Sunday, December 6, 2009

for what i am now, trying to be happy ;)

If I was a flower growing wild and free
All I'd want is you to be my sweet honey bee.
And if I was a tree growing tall and green
All I'd want is you to shade me and be my leaves

If I was a flower growing wild and free
All I'd want is you to be my sweet honey bee.
And if I was a tree growing tall and green
All I'd want is you to shade me and be my leaves

All I want is you, will you be my bride
Take me by the hand and stand by my side
All I want is you, will you stay with me?
Hold me in your arms and sway me like the sea.

If you were a river in the mountains tall,
The rumble of your water would be my call.
If you were the winter, I know I'd be the snow
Just as long as you were with me, when the cold winds blow.

All I want is you, will you be my bride
Take me by the hand and stand by my side
All I want is you, will you stay with me?
Hold me in your arms and sway me like the sea.

If you were a wink, I'd be a nod
If you were a seed, well I'd be a pod.
If you were the floor, I'd wanna be the rug
And if you were a kiss, I know I'd be a hug

All I want is you, will you be my bride
Take me by the hand and stand by my side
All I want is you, will you stay with me?
Hold me in your arms and sway me like the sea.

If you were the wood, I'd be the fire.
If you were the love, I'd be the desire.
If you were a castle, I'd be your moat,
And if you were an ocean, I'd learn to float.

All I want is you, will you be my bride
Take me by the hand and stand by my side
All I want is you, will you stay with me?
Hold me in your arms and sway me like the sea.


(all i want is you, barry louis polisar)

Sunday, November 15, 2009

daughter and father

Saya membaca tulisan si ibu paus dalam catatan hariannya bahwa ia sudah berhenti mencintai ayahnya sejak lama. Saya tertawa. Cerita yang sama agaknya. Saya sendiri sudah berhenti mencintai ayah saya sejak usia saya sembilan tahun. Berabad lalu. Dan yang tersisa saat ini adalah bongkahan batu yang saya bawa di punggung dan hati saya kemanapun saya pergi. Sesuatu yang memang menjadi konsekuensi logis dari apa yang saya lakukan: menghentikan segala rasa cinta saya. Membuat jarak dengan segala hal yang berkaitan dengan dirinya.

Saat ini yang tersisa dari hubungan kami hanyalah hubungan berjarak yang hanya saling bertemu setiap akhir pekan tanpa menyapa tapi saling tahu keberadaan kami masing-masing. Saya tidak menyesal dengan itu. Saya sudah mempertimbangkan semuanya. Segala keputusan yang saya ambil. Sekarang biarkan masing-masing dari kami hidup dengan cara kami sendiri. Seperti ini. Jangan coba raih saya lagi. Cukup sampai di sini.



So fathers, be good to your daughters
Daughters will love like you do
Girls become lovers who turn into mothers
So mothers, be good to your daughters too

(daughter, john mayer)

Saturday, September 26, 2009

untitled

He fills world with fantasy
There is no fence to hold me
My realm the sky, the air, the sea
While his broad arms enfold me.

I swing on the rim of the rainbow
I steal moondust to tint the dawn sky
I fill up my pockets with embryo stars
Stole from my true lover’s eye.

He gave to me Aladdin’s lamp
And polish-cloth so fine
And now I have my wishes three
He’s mine, forever, mine.

So I swing on the rim of the rainbow
Stealing moondust to tint a dawn sky
And I fill all my pockets with embryo stars
Stole from my true lover’s eye
Stole from my true lover’s eye.




:saya dapatkan ini dari sebuah buku yang tidak begitu jelas judulnya untuk saya. saya tidak begitu memperhatikannya. kisah seorang gadis pergi ke kota besar untuk menemukan dirinya dan apa yang ia mau. kisah klasik ya.

untuk perasaan aneh yang saya dapat dan saya bisa jujur mengatakannya serta menjadi diri saya sendiri. lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Wednesday, September 9, 2009

endorfin








menenangkan dan saya pun jatuh tertidur...

sore itu...

Saya sedang berbaring membaca buku. Sebuah pertanyaan dari manusia di sebelah saya membuat saya terbengong. Tidak menyangka bahwa saat seperti ini akan sampai juga kepada saya.

Manusia undurundur:
Jika manusia undurundur itu ada di sampingmu, kamu akan menanyakan apa kepadanya?


Saya belum tersadar sepenuhnya. Diam, tapi mata saya masih terpaku pada hurufhuruf yang ada dalam buku. Konsentrasi saya pecah sudah.

Saya:
Apa?


Saya tidak berani mengalihkan mata saya dari buku yang saya baca. Saya dengar ia tertawa. Tawa yang membuat saya tidak tenang.

Manusia undurundur:
Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kalau manusia undurundur yang ada dalam ceritamu itu ada di sini, kamu mau apa?


Saya terpaksa menurunkan buku saya dan menoleh ke arahnya. Sial! Saya tidak suka udara di sekitar saya. Kenapa begini? Wajah saya panas. Sial! Sekali lagi.

Saya:
Tidak akan tanya apaapa.


Jawaban bodoh. Rutuk saya. Ini pasti menggiring ke arah pertanyaan lain yang akan membuat saya semakin jengah dan terperangkap. Lihat ia tenang sekali.

Manusia undurundur:
Kenapa?


Saya:
Tidak kenapakenapa. Memang tidak akan bertanya saja. Tidak ada yang perlu ditanyakan.


Manusia undurundur:
Aku kok sepertinya kenal dengan manusia yang kamu tulis itu ya? Familiar.


Ya iyalah, batin saya. Mati saya sudah. Ketahuan. Saya tidak berani memandang ke arahnya. Begitu ia melihat mata saya, semua akan terlihat di sana. Mampus saya.

Manusia undurundur:
Itu aku kan?


Saya sudah tidak tahu bagaimana wajah saya. Pencuri yang ketahuan aksinya. Sudah kepalang basah, basah sekalian lah. Dengan wajah dan suara yang ditenangkan saya menjawab.

Saya:
Kok kamu yakin sekali?
(lantas tawa saya pecah, terbahak)

Manusia undurundur:
Terasa saja. Itu aku kan?


Saya tidak menjawabnya. Saya hanya tertawa. Tawa sudah cukup bukan untuk menjawab pertanyaan itu? Semua sudah jelas. Saya memandangnya dan ia memandang saya.

Sore itu …

08.09.09 23.42…

Sunday, August 23, 2009

.......

Still alive?

Do you miss me?

Well, you got the answer already ;p


Untuk rasa rindu kepada seseorang yang tidak berwujud. This longing…

23.08.09, 21.30…

Saturday, August 22, 2009

afternoon song

Though your wicked eyebrows call
Your nature into question
(Unangelic's their suggestion,
Witch whose eyes enthrall)

I adore you still
O foolish terrible emotion
Kneeling in devotion
As a priest to his idol will.

Your undone braids conceal
Desert, forest scents,
In your exotic countenance
Lie secrets unrevealed.

Over your flesh perfume drifts
Like incense 'round a censor,
Tantalizing dispenser
Of evening's ardent gifts.

No Philtres could compete
With your potent idleness:
You've mastered the caress
That raises dead me to their feet.

Your hips themselves are romanced
By your back and by your breasts:
By your languid dalliance.

Now and then, your appetite's
Uncontrolled, unassuaged:
Mysteriously enraged,
You kiss me and you bite.

Dark one, I am torn
By your savage ways,
Then, soft as the moon, your gaze
Sees my tortured heart reborn.

Beneath your satin shoe,
Beneath your charming silken foot.
My greatest joy I put
My genius and destiny, too.

You bring my spirit back,
Bringer of the light.
Exploding color in the night
Of my Siberia so black.

(Charles Baudelaire)

been there...





it's easy to leave than to be left behind
Leaving was never my proud
Leaving New York never easy
I saw the light fading out

(soundtrack: Leaving New York-REM)



saya menemukan ini di blog tante rambut ungu. tulisantulisannya dua tahun lalu. betapa waktu telah berjalan dengan cepat dan meninggalkan jejak untuknya. jejak yang saya yakin membuat dia menjadi dewasa dan mencapai titik ini. jejak yang juga saya punya di dua tahun yang lalu. di dua tahun lalu. betapa pendeknya waktu, betapa dalamnya jejak yang ditinggalkan...

dua tahun lalu..., leaving behind was never easy..

tante rambut ungu, senang berjumpa denganmu di titik ini...

Friday, August 21, 2009

bagaimana jika....

bagaimana jika saya masih ada di tempat itu?
bagaimana jika saya tidak pernah mengambil keputusan ini?
bagaimana jika saya tidak pernah melakukan itu?
bagaimana jika saya tidak pernah mencintainya?
bagaimana jika saya tidak mempedulikannya sejak awal kami bertemu?
bagaimana jika saya tidak mau membuka hati saya kepada orang lain?
bagaimana jika semua perkataan orang tentang saya itu ternyata benar?
bagaimana jika semua ini berakhir?
bagaimana jika saya menemukan orang yang saya cari?
bagaimana jika saya sendirian sampai nanti?
bagaimana jika saya berjalan ke dalam laut seperti yang sering saya pikirkan itu?
bagaimana jika hidup saya berakhir?
bagaimana jika semua yang saya miliki lenyap?
bagaimana jika saya tidak pernah ada di sana saat itu?
bagaimana jika saya tidak menemukan diri saya?
bagaimana jika saya .....

bagaimana jika....

bagaimana jika....

sejuta hujan badai bagaimana jika ada di kepala...


bagaimana jika......

