap saja saya tidak mampu mengendalikan lonjakan rasa sedih itu. Saya merasa sekali lagi ditinggalkan. Dibiarkan berdiri di luar pagar, dan saya merasa sebagai tamu tidak diundang. Yang hanya boleh melihat kehangatan di dalam rumah dari pintu luar pagar.


Ya, saya sudah lama berlalu dari pintu pagar itu. Mencari pintupintu lain yang terbuka bagi saya, mengetuknya dan menanyakan kemungkinan apakah saya bisa masuk dan tinggal. Tapi saya selalu memandang rumah dan pintu pagar itu dari jauh jika saya lewat. Masih tetap sama. Saya tidak diundang. Sampai hari ini datang.


Dia dulu berkata “tidak” untuk saya. Kata “tidak” dengan nada getir. sekarang pun sama. Jelas. Saya membayangkan bagaimana dia sekarang ini. Bahagiakah ia? Seingat saya gadis yang akan dinikahinya itu adalah gadis pujaannya sejak dulu. Begitu ia bercerita pada saya. Dulu saya membayangkan bagaimana gadis itu. Apakah ia seperti saya? Apa yang ia suka? Betapa tidak berharganya pikiranpikiran seperti itu, tapi saat itu saya tidak mampu mengendalikannya. Itu datang begitu saja. Sesuatu yang tidak terlalu penting lagi saat ini. Dan memang tidak perlu dipikirkan.

Saya tidak tahu apa yang saya pikirkan waktu itu. Hmm...sepertinya waktu itu terjadi, sudah puluhan tahun yang lalu. Yang saya tahu, saya merasakan banyak sekali kupu-kupu dalam perut saya. Banyak sekali. Dan saya merasa jadi lebih sering tersenyum. Kawanan kupukupu itu memang dahsyat. Sampai sekarang masih saya simpan kupukupu dalam perut itu dalam sebuah kotak. Sudah membeku seperti sebuah hiasan serangga yang diawetkan teronggok di buffet, di ruang tamu. Tidak sama seperti dulu. Jejaknya hanya ada dalam ingatan saya. Hanya itu yang tersisa. Tapi mengapa tetap saja mata saya basah seperti ini?


Orang ini, manusia siput yang mengatakan “tidak” kepada saya bertahun lampau, saya ternyata menyayanginya. Perasaan itu tenang. Tidak bergejolak. Bukan masanya lagi. Masa itu sudah lewat. Saya tahu ini akan menjadi seperti yang dibilang ibu paus bungkuk kawan saya yang berada di dekat amerika sana –laten. Sesuatu yang laten akan menjadi abadi dan hidup di dalam diri saya, dan saya tidak perlu menengok ke tempat lain lagi, kecuali dalam diri saya sendiri.


Tapi saat ini biarkan saya menangis sepuasnya, di rumah siput ini, di hadapan setumpuk pekerjaan yang ternyata menjadi korek api ajaib saya, yang memberi saya kehangatan dan kekuatan, betapapun saya sangat lelah menghadapinya.


Ibu angsa, rumah siput, Sarah McLachlan, Carpenter, dan Enzo Lorenzo Alfonso di kolong meja untuk malam ini...


Barangkali telah kuseka namamu

Dengan sol sepatu

Seperti dalam perang yang lalu

Kauseka namaku

Barangkali kau telah menyeka bukan namaku

Barangkali aku telah menyeka bukan namamu

Barangkali kita malah tak pernah di sini

Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi

(Barangkali Telah Kuseka Namamu, G.M., 1973)


PS: doa saya selalu untukmu. Selalu...


Rumah siput, 19.12.08, 23.00...

Sunday, December 14, 2008

a sort fairy tales for today...


Blood roses
Blood roses
Back on the street now
Blood roses
Blood roses
Back on the street now
Can't forget the things you never said
On days like these starts me thinking
When chickens get a taste of your meat girl
Chickens get a taste of your meat yes

You gave him you blood
And your warm little diamond
He likes killing you after you're dead
You think I'm a queer
I think you're a queer
Said I think you're a queer
I think you're a queer
I shaved every place where you been boy
I said I shaved every place where you been yes

God knows I know
I've thrown away those graces
God knows I've thrown away
Those graces
God knows I know
I've thrown away those graces

The Belle of New Orleans tried to show me
Once how to tango
Wrapped around you feet
Wrapped around like good little roses

Blood Roses
Blood Roses
Back on the street now
Blood Roses
Blood Roses
Back on the street now
Now, Now
Now you've cut out the flute
From the throat of the loon
At least when you cry now
He can't even hear you
When chickens get a taste of your meat girl
Come on
Come on
Come on
Come on
Come on
Come on
Come on
Come on
Come on
When he sucks you deep
Sometimes you're nothing but meat


(blood roses, tori amos)