Tuesday, August 18, 2009

Wednesday, August 5, 2009

......................

if memories could be canned, would they also have expiry dates? (Chungking Express)

Saturday, July 25, 2009

bercakapcakap dengan diri sendiri

Apa kabar?

Baikbaik saja.

Hidup anda?

Hidup saya sejauh ini baikbaik saja. Seperti yang saya katakan tadi bukan? Masih menjalani rutinitas seperti biasa. Mencoba menikmatinya. Tidak persis seperti yang saya inginkan memang tapi it’s oke.

Anda tampak bahagia dan riang gembira akhirakhir ini. Ada kejadian khusus? Ataukah ini karena manusia undurundur itu?

(membelalak, lalu tertawa)


Hahahahaha!! Anda bisa saja.

Benar. Anda jadi lebih sering tersenyum sendiri. Perasaan yang anda alami saat ini tampaknya memberi pengaruh besar pada mood anda.

Mungkin juga. Saya memang merasa lebih gembira akhirakhir ini. Efeknya tentu saja berseriseri dan sering tertawa sendiri. Perasaan saya jadi lebih ringan akhirakhir ini. Saya suka itu.

Saya juga suka ketika anda tertawa dan tersenyum seperti itu. Lebih segar. Manis.

Hahahahahahaha!!! Terima kasih. Pujian yang membuat saya melambung.

Hahahaha!! Anda lucu kalau anda tahu. Tapi satir sesekali.


Anda benar. Lagilagi. Saya lucu, memang. Saya satir, saya juga tahu. Bukan hanya sesekali, sering mungkin lebih tepat.

Oke, cukup dengan itu. Sekarang, bagaimana dengan manusia undurundur itu? Anda menyukainya ya?

Dia? Hmmm, memang saya menyukainya. Dia baikbaik saja. Menikmati hidupnya agaknya. Dan saya tertarik padanya karena itu.

Bukan karena humble-nya itu? Atau low profile-nya itu?


Itu juga. Itu yang membuat saya tertarik padanya.

Bagaimana sih sebenarnya awal mula dari semuanya ini?


Awalnya? Jangan tanya mengenai hal itu. Saya sendiri bingung bagaimana menjawabnya. Bingung bagaimana semua ini bisa dimulai. Tapi seperti anda tahu, kadangkadang kita tidak membutuhkan alasan spesifik untuk menyukai seseorang bukan? Semua terjadi begitu saja. Jadi sudah tidak terlalu penting untuk merunut darimana awalnya. Mungkin gambarannya seperti ini: saya mendekat kepadanya dan menariknya mendekat ke arah saya. Jadi sudah ruwet dan tidak bisa dirunut lagi. Tapi siapa peduli dengan hal itu kan?

Tapi ketika itu menyangkut anda –anda kan sering mengatakan, tidak ada yang kebetulan dan semua pasti ada alasannya—pasti ada alasannya.

Seharusnya iya, tapi kali ini saya tidak menemukannya. Tahutahu saya sudah menyukainya. Mungkin karena bergaul dengannya secara intens ya. Saya jadi mengenal sisi dirinya. Meskipun belum semuanya. Terlalu dini kalau saya jadi menyukainya membabi buta. (tergelak). Dan saya tidak mau seperti itu.

Menyukainya membabi buta? Maksudnya?

Menyukainya dengan sangat dan berharap banyak padanya. Itu yang saya maksudkan. Saya belajar banyak.

Dari hubungan anda sebelumnya? Begitu?


Iya. Bukan hubungan yang menyenangkan, tapi memberi saya banyak pelajaran. Saya kehilangan banyak, tapi saya juga belajar banyak hal dari hal yang sudah berlalu itu. Dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.

Peristiwa yang telah lalu membekas sekali ya untuk anda? Saya melihat anda jadi lebih berhatihati dan menjadi lebih keras pada diri anda sendiri? Anda tidak menyalahkan diri anda bukan mengenai yang telah berlalu itu?

(diam) peristiwa yang telah lewat itu memang membekas sekali dalam diri saya. Saya rasa bekasnya masih terlihat hingga saat ini. Tapi saya somehow bersyukur telah keluar dari hubungan itu dan mampu melewatinya. Bukan hal yang mudah. Ada banyak saat ketika saya menyalahkan diri saya sendiri kenapa itu bisa terjadi. Kalau saya begini, pasti tidak akan begitu dan bla bla bla banyak hal lain. tapi sekali lagi saya bersyukur sekali bahwa saya sudah melaluinya.

Saya paham dengan itu. Paham. Saya melihat anda sudah baikbaik saja. Saya senang sekali melihatnya. Dan yang lebih menyenangkan, anda mulai menyukai orang lain. tindakan yang berani, saya mendukungnya sepenuh hati.

Terima kasih. Saya memang membutuhkan dukungan.

Ketika anda melihat hubungan yang telah lalu itu sekali lagi, apa yang anda rasakan?

Ketika saya melihat lagi hubungan itu dengan kacamata saya sekarang, saya memang masih merasa sedih, tapi bukan sesuatu hal yang akan menghentikan langkah saya. Saya melihatnya sebagai salah satu bagian dari hidup saya. Itu saja. Saya masih menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga.

Lalu bagaimana dengan perasaan anda dengan orang itu?

Orang itu? Siapa? Si pak tani itu?

Iya. Bagaimana perasaan anda padanya? Anda masih mencintainya?

Ya. Perasaan saya padanya masih tetap sama seperti dulu. Tidak berubah. Masih ada rasa marah yang belum tersampaikan, tapi saya mencoba berdamai dengan hal itu.

Anda tidak membencinya?

Saya ingin membencinya tapi ternyata saya lebih hebat dari yang saya sangka. Saya tidak bisa membencinya. Bagaimanapun juga melalui dirinya saya belajar banyak.

jika ada kesempatan bertemu dengannya kembali, anda ingin bersamanya lagi?


Tidak.

Kenapa?

Saya merasa ada beberapa hal yang berubah dari saya dan saya menyukai perubahan itu. Perubahan itu juga terkait dengan sudut pandang saya terhadapnya. Dan lagi saya merasa sudah cukup dengan hubungan dengannya kemarin itu. Sudah cukup. Saatnya mencoba hati baru, hari baru dengan orang baru.

Bagus. Tapi jika anda punya kesempatan untuk bertemu dengannya, dan dia ingin bertemu dengan anda, apakah anda akan menemuinya?

Mungkin.

Anda akan mengatakan apa?

Saya tidak tahu. Hmm, mungkin saya akan mengatakan bahwa saya memaafkannya. Ketika saya memaafkannya, saya memberi kesempatan kepada diri saya untuk memaafkan diri saya sendiri.

Paham. Kita kembali ke manusia undurundur itu ya. Tampaknya lebih menyenangkan membicarakannya daripada membicarakan hubungan anda yang telah lalu itu.


Hehehe, iya.

Anda sepertinya lebih santai menghadapi perasaan anda kepada manusia undurundur itu?

Iya. Saya lebih santai. Tidak terbebani apapun. Karena memang saya sejak awal sudah nothing to lose. Kali ini saya tidak peduli.

Dia sendiri bagaimana?

Saya tidak tahu. Saya juga tidak terlalu peduli dia berpikir apa tentang saya.
Palingpaling dia hanya menganggap saya perempuan sinting. Tidak ada masalah dengan itu. Ini murni untuk diri saya sendiri. Ini semacam doping untuk saya. Sepanjang saya bahagia (tanpa merugikannya juga), saya lakukan.

Pernah terpikir dia juga menyukai anda?

Tidak. Saya malah tidak berpikir ke sana. Saya tidak terlalu peduli. Ada banyak perempuan lain, kenapa harus menyukai saya? Saya terlalu berlebihan jika berpikir bahwa dia menyukai saya.

Bagaimana jika dia memang menyukai anda?

Hahahahaha!!! Tidak bagaimana bagaimana. Itu bisa dibicarakan. Bisa diatur.

Kalau dia mengajak anda berjalan bersamanya? Anda bagaimana?

Saya jelas tidak akan menolaknya hahahahaha!!!! Bodoh jika saya melewatkan kesempatan itu. Dia bukan orang yang saya inginkan dan harapkan memang, tapi saya rasa dia bisa menjadi kawan berjaga yang lebih baik. Bahkan mungkin lebih dari orang yang saya harapkan.

Great! Lalu apa kabar manusia harimau?

Dia? Hmm, saya tidak tahu. Tampaknya sibuk dengan hidupnya sendiri. Saya tidak terlalu memikirkannya akhirakhir ini.

Tidak mencoba mengirimkan sms untuknya? Atau melalui Facebook mungkin?

Saya memang tidak mau mengsmsnya. Saya tidak mau menggaruk gatal yang masih bisa saya tahan hehehe. Melalui Facebook, saya hanya mengirimkan pesan singkat. Sudah cukup bagi saya.

Anda masih menyukainya?

Masih. Tapi saya simpan dalam hati saja. Mungkin suatu saat nanti saya bisa mengatakannya.

Anda masih yakin kalau dia menyukai anda juga?

Masih. Saya masih tetap yakin bahwa ia menyukai saya, hanya saja terlalu takut untuk mengatakannya.

Anda kecewa?

Tidak. Mungkin memang itu jalan terbaik menurutnya. Saya tidak terlalu peduli. Saya menikmati perasaan saya kepadanya.

Termasuk melihat profile-nya di Facebook?

Hahahahaha!!! Benar sekali. Terima kasih kepada Facebook.

Bagaimana dengan keinginan anda untuk sekolah lagi? Sudah kesampaian?

Belum. Belum punya uang. Mungkin tahun depan.

S2 IRB atau S1 Psikologi ekstensi?

Mungkin S1 Psikologi dulu. Saya tertarik Psikologi sejak lama. Sahabat saya bilang, saya pengen masuk psikologi untuk menerapi diri sendiri hehehe.

Benar juga. Mengingat anda tertarik psikologi klinis, tapi ini lebih terkait dengan profesi anda sebagai guru itu bukan?


Iya. Saya merasa bekal saya sebagai guru belum cukup tanpa psikologi.

Anda sudah memutuskan untuk mengajar rupanya?

Iya. Saya mencintainya. Profesi saya dan anakanak saya. Itulah mengapa saya ingin kuliah Psikologi.

Lantas bagaimana dengan IRB, antropologi, filsafat? Anda menyukainya juga kan?

Iya. Sangat. Sampai sekarang. Itu menjadi salah satu mimpi saya yang sampai sekarang saya pegang dan suatu saat kelak pasti akan terwujud. Saya yakin.

Wah, anda bakalan sekolah terus dong? Tidak bosan?

Tidak. Saya suka sekolah. Saya tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang saya dapat.
Doakan saja semoga saya ada rejeki dan bisa mewujudkannya>

Pasti.Hidup anda tampaknya akan penuh dengan agenda sekolah dan bekerja, apakah anda tidak berpikir mengenai pasangan?

Hahahaha!!! Jelas berpikirlah. Saya masih merasa membutuhkan pasangan. Agenda sekolah dan bekerja tidak akan melupakan keinginan saya untuk berpasangan.

Kalau menikah?

Saya tidak tahu. Saya tidak punya rencana menikah sampai detik ini. Saya masih merasa tidak memiliki cukup energi untuk menikah. Tapi suatu saat nanti mungkin saja. Kita toh tidak akan pernah tahu apa yang menunggu kita di depan to? Jadi saya jalani saja.

Bagaimana dengan memiliki anak dan menjadi seorang ibu?

Saya ingin memiliki anak. Ya. Saya tahu saya ingin. Tapi itu pun bukan harga mati. Hidup saya, saya yakin, tidak akan sepi dari anakanak, mengingat saya adalah guru PG dan TK. Jadi pasti saya akan tetap terhibur jika pada akhirnya saya melajang. Menjadi seorang ibu dan memiliki anak bukanlah hal mainmain bagi saya. Saya hanya sering terpikir apakah saya punya cukup energi untuk menjadi ibu bagi anak saya. Bagaimana kalau saya bukanlah ibu yang baik? Saya tidak mau menciptakan monster.
Jadi, menjadi ibu dan memiliki anak adalah rencana jangka panjang sekali. Sekali lagi bukan harga mati.

Tampaknya anda sudah membikin keder orangorang yang mungkin berprospek menjadi pasangan anda dan mungkin ayah dari anak anda.

Hahahaha! Anda benar sekali. Sudah biasa kok. Bukan hal baru bagi saya.

Rencana hidup anda ke depan?

Sekolah lagi, berkomitmen dengan ibu paus bungkuk membantu menjalankan bioskopnya, pengen mengajar anakanak berkebutuhan khusus, menjaga taman bermain saya, belikan ibu mesin cuci, menambah jam terbang sebagai editor lepas dan penerjemah, punya sekolah sendiri.

Anda serius dengan sekolah sendiri itu?

Iya. Rencana jangka panjang juga. Masih ada di kepala sih. Tapi sudah ada nama untuk itu.
Nyicil nama.

Apa namanya?

Rumah Matahari atau Rumah Kue Jahe.

Heh? Kok aneh?

Hehehe, biasalah saya.

Good luck dengan mimpi anda itu ya.

Terima kasih. Saya butuh penyokong dana juga. Mungkin bisa bantu?

Boleh. Kalau ada kemauan pasti ada jalan.

Sip. Anda mau pergi sekarang?

ya. Mendung nih. Tampaknya akan turun hujan. Saya mau hujanhujan. Anda sendiri kan harus istirahat to? Saya lihat anda kecapekan. Saya pergi dulu. Lain kali saya datang lagi dan kita bisa membicarakan hal lain.

oke. Saya tunggu.

Oya, tetap mendekat ke manusia undurundur itu ya?

Kenapa?

Saya lihat dia mampu membuat anda tertawa dan menjadi diri anda sebenarnya. Mungkin memang benar apa yang dikatakan ibu paus bungkuk, dia menunggu gilirannya untuk terlihat oleh anda.

Mungkin saja. Saya senang mampu melihatnya sekarang.

Enjoy life ya.

Iya. Terima kasih.



25.07.09 14.16…

Sunday, July 12, 2009

sekarun





dia dan semua anak adalah salah satu alasan saya mencintai apa yang saya kerjakan selama ini: menjadi guru play group dan TK. saya menemukan sesuatu yang membuat saya hidup. tangisan, bau ompol, berak, muntahan, teriakan, tawa mereka membuat saya utuh menjadi diri saya. termasuk menyembuhkan diri saya sendiri.

terima kasih nak, memberi kesempatan pada saya untuk mencintaimu dan menyembuhkan diri sendiri melalui itu.

saya mencintaimu, dan terlebih lagi saya mencintai saya yang mencintaimu...

Saturday, June 20, 2009

minuscule

liliput. kirikou. le trop petite prince. tinkerbell. semua berawal dari yang kecil seperti mereka. lalu mengapa saya masih merasa begitu kecil dan semakin kecil saja? mungkin memang "kecil" itu tidak ada salahnya. lalu mengapa saya masih mempertanyakan itu?

tampaknya saya memang belum selesai dengan diri saya sendiri...

Friday, June 19, 2009

bintang kecil

: untuk harihari flu, segudang mimpi, dan sejuta kewajiban...


dalam gelap terpancar sinarmu
dari mana asalnya, ku tak tahu.
sepertinya dekat, tapi sekaligus jauh
ku tak tahu siapa namamu.
tapi apapun engkau:
bersinarlah, bintang kecilku!


(berdasarkan lagu anakanak tradisional Irlandia: termuat dalam Momo)




Saturday, June 13, 2009

if i don't try, i don't hope...

"pasti, akan berjumpa lagi..."


saya hanya tertawa ketika melihat message itu ada di kotak saya. tertawa saja sudah cukup untuk menjawab apakah pesan saya dibaca atau tidak. dan itu ternyata menimbulkan harapan. harapan sekecil apapun agaknya (kali ini)lebih baik dipelihara. entah sebagai apa atau berkembang menjadi apa.

paling tidak, ada yang saya tunggu kali ini. senyum...


if i don't try, i don't hope (the corrs)

Saturday, May 30, 2009

sorry to my self

For hearing all my doubts so selectively and
For continuing my numbing love endlessly.
For helping you and myself: not even considering
For beating myself up and over functioning.

To whom do I owe the biggest apology?
No one's been crueller than I've been to me.

For letting you decide if I indeed was desirable
For myself love being so embarrassingly conditional.
And for denying myself to somehow make us compatible
And for trying to fit a rectangle into a ball.

And
To whom do I owe the biggest apology?
No one's been crueller than I've been to me.

I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else.
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else.

For blaming myself for your unhappiness
And for my impatience when I was perfect where I was.
Ignoring all the signs that I was not ready,
And expecting myself to be where you wanted me to be.

To whom do I owe the first apology?
No one's been crueller than I've been to me.

And
I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else.
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else.

Well, I wonder which crime is the biggest ?
Forgetting you or forgetting myself...
Had I heeded the wisdom of the latter,
I would've naturally loved the former.

For ignoring you: my highest voices.
For smiling when my strife was all too obvious.
For being so disassociated from my body,
And for not letting go when it would've been the kindest thing.

To whom do I owe the biggest apology?
No one's been crueler than I've been to me.

And
I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else.
I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else


(sorry to my self, alanis morissette)

Monday, May 25, 2009

awan biribiri dan cuaca hari ini...

hari ini mungkin pengaruh cuaca yang mendung, mendadak saya merasakan sesuatu. kangen. pada seseorang.

untuk kangen, hari ini, dan seseorang yang jauh...

Thursday, May 21, 2009

bobo, masa kecil, dan cerita tentang ayah...

Hari ini, malam tadi, saya bersama dua orang kawan duduk bercakapcakap di ruang tamu rumah kami. Percakapan ringan mengenai masa kecil. Menyenangkan. Kawan yang satu bertutur mengenai masa kecilnya di kampung, dimana tidak ada listrik masuk sampai ia kelas lima SD, dimana ia harus berjuang untuk sekolah. Saya sangat terkesan dengan ceritanya itu. Kata kawan saya yang satu lagi, seharusnya ia (kawan pertama) membukukan kisah itu dan memberikannya kepada anaknya kelak atau siapapun yang disayanginya, dengan tujuan supaya mereka tahu bahwa pendidikan itu sangat berharga dan berbahagialah yang masih bisa merasakan bangku sekolah tanpa susah payah seperti kawan saya itu.


Cerita berlanjut dengan cerita kawan saya yang kedua. Cerita mengenai masa kecilnya, dengan papa dan mamanya yang menganggap biasa semua prestasinya. Mengenai kedua orang tuanya yang sudah hebat dari sananya dan ia hanyalah pengikut saja dari semua tradisi hebat itu. Begitulah, tuturnya. Bahkan ketika ia juara satu di sekolahnya sekalipun. Tidak ada pujian ataupun hadiah untuk prestasinya itu. Kemudian ia berjanji untuk tidak lagi juara satu. Kemudian cerita mengenai kehidupan masa muda papa dan mamanya. Mendengar ia bercerita mengenai didikan kedua orang tuanya. Ternyata pula didikan itu yang membentuknya menjadi seperti yang sekarang ini.


Pembicaraan berlanjut, sekarang beranjak ke bacaan masa kecil. Kami menemukan satu hal yang sama: kami menggemari Bobo. Suatu kemewahan tersendiri bisa menikmati membaca Bobo saat saya kecil. Menyenangkan sekali. Kawan pertama bercerita bahwa di kampungnya tidak ada Bobo sama sekali. Ia hanya membacanya ketika ia ke rumah sepupunya di kota. Saya tertawa. Saya lebih beruntung agaknya. Saya bisa membaca Bobo sampai saya kelas enam. Kemudian membaca semua buku Enid Blyton dan jelajah perpustakaan hanya untuk memuaskan nafsu baca saya. Saya ingat itu. Kawan kedua juga tertawa. Ia mengamini juga bahwa ia beruntung dengan segala bacaan yang ia baca sedari kecil: Sarinah, pram, soetardji –bacaan yang saya lahap ketika saya kuliah. Mungkin ini adalah salah satu momen dimana saya bisa menyaksikannya mengatakan bahwa ia beruntung daripada orang lain. Biasanya ia tidak pernah mau mengatakan hal itu, karena semua hal bukan masalah beruntung atau tidak.


Pembicaraan menjadi kian menyenangkan sampai akhirnya masuk ke topik mengenai ayah. Saya hanya diam dan mendengarkan mereka saling bercerita mengenai ayahnya masingmasing. Kawan pertama bercerita mengenai ayahnya yang sangat menjunjung tinggi pendidikan karena ia (ayah teman saya) hanya mampu sekolah sampai SMP. Oleh karena itu, ia bertekad menyekolahkan semua anaknya. Setinggitingginya. Sampai di sini, saya semakin diam. Saya tidak tahu harus bicara apa. Saya tidak tahu apa yang bisa saya sumbangkan ke dalam pembicaraan seperti ini. Topik yang tidak saya suka, tapi anehnya saya suka mendengarkan mereka bercerita mengenai ayah mereka. sebagai kompensasi atas apa yang tidak saya punya.


Kawan pertama kemudian bercerita bahwa ayahnya menangis waktu ia diterima kuliah di PTN di Jogja, meski di hadapannya, semua itu tidak ditunjukan sama sekali oleh sang ayah. Saya hanya tersenyum. Dada saya sesak. Kawan kedua bercerita mengenai ayahnya yang sangat terkesan kepadanya karena kawan saya itu membeli sepeda dari hasil menabung dan ia meminta kepada uang kepada ayahnya pada saat detikdetik terakhir ketika uangnya sendiri tidak cukup. Ayahnya sangat terkesan dengan hal itu. Atas usahanya. di kemudian hari, cerita itu selalu diceritakan kepada orangorang di sekitarnya. Dengan nada bangga tentunya.


Saya suka sekali dengan cerita mereka. Suka sekali. Sesuatu yang menyenangkan dan hangat, tapi saya tidak mampu untuk menanggapi atau menambahi pembicaraan itu dengan cerita saya. Saya tidak tahu apa yang bisa saya ceritakan. Lidah saya kelu.
Tapi untunglah, kami segera beranjak dari tempat duduk kami. Ada halhal yang harus dilakukan. Pembicaraan selesai. Saya menarik napas lega. Akhirnya.


Masa kecil saya: saya masih tetap ingin memiliki perpustakaan sendiri, berjuang untuk sekolah lagi (entah kapan), melihat tulisan saya dimuat di Bobo. Sampai sekarang. Mungkin itu yang tertinggal dari sana dan yang masih bisa saya syukuri.


19.05.09 22.32…

Monday, May 18, 2009

hari ini...

hopeless...


helpless...


saya,



hari ini...

Friday, May 8, 2009

untitled

Now she's walking through the clouds
With a circus mind
That's running wild
Butterflies and zebras
And moonbeams and fairy tales
All she ever thinks about is riding with the wind
When I'm sad she comes to me
With a thousand smiles
She gives to me free
It's alright it's alright she says
Take anything you want from me
Anything

.
Fly little wing...


(the corrs, little wing)



ternyata saya tidak seperti yang saya duga. ternyata saya selama ini sebenarnya hanya tahu apa yang bukan saya, tapi tidak bisa merumuskan siapa saya.

confusing eh?

Saturday, April 11, 2009

Tuesday, April 7, 2009

somewhere over the rainbow...

28 tahun hari ini. saya merasa beryukur, lelah, dan bersemangat sekaligus. saya tahu apa yang harus saya lakukan sekarang. tidak ada raguragu lagi, tidak ada memandang orang lain lebih dari diri saya. yang ada saya, di sini, menjejak bumi dengan segala yang saya punya.

terima kasih untuk tahun ke 28 dari usia saya ini.

Wednesday, March 25, 2009

becoming dew

me. becoming dew..

as i wait for you

: a. b.


As I wait for you, kapok pods harden
with the peak of this barren dry season
a few junes only bloomed and wilted inside me
which I carefully noted but silently let go


small clouds pass over the bridge as I wait for you
season condense amid my eyelashes
I hear the repeated sound of air waves breaking
passion and lust is naked here, the stars are restless


thin dry have fallen: something suddenly falls silent
even among the clamor of the kapok and frangipani flowers
I wait for you
ever more rarely the clouds pass by
and nothing, not even you, have ever waited for so long


(SDD)

the better version of me a.k.a. somebody, anybody, nobody

Saya tahu sekarang mengapa saya menyukai si mawar gunung itu. Jawaban yang saya kumpulkan dari hari ke hari dengan memperhatikannya; lagak lagunya, mencoba mengenal karakternya, memahami isi kepalanya. Saya tahu jawabannya sekarang.


Ia adalah saya dalam versi yang lebih baik ketika berusia 24 tahun. Tepatnya, ia mewakili versi diri yang saya inginkan ketika berusia 24 tahun. Mewakili semua gambaran mengenai bagaimana seharusnya saya di usia itu. Ah, saya. Terlalu banyak target: begini begitu, dan semuanya tidak tercapai. Jelas sekali.


Usia 24 tahun; apa yang sudah saya kerjakan waktu itu ya? Tidak terlalu banyak. Baru saja lulus kuliah, wisuda, mulai mencoba mengajar, masih berkobarkobar mengenai bagaimana seharusnya masa muda dan hidup harus dijalani, mengenai pekerjaan impian, juga berjuang memilih-milih pekerjaan (waktu itu saya memilihmilih pekerjaan di saat orang mencari pekerjaan: dasar anak muda. Bergaya sekali). Oya, jangan lupa, manusia siput. Dia ada di sana juga ketika saya berusia 24 tahun. Ia adalah salah satu alasan saya berandaiandai memiliki versi diri yang lebih baik. Iya ya, bagaimana jika waktu itu saya seperti si mawar gunung ini, apakah ia akan serta merta suka pada saya? FOOL! Tentu saja tidak kan.


Kemarin saya sempat pergi keluar dengan si mawar gunung. Menghabiskan beberapa jam bersama. Kami sedang melakukan misi (heh?) membawa salah satu teman kami yang sedang sakit parah berobat ke salah satu pengobatan alternatif dan di situ kami mengobrol banyak. Setelah dari tempat itupun kami meluangkan waktu mengobrol. Saya mempelajari sikap dan karakternya. Ada beberapa hal yang saya punya dalam diri saya dan ada yang tidak. Ada yang ingin saya cangkokkan ke dalam diri saya yang berusia 24 tahun jika memungkinkan. Mendengar ceritanya, saya bercermin kepada diri sendiri, apa yang sudah saya lakukan ketika saya seusia dirinya? Kemana saya waktu itu? Apakah saya menghabiskan waktu saya hanya dengan memusingkan akan jadi apa saya nanti? Ataukah terlalu bermimpi ingin begitu, ingin begini? Saya kemudian sadar saya belum melakukan apapun.


Di usia 24 tahun pula, salah seorang sahabat saya sudah bisa mulai mewujudkan apa yang diinginkannya: mendirikan ruang publik. Dengan apa adanya, tapi ia mampu dan berkembang hingga bentuknya yang sekarang ini. Hingga namanya menjadi semacam merek dagang yang laris manis. Yang sorot lampu tak hentinya mengarah kepadanya –saya menjulukinya selebritis. Di tempat dia ada, semua mata mengarah dan mengaburkan segala hal yang ada di sekelilingnya. Menggoda sekali untuk bisa menjadi seperti dirinya. Dia dengan dirinya yang tahu apa yang dia maui. Sesuatu yang hingga kini masih saya perjuangkan dengan segenap jiwa: tahu yang saya maui dan berusaha mewujudkannya.


Bagi saya, sahabat saya itu adalah seseorang. Somebody. Ia sudah menjadi somebody bagi dirinya dan tentu saja bagi semua orang. Kadang saya ingin bertanya kepadanya, menyenangkan kah menjadi seseorang itu? Menyenangkankah menjadi pusat dari segala hal yang ada di sekitarmu? Pertanyaan yang tetap saja tidak pernah terlontar keluar sampai sekarang. Mungkin itu karena saya sadar bahwa itu tidak perlu untuk ditanyakan, atau saya sudah menemukan jawabannya dari persinggungan saya dengannya seharihari.


Saya menemukan jawaban bahwa ia juga lelah dengan “lampu sorot dan semua mata menuju ke arahku serta menganggapku penting” itu. sesuatu yang saya akhirnya pahami dengan mencoba memakai sepatunya beberapa saat.


Menjadi seseorang tidak mudah. Klasik dan klise tapi memang demikianlah kenyataannya. Saya bisa memandangnya dengan lebih jernih sekarang. Butuh waktu ternyata untuk menyingkirkan rasa iri dan menganggapnya lebih beruntung daripada saya. Tidak ada yang lebih beruntung, tidak yang lebih malang. Tidak ada. Yang ada hanya diri sendiri dan kemauan untuk mewujudkannya. Hah! Itu baru benar.


Saya hanya ingin menjadi lebih baik. Versi yang lebih baik. Hanya saja kadang saya lupa jika menjadi lebih baik tidaklah sama dengan menjadi sempurna dan selalu mendapatkan yang terbaik. Tidaklah sama sebangun, tapi saya sering melupakan itu. Kata seorang sahabat yang lain, saya ini sangat ambisius jika itu menyangkut dengan diri sendiri. Mau menjadi somebody, dan tidak mau menjadi nobody. Saya berusaha sangat keras untuk itu agaknya. Saya memandang orangorang yang saya anggap sebagai somebody dan berusaha keras ada di jalan yang sama dengan mereka. Gila saya. Tidak benar seperti ini.


Menjadi seseorang; godaan yang begitu dahsyat. Seperti lonceng yang berdentang keras dan menarik semua mata melihat ke arah mana bunyi dentangannya. Selalu ada yang seperti itu ya dalam diri setiap orang? Tentu saja.


Saya di usia 28 tahun ini mulai mencoba untuk melepaskan semua hal itu. Tidak ada gunanya lagi. Saya capek mengejar itu. saya lega ketika mengetahuinya dan memutuskannya. Sama seperti saya mengatakan kepada diri saya bahwa saya menunggu saatnya jatuh cinta lagi.


Jadi ketika saya melihat si mawar gunung itu, saya hanya memandangnya dalam dan tertawa dalam hati: oh dear, betapa dulu aku ingin menjadi sepertimu. Kemudian saya melanjutkan langkah saya lagi. Dengan bersemangat kali ini.


25.03.09, 23.20...

sanktuari dan tempat meneduhkan diri...

Di blognya, salah seorang kawan baik saya menceritakan bahwa hari itu adalah hari peringatan dua tahun ia keluar dari rumah. Sementara saya, baru keluar dari rumah sekitar lima bulan ini.Tidak terlalu istimewa bagi kawankawan saya yang lain yang telah lama keluar dari rumahnya. Akan tetapi bagi saya itu merupakan pencapaian luar biasa. Luar biasa karena saya bisa bebas menentukan apapun yang saya mau tanpa harus berpikir dua kali. Luar biasa karena saya bisa bertanggung jawab penuh terhadap diri saya sendiri. Sungguh luar biasa. Dan saya sangat senang dengan keadaan ini.


Dulu, saya berpikir bahwa saya akan keluar dari rumah dengan cara yang tidak konvensional. Dengan cara radikal. Lari dari rumah, diusir pergi karena hamil, hidup dengan kekasih saya—tetapi lihat kenyataannya sekarang: saya tidak lari dari rumah, saya pergi dengan baikbaik. saya tidak hamil dan saya tidak punya kekasih lagi. Hidup benarbenar menjungkirbalikkan semua yang saya duga. Seperti yang dikatakan oleh ibu Benjamin Button: kau tidak tahu apa dan siapa yang datang selanjutnya. Dan saya sekarang hanya tertawa. Getir sekaligus terpingkalpingkal. Selalu. Menertawakan diri saya sendiri. Betapa bodohnya saya. Melihat ke belakang benarbenar membuat saya gelenggeleng kepala. Bagaimana bisa saya berpikir demikian? Romantisme à la Radit dan Jani mungkin? Hahaha! Tidak, saya tidaklah se-brutally romantic kedua tokoh Sid and Nancy wanna be itu. saya hanya ingin menidak dan menegasikan diri.


Mungkin keinginan segera lepas dari rumah itu yang membuat semua akal sehat saya jadi kabur tidak karuan. Otak saya tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga saya menjadikan dia, pak tani, sebagai jalan keluar dari semua masalah yang saya hadapi. Ia pintu keluar untuk semua yang saya alami. Saya menaruh segala harapan pada dirinya, dan akhirnya saya tahu, saya salah besar. Diapun sama seperti saya. Menghadapi permasalahan yang kurang lebih sama. Berusaha menemukan dirinya sendiri, dan entah apakah sekarang ia sudah menemukannya. Ah, saya kangen padanya.


Dengan segala cara yang konvensional dan aturan main yang saya sepakati dengan ayah dan ibu saya itu, jadilah saya hidup di luar rumah. Berpisah dengan ayah dan ibu saya. Meski sebenarnya lucu kalau dipikir kenapa saya harus tinggal di luar rumah yang hanya berjarak 30 menit naik bus dan hanya pulang ke rumah setiap akhir pekan. Apa coba yang saya cari di luar rumah? Jawabannya adalah saya mencari diri saya sendiri. Klise? Memang, tapi itu yang terjadi pada saya. Dan saya senang mengetahui hal itu. Saya senang sekali dikangeni setiap akhir pekan oleh orangorang rumah; tentu saja dengan implisit. Senang sekali mendapati ibu saya libur setiap hari Minggu dan saya mengobrol dengan semua orang rumah atau hanya sekedar menerima sms tak jelas dari adik saya setiap Jumat malam dan Sabtu pagi: mbak, kowe bali jam piro? Menyenangkan sekali.


Mungkin memang dengan berjarak seperti ini membuat saya malah jauh lebih dekat dengan mereka. Dengan berada di luar rumah seperti ini, saya malah bisa melihat semua persoalan dengan lebih jernih dan bisa mengambil sikap lebih dewasa. Saya menyadarinya. Saya sekarang tidak terlalu pemarah seperti kemarinkemarin. Saya menjadi lebih bisa menyikapi persoalan dengan bijak. Mungkin memang saya menjadi lebih kalem dan halus selama beberapa bulan belakangan ini. Mungkin karena saya memandangnya dari luar lingkaran. Mungkin. Sebenarnya perubahan itu sudah saya rasakan selama dua tahun belakangan ini, dan semakin menunjukkan hasilnya beberapa bulan ini. Saya menarik napas lega. Saya bersyukur. Tapi perubahan itu saya yakin masih akan terus berjalan. Semoga saja demikian. Somehow, saya dengan sangat gembira menanti perubahan apa lagi yang bisa saya lakukan. Saya pasti bisa.


Di rumah siput ini, saya merasa mendapatkan sanktuari. Suatu tempat untuk menghilang. Suatu tempat untuk berteduh sebentar. Suatu tempat untuk memulihkan diri saya. Dan merasa mendapatkan rumah yang saya dambakan. Saya nyaman di rumah ini. Saya nyaman berada di dalamnya. Saya merasakan menemukan diri saya di sini. Mungkin bukan faktor rumah atau apalah itu, tapi lebih kepada diri saya yang bisa lebih bebas menentukan diri saya sendiri. Sanktuari itu ada dalam diri saya sendiri yang hadir melalui rumah siput ini dan segala hal yang ada di dalamnya. Saya yakin itu memang ada dalam diri saya sendiri.


Harap saya, semoga saya masih bisa merayakan peristiwa dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, dan bertahuntahun keluar dari rumah. sungguh..


25.03.09, 22.54...

dingin tak tercatat

Dingin tak tercatat
pada termometer


Kota hanya basah


Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi tetap saja


di sana. Seakanakan


gerimis raib
dan cahaya berenang


mempermainkan warna.


Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?


(G.M. 1971)

Wednesday, March 4, 2009

........

saya menunggu untuk jatuh cinta lagi. iya. bukan dengan optimis tapi dengan harapharap cemas, pesimis, skpetis seperti biasa. akan tetapi kali ini saya memberanikan diri untuk memulai semuanya dengan mata terbuka lebar. tidak peduli siapapun yang akan datang kepada saya, saya hanya ingin menatap orang itu dengan mata terbuka. mata yang tidak dibutakan seperti dulu. kali ini semoga lebih dewasa dan bijak. saya mau cinta yang membumi.

hari ini, besok hari, besok hari lagi, saya menunggu untuk jatuh cinta lagi...

Wednesday, February 11, 2009

untitled



What's the matter Mary Jane, you had a hard day
As you place the don't disturb sign on the door
You lost your place in line again, what a pity
You never seem to want to dance anymore

It's a long way down
On this roller coaster
The last chance streetcar
Went off the track
And you're on it

I hear you're counting sheep again Mary Jane
What's the point of trying to dream anymore
I hear you're losing weight again Mary Jane
Do you ever wonder who you're losing it for

Well it's full speed baby
In the wrong direction
There's a few more bruises
If that's the way
You insist on heading

Please be honest Mary Jane
Are you happy
Please don't censor your tears

You're the sweet crusader
And you're on your way
You're the last great innocent
And that's why I love you

So take this moment Mary Jane and be selfish
Worry not about the cars that go by
All that matters Mary Jane is your freedom
Keep warm my dear, keep dry

Tell me
Tell me
What's the matter Mary Jane...


(alanis morissette, mary jane)




Tuesday, February 10, 2009

........



Dear Ka,


Kau merasa kosong bukan hari ini? Hari ini kau menangis lagi kan? Sama seperti harihari sebelumnya. Aku tahu. Di kamar mandi lagi. Sambil berjongkok. Atau di dalam kamar, sambil memeluk lututmu. Kenapa lagi sekarang? Masih kah sama? Kau merasa kosong. Ya. Itu masalahmu sejak dari dulu. Berapa kali sudah kukatakan kepadamu, bahwa semuanya datang dari dalam dirimu sendiri. Kau memikirkan banyak hal. Terlalu banyak. Segala hal berputar dalam kepalamu, menyumbat akal sehatmu. Bertahun-tahun aku melihatmu seperti ini. Sejak kau kecil. Tidakkah kau lelah dengan mata bengkakmu itu setiap kali selesai menangis dan tidur kelelahan karenanya?


Apa yang kau cari sebenarnya? Bukankah kau sudah mendapatkan segala yang kau inginkan? Hidupmu tidak berlebihan, kau sering kekurangan bahkan, tapi kau selalu bisa menyelesaikannya dengan cara yang kadang bahkan tidak kau mengerti. Kau mempunyai pekerjaan yang menyenangkan, mengajar anakanak dan kau sangat menikmatinya. Kau memiliki kawankawan yang baik dan setia. Kau memang tidak punya banyak teman, apa mau dikata, kau adalah kau. Penyendiri. Tapi itu cukup kan? Kawankawanmu itu. Mereka ada ketika kau membutuhkan mereka. Meski kau jarang mengatakan kepada mereka kalau kau membutuhkan mereka. Kau selalu diam. Aku tahu kau ingin punya banyak kawan tapi sudahlah terima saja dengan kawankawanmu yang sedikit itu toh untuk apa memiliki banyak kawan jika itu hanya sebatas permukaan saja? Kau sendiri tidak suka itu. Lalu mengapa kau menginginkan itu? Cukupkan dirimu dengan dirimu dan segala yang kau punya.


Lalu mengapa kau masih saja merasa kosong? Merasa tidak bahagia. Merasa ada sesuatu yang tidak pernah lengkap. Kenapa kau selalu saja tidak pernah merasa aman? Lihat kau menjejalkan segala hal ke dalam lubang kosong itu. Bajubaju yang kau beli, bukubuku yang kau baca, segala kisah yang kau karang sedemikian rupa sehingga orang yang mendengarnya merasa bahwa kau adalah seorang yang bahagia dan yakin dengan dirimu, pekerjaan yang tiada henti kau kerjakan, kesibukan yang kau rekareka, pikiran yang selalu penuh dan tidak pernah kau biarkan kosong, orangorang yang kau pikir bisa kau cintai dan mencintaimu, lakilaki yang meninggalkanmu, kenangan yang masih saja menggelayutimu, seks yang sangat kau candu, kemarahan membabi buta, cinta yang tidak bisa pergi, khayalankhayalan yang tidak pernah jelas, filmfilm yang kau tonton, tulisantulisan yang tidak pernah selesai, mimpimimpi yang berlari sementara kau kebingungan di sini mencari jalan untuk mengejarnya, pikiranpikiran gelap, puisipuisi yang kau baca, kawan berjaga khayalan yang hidup dalam kepalamu: semua kau jejalkan ke dalam lubang untuk mengisi kekosongan dalam dirimu. Pikirmu itu mampu menambal lubang itu. Tapi kenyataannya? Tidak bukan. Kau tetap menganga. Lalu bagaimana sekarang?


Apa yang kau cari? Kau tidak tahu. Kau tidak yakin. Beginilah sekarang. Kau mayat hidup. Kau robot dengan dua biji mata dalam kelopak mata bengkak kebanyakan menangis. Kemana perginya segala harapan dan keyakinan yang dulu sewaktu kecil kau pegang? Kemana perginya kau yang bersemangat? Apakah seiring dengan bertambahnya usia dan berjalannya waktu kau menjadi seperti ini? Ya, kau tidak tahu. Bukankah kebahagiaan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengusir kekosongan? Happiness is a warm gun. Seharusnya.


Berhentilah berusaha untuk mencapai semuanya. Tidak ada yang memaksamu untuk mencapai sesuatu setinggi itu. Tidak ada yang akan menghinamu kalaupun kau hanya berakhir menjadi guru anakanak kecil seperti yang kau jalani saat ini. Jangan kuatir. Aku tahu semua kekuatiranmu. Aku tahu. Aku tahu semua yang kau takutkan. Aku paham itu. Aku mendengarkanmu, kau tahu. Sekarang dengarkan aku: lepaskan genggaman tanganmu, biarkan semua berjalan apa adanya. Biarkan dirimu menjadi dirimu. Cukupkan dirimu dengan apa yang kau punya. Kau tidak punya banyak tapi itu yang kau punya. Jadi cukupkan dengan itu.


Aku tidak tahu apakah kekosongan itu akan menutup. Aku tidak tahu. Tapi aku yakin kau bisa berdamai dengan segala kekosongan itu. Entah kapan. Entah. Kau harus berjuang. Kau harus menyelesaikan ini. Menyelesaikan masalah dengan dirimu. Kau dan dirimu harus segera berekonsiliasi. Harus mencapai kesepakatan. Kau tidak bisa memerangi dirimu. Ia dirimu. Betapapun kau benci padanya, ia ada dalam dirimu. Kau tidak bisa menukarnya menjadi diri orang lain. Ia sayang padamu dan menunggumu untuk menyayanginya juga. Menerimanya apa adanya. Kau tahu semuanya sebenarnya.


Jadi kembalilah tersenyum. Kembalilah berharap—kau tahu tidak ada salahnya berharap. Kekecewaan memang akan memukulmu jika harapan menguap begitu saja, tapi ya memang seperti itu. Tidak ada yang salah dengan kecewa. Cobalah. Ya. Ya. Kau sering kecewa. Tapi cobalah sekali lagi. Sekali lagi berharap, mungkin kali ini semuanya akan berbeda. Berharaplah.


Berjanjilah kepadaku untuk tersenyum ya. Dengan mata dan hatimu juga. Aku mencintaimu.


Bissou,


Ibu angsa




ada gadis kecil diseberangkan gerimis

di tangan kanannya bergoyang payung

tangan kirinya mengibaskan tangis—

di pinggir padang ada pohon dan seekor burung

(gadis kecil, SDD, 2001)


Nah gadis kecil, tertawalah...


07.02.09, 23.16...




Monday, January 19, 2009

cinta putih


Mari kita jaga sebentuk cinta putih yang telah terbina.

Sepenuhnya terjalin pengertian antara engkau dan aku.

Masihlah panjang jalan hidup yang mesti ditempuh.

Semoga tak lekang oleh waktu.

Jika kau bertanya, sejauh mana cinta membuat bahagia.

Sepenuhnya trimalah apa adanya dua beda menyatu.

Saling mengisi, tanpa pernah mengekang diri.

Jadikan percaya yang utama.

(Cukup bagiku hadirmu, membawa cinta selalu.

Lewat warna sikap, kasih pun kau ungkap).


(Kla Project, Maret 1988)


Saya menemukan kumpulan lirik lagu yang dibuat oleh Katon untuk Kla di rak buku saya. Saya tertawa waktu membacanya lagi. Saya ingat, bertahuntahun lalu saya menyalin lirik ini, mencetak, dan membaginya ke kawankawan saya bersama dengan puisi Neruda. Bertahuntahun lalu, lirik ini didedikasikan untuk tukang potret tua nan usang itu—yang harihari belakangan ini ada di situs pertemanan populer itu, dan saya tertawa girang dengan VOILA! terang benderang di atas kepala, lantas terkekehkekeh sendiri. Terima kasih pada teknologi memang.


Cinta putih, eh ka? Iya.


18.01.09, 23.37...





mawar gunung dan beberapa cerita lainnya

Saya sedang menyukai beberapa orang sekaligus. Beberapa orang ini tidak banyak sebenarnya. Hanya sedikit. Oke, taruhlah empat orang. Tiga orang lakilaki dan seorang perempuan. Manusia harimau yang sudah meninggalkan taman bermain itu, manusia undurundur dengan ratusan harem, manusia ganteng depan rumah—yang setiap pagi saya selalu mengintip melalui jendela rumah siput saya untuk melihat apakah dia ada di depan rumahnya, dan yang terakhir perempuan manis mawar gunung—pujaan hati seorang kawan baik saya.


Saya mulai dari si mawar gunung manis. Saya menyukainya semenjak pertama kali bertemu dengan dia. Duapuluh empat tahun, rambut sebahu, lurus—tadi hanya diikat ekor kuda, pipi nyempluk, kaos, dan jeans. Tidak lupa sneakers. Dia memakai kacamata. Coklat dan dia cantik sekali dengan itu. Saya gila mungkin, tapi tidak. Saya merasa baikbaik saja dengan menyukainya. Kawan saya yang menggilainya setengah mampus itu sering menceritakan mawar gunung itu kepada saya, dan ketika bertemu secara langsung, saya sudah sangat familiar dan merasa tidak berjarak. Dan seperti yang saya bilang, begitu melihatnya, saya suka sekali. Saya bahkan bisa mengingat detail dia tertawa, warna bajunya, tinggi tubuhnya; pendek kata semuanya. Ia pernah bercerita bahwa ia pernah sampai ke Flores untuk menjadi relawan pendidikan sebuah lembaga pendidikan alternatif. Ia bercerita dengan mata berbinar bagaimana ia menyeberangi pulau hanya dengan perahu di tengah ombak pasang dan mengajar anakanak di sana. Bukan perempuan sembarangan agaknya. Anggap saya. Paling tidak bukan perempuan menyemenye begitu saja. Ketika berangkat tadi pagi, saya mengatakan kepada diri saya bahwa saya akan bertemu dengan dia dan saya mau memandangnya, mencari sesuatu dalam dirinya. Dan saya melakukan itu. Saya bertanya kepada diri saya mengapa saya menyukainya. Mengapa saya seolah tertarik mendekat kepadanya, apa yang saya cari sebenarnya dalam dirinya?


Apa yang saya rasakan terhadap si mawar gunung ini terlalu prematur jika disebut sebagai sebuah perasaan “yang lebih dalam”. Bagi saya ini hanyalah sebuah ketertarikan saja. Tidak lebih dari itu. Ada semacam keinginan mencari diri saya di dalam sana. Karena somehow, someway saya merasa ia adalah gambaran diri saya bertahun lampau tapi dalam cover version yang lebih baik—hahaha!!! Mungkin itu yang membuat saya merasa dekat dengannya. Merasa ingin mengetahui dirinya lebih lanjut, meski saya sebagian sudah tahu dari kawan baik saya itu. Dan saya gembira saya punya kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam lagi karena ia berproses juga dalam taman bermain dimana saya juga terlibat di situ.


Ini sebuah perasaan yang aneh. Sesuatu yang baru. Dan saya suka dengan perasaan ini. Seperti memberi daya hidup baru. Daya hidup yang membuat saya bersemangat. Tapi saya tidak menandaknandak riang begitu, bukan jamannya lagi. Saya menikmatinya dalam diam. Rasa itu sendiri halus dan ringan dan tidak membebani saya.


Kemudian orang kedua: manusia harimau. Orang lama, tapi hanya berani mengendapendap tanpa pernah berani mengejar dan menerkam. Ia sudah pergi. Tidak ada kesedihan. Karena memang tidak perlu itu. Toh saya punya keyakinan kalau kami akan bertemu suatu saat. Mungkin jika waktunya sudah tepat. Saat ini saya tidak terlalu ambil pusing dengan dirinya. Saya membebaskan diri saya untuk tidak berharap kepadanya. Untuk tidak mengharapkan gayung saya bersambut kepadanya. Dulu sekali, saya suka sekali padanya, tapi agaknya waktu dan peristiwa telah mengubah saya menjadi lebih tenang dan cenderung tidak peduli seperti saat ini. Saya menikmati permainan tarik ulur dengannya kemarinkemarin itu, tapi memang layanglayang agaknya memang harus dilepaskan bukan? Saya juga tahu itu. Sudah selesai. Maka ketika ia menyapa saya di sebuah situs pertemanan paling populer saat ini beberapa hari lalu, saya hanya tertawa. Basi.


Membicarakan perasaan saya kepadanya adalah hal yang lucu. Perasaan saya terhadapnya seperti layanglayang: kadang mendekat, kadang menjauh. Hari ini bisa mengobrol dengan benarbenar enak, besok seperti orang yang tidak saling kenal. Selalu seperti itu. Mendekat, menjauh. Tertawa lantas mencibir. Perasaan seperti layanglayang ini ternyata sangat melelahkan, dan akhirnya saat “melambaikan tangan selamat tinggal” datang juga. Saya melanjutkan hidup saya. Tapi ketika saya bertanya kepada diri saya, apakah saya pernah menginginkannya; saya menjawabnya dengan “ya”. Tidak dengan amat sangat memang, tapi saya menginginkannya. Saya pernah menaruh harap kepadanya. Pernah merasakan kupukupu dalam perut saya karena dia. Pernah dengan berdebar dan terkagetkaget dengan sikapnya. Dan pernah cukup bodoh mengirimkan sebuah pesan bahwa saya pasti kehilangan dia ketika ia akan pergi dari taman bermain kami itu. Dan tangan saya gatal untuk selalu mengecek keberadaannya lewat situs pertemanan yang populer itu. Sebuah tindakan yang sama sekali tidak direkomendasikan dan rentan menimbulkan kecanduan yang pada akhirnya akan merugikan diri saya sendiri.


Manusia ketiga: manusia ganteng depan rumah. Anak muda yang menurut saya banyak perempuan cantik dan tidak cantik berderet minta dipacari. Dia, apa yang bisa saya bilang mengenai dia selain dia ganteng—tidak banyak laki-laki yang saya sebut ganteng, adalah hawa yang hampir sama yang dibawanya dengan tukang potret lembaran usang masa lampau itu. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa sampai kepada kesimpulan itu, tapi saya bisa merasakan itu. Maka saya hanya bisa tertawa demi kebiasaan baru saya setiap pagi sekarang: membuka jendela lebarlebar dan menatap pintu rumah sebelah, mengharapkan dia keluar. Hina memang. Dan saya terbahak karenanya. Hina dina untuk model yang seperti ini tapi saya menikmatinya. Perasaan yang usang dan tersampir entah kemana itu kembali. Sesuatu yang kecil bangkit dalam diri saya. Dan itu membuat saya gelenggeleng kepala. Saya mengangeni hal yang hina dan remeh seperti ini agaknya. Kehebohan menyapa dengan riang demi melihat si ganteng itu muncul dan menyiapkan senyum manis, serta mencari pembicaraan.


Manusia keempat: manusia undurundur dengan ratusan harem. ha! Dia; saya hanya bisa tertawa kalau mengingat dia. Semakin hari, saya semakin respek kepadanya. Caranya menenangkan semua haremnya itu, memberikan telinga untuk mendengar, juga sikapnya yang bagi saya pragmatis tapi entah kenapa justru malah memberikan jalan keluar yang cespleng untuk setiap persoalan yang dihadapi para haremnya atau saya sebagai rekannya di taman bermain kami itu. Dia, yang dulu saya pandang sebagai biasa saja, tapi malah tidak biasa ternyata. Semua hal memang tidak seperti yang terlihat pada awalnya bukan? Saya tahu kami menjadi dekat tapi tidak cukup dekat untuk bisa saling nyaman mengobrolkan halhal pribadi. Tapi itu tidak terlalu penting, saya akan sampai ke sana jika waktunya tiba. Saya sudah cukup senang dengan kedekatan kami ini. Cukup senang ketika saya mulai mengenali bau rokok dan sabun dari tubuhnya. Itu mengganggu saya, tapi saya suka bau itu. Tertawatawa tidak jelas, guyonan ngawur, senyuman mengembang; itu semua cukup untuk saya.


Lalu bagaimana dengan perasaan dan rasa yang lebih dalam? Tidak ada. Hanya sebatas itu. Hanya suka. That’s it, that’s all. Ça suffit. Tidak ada yang perlu dilanjutkan mengingat akhirakhir ini saya enggan untuk terlibat mendalam dengan perasaan seperti itu. Bukan apaapa, hanya tidak mau repot saja dengan segala hal naik turun, roller coaster. Saya tidak siap dengan emosi yang naik turun, merasakan hentakan menyenangkan pada awalnya untuk kemudian dihempaskan begitu saja, kemudian naik lagi. Sekali lagi saya tidak siap. Itu sebuah pertaruhan yang tidak mainmain untuk saya. Saya mungkin masuk ke episode hibernasi. Tertidur panjang untuk beberapa saat yang tidak diketahui. Banyak hal yang saat ini menarik perhatian saya. Halhal yang mungkin tidak akan sempat saya pikirkan jika saya mendalami perasaan mendalam seperti yang saya sebutkan tadi. Dalam daftar yang akan saya kerjakan tahun ini, tidak ada daftar untuk berpasangan. Entah saya takut, atau malas, atau tidak mau mencoba, atau apalah terserah—saya tidak memasukan itu dalam daftar saya.


Orangorang tadi hadir dengan warnanya masingmasing dalam diri saya. Memberi saya semacam daya hidup yang membuat saya memperhatikan mereka, dan mencabut saya sedikit demi sedikit dari adiksi saya terhadap episode yang telah lalu itu. Mereka menawarkan halhal baru. Kisahan baru, dimana saya bisa belajar banyak di dalamnya. Tidak ada banyak harapan yang saya tanamkan atas kehadiran mereka, atau mungkin memang tidak ada sesuatu pun yang bisa saya harapkan. Belajar dari pengalaman. Ada atau tidaknya harapan tidak menghentikan saya. Ya.


I recommend biting off more than you can chew to anyone

I certainly do

I recommend sticking your foot in your mouth at anytime

Feel free

Throw it down (the caution blocks you from the wind)

Hold it up (to the rays)

You wait and see when the smoke clears

You live you learn

You love you learn

You cry you learn

You lose you learn

You bleed you learn

You scream you learn

(you learn, alanis morissette)


18.01.09, 23.26...


broken flowers

: Pe


beberapa hari yang lalu seorang kawan baik datang dengan mata sembab berurai air mata. Luka menganga, hati koyak, dan setangkai mawar hitam di tangannya. Ia menangis dan terus bertanya kepada saya mengapa semua terjadi padanya. Mengapa semua lakilaki yang datang padanya hanya ingin berakhir di tempat tidur? Saya diam tidak mampu mengatakan apaapa. Saya hanya memeluknya erat dan mencium rambutnya. Saya tidak tahu mengapa demikian. Kemudian berkata lagi, apakah ia punya potongan perempuan yang bakal membuka kutang di depan semua lakilaki dan mengumbar semuanya. Saya kelu. Saya tidak pernah mampu dan tidak mau mengatakan jutaan kata penenang. Itu hanya candu. Saya juga tidak tega untuk mengatakan: hadapi itu dan jangan pernah memalingkan wajah sedikitpun dari kenyataan itu. Hadapi dengan mata terbuka. Tidak ada cukup candu untuk menenangkan hati dan menyembuhkan luka.

Saya tidak pernah tahu bagaimana caranya menyembuhkan diri dari luka semacam yang dialami oleh kawan saya itu. Yang saya tahu itu butuh waktu yang cukup lama untuk bisa mengering total dan hanya goresan bekasnya saja yang terlihat. proses menuju ke sana tidak akan pernah mudah. Tapi saya yakin ia bisa. Dengan berderaiderai dan berdarahdarah—itu pasti. Seperti yang ia katakan sendiri, suatu saat ia akan mengangkat kepala dan sembuh.

Setelah ia pergi, saya memikirkan semua pertanyaannya itu. Mengapa harus aku ka? Mengapa seperti ini lagi? Salahku apa? Aku bukan perempuan baikbaik ya karena mereka semua ingin tidur denganku? Aku ingin dicintai dan diperlakukan dengan selayaknya. Saya menghela napas panjang. Saya paham perasaan seperti itu. Mengerti. Keinginan dan ekspektasi untuk diinginkan oleh seorang yang diinginkan, begitu jelasnya. Mengapa begitu susahnya untuk membuat orang yang dicintai mengerti mengenai hal itu? Karena orang yang dicintai itu juga meminta untuk dimengerti. Ha! Lingkaran setan. Jalan terbaik memang seperti ini: berlalulah dari pintu yang hanya membuka dengan setengah hati.

Perasaan diinginkan dan dicintai memang candu luar biasa. Agaknya itu adalah akarnya. Untuk kawan saya, kasus yang paling jelas. Untuk saya juga. Dalam kasus saya: seumur hidup saya berusaha menjadi seseorang yang dicintai. Dengan cara apapun. Berusaha merebut perhatian orang sebisabisanya. Berusaha menjadi mawar merah yang diinginkan dan dicintai setiap orang. Hanya sialnya, saya tidak pernah mampu merebut perhatian dari semua orang yang saya harap mencintai saya dengan apa adanya. Saya tidak tahu bagaimana caranya menjadi mawar merah. Pathetic. Saya ingin dicintai, tapi saya tidak tahu bagaimana cara memintanya dan lebih tepatnya, saya tidak punya kemampuan untuk meminta untuk dicintai. Dan saat ini saya sudah berhenti untuk berusaha. Saya tidak pernah berusaha lagi. Saya tidak lagi berusaha untuk menjadi mawar merah yang dicintai setiap orang. Mawar hitam tidak akan pernah menjadi mawar merah. Kalaulah mawar hitam tidak diinginkan, ia masih tetap hidup bukan? Setahun yang lalu, saya pikir saya ditinggalkan karena saya ini hanyalah mawar hitam. Tetapi bukan itu ternyata. Tidak ada yang salah dengan mawar hitam. Saya hanya tidak beruntung. Tapi lalu bagaimana dengan kawan saya itu, apakah ia selalu tidak beruntung? Tidak adil mengatakan demikian. Mengapa luka yang sama terjadi? Tidak ada jawaban yang mudah untuk hal itu. Sama halnya ketika seorang kawan bertanya kepada saya tentang seseorang yang selalu lurus, yang selalu memajang fotofotonya yang bercerita mengenai pacarnya, kisah jalanjalannya, seolah tanpa beban. Tidak ada jawaban untuk itu juga. Saya tidak mengerti mengapa bisa demikian. Keseimbangan dunia mungkin? Entahlah.

“Butuh waktu sepuluh tahun untuk bisa menceritakan sebuah peristiwa luka, dengan berjarak dan memandangnya dengan tenang” saya menemukan kata-kata ini di sebuah review yang saya baca di sebuah situs film. saya setuju sepenuhnya mengenai itu. Butuh waktu yang lama memang untuk bisa memandang sebuah luka dalam bentuk yang berbeda. Memandang sebuah peristiwa menyakitkan sebagai sebuah sejarah yang tidak hendak ditutup atau dimusnahkan begitu saja. Sebagai sebuah bagian dari diri. Dalam bentuk yang tenang tanpa badai kemarahan yang menggila lagi. Ini untuk luka apapun. Semua luka membutuhkan waktu untuk sembuh, atau mungkin sembuh bukan kata yang menarik bagi saya untuk dilekatkan di sini—tapi bolehlah. Untuk sekedar mengering beberapa lama. Dan mungkin siap untuk dilukai lagi. Seorang kawan dalam blognya menuliskan bahwa sebuah luka diberi salep, mengering, sembuh, kemudian siap dilukai lagi. Demikian berulang. Bukankah memang demikian hidup itu? Oh sial! Tidak ada bedanya dengan Sisiphus memang. Kata seorang kawan lain—yang saya selalu salut oleh persediaan kata bijaknya yang tidak pernah habis—bukankah kepahitan itu dipersiapkan untuk menyembuhkan luka? Ah iya memang, tapi entah kenapa hambar rasanya.

Dalam cara pandang saya yang semakin hari semakin skpetis dan minor ini, kata-kata seperti itu tidak ada gunanya. Dulu saya mempercayai kata-kata seperti itu. Tapi entah belakangan ini saya seperti dirombak ulang, meminjam istilah Derrida, saya didekonstruksi. Banyak hal berjungkir balik dalam diri saya. Entah apa yang saya pegang saat ini. Yang jelas bukan sekumpulan kata bijak lagi yang saya pegang. Saya lelah memegang kata-kata: “pasti ada jawabannya ka.” Tidak ada kok ternyata. Mungkin memang saya tidak sabar. Kesabaran ada batasnya bukan? Dan saya tidak mau bersabar lagi. Saya tidak mau menggantungkan penghiburan pada kata-kata bijak lagi. Saya hanya mau memandang semua yang terjadi dengan tanpa perasaan apa-apa. Mungkin memang saya sudah tidak mau melekatkan diri pada emosi naik turun seperti itu meski kadang kala rindu juga untuk merasakan itu. Saya enggan terlibat lagi. Paling tidak untuk beberapa saat ini. Dan saat ini saya sudah bisa mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa luka saya sudah mengering. Butuh waktu satu tahun untuk bisa sampai di sini. Dan saya lega sudah bisa melaluinya. Saya tidak tahu apa, siapa, yang akan bertemu dan saya temui di masa mendatang. Saya juga tidak mengatakan bahwa saya siap dengan itu. Siap atau tidak, masa depan akan datang. Saya tidak terlalu peduli lagi. Saya ingat kata tokoh yang diperankan oleh Bill Murray di Broken Flowers—saya lupa namanya, “masa lalu ada di belakang kita dan tidak ada di sini. Masa depan belum hadir dan kita tidak tahu seperti apa. Yang ada sekarang bersamaku, ya ini, masa sekarang.” Ya. Masa kini adalah sekarang. Hadapi. Saya berusaha sedikit demi sedikit melepaskan beban, harapan, ekspektasi, apapun. Kalau saya mawar hitam dan tidak diinginkan, lalu kenapa? Saya menerimanya. Tidak ada yang salah dengan menjadi mawar hitam.

Yang datang, yang pergi, terjadilah demikian...

18.01.09, 23.02...