Sunday, July 6, 2008

tentang segala hal yang berhubungan dengan menikah dan pernikahan

Memasuki usia siap nikah a.k.a. sudah tua seperti saya dan masih tinggal dengan keluarga bukan merupakan hal yang mudah. Apalagi dengan keluarga besar model keluarga saya, yang masih condong ke ultra konservatif dan lingkungan tempat tinggal yang kadangkadang usil bertanya. Susah. Pembicaraan mengenai “sudah ada pandangan belum?” (pandangan apa coba?), “kapan giliranmu?”, dll. Segala pertanyaan klasik yang sudah bisa ditebak kemana arahnya. Ah, malas.

Dua hari ini, bulik saya datang dari Madura (seorang sahabat, ngekek ketika saya cerita bahwa bulik saya datang dari sana. Jauh banget, bo katanya). Bulik saya ini, yah seperti biasa adalah model ibuibu kebanyakan. Bangga banget dengan anaknya yang sekarang menjadi pegawai tidak tetap sebuah instansi pemerintah (saya maklum, mana ada to seorang ibu yang tidak bangga pada anaknya?), kemudian bercerita macammacam mengenai anaknya tersebut. Cerita bahwa kelak mungkin anaknya akan diangkat menjadi PNS. Itu akan membuatnya tenang akan masa depan sepupu saya itu. Masa tuanya terjamin. Setelah nanti lumayan mapan, mungkin akan dicarikan jodoh dan menikah. Saya hanya nyengir. Linear ya? Batin saya.

Kemudian bulik bertanya kepada saya, apa pekerjaan saya, berapa penghasilan saya, rencana ke depan bagaimana, sudah ada calon belum, kapan menikahnya, bla bla bla.. cengiran saya sudah seperti kuda beranak, benarbenar sudah tidak enak. Akhirnya saya jelaskan bahwa saya kerja ini itu, bergiat di sini di situ. Bahwa saya tidak punya rencana menikah. Kalau ketemu jodoh dan memungkinkan ya menikah, tapi kalau tidak ya tidak saja. Toh menikah bukan mainan. Masa saya harus menikah hanya untuk memenuhi kewajiban sosial saja. Yang benar saja ya. Saya tidak mau menciptakan neraka untuk yang kedua kalinya dalam hidup saya. Satu saja sudah cukup. Saya tidak mau menciptakan monster yang sama dengan yang ada sekarang ini. saya tidak mau ada makhluk yang hanya half empty dan half full lagi. Saya belajar banyak dari apa yang sudah saya alami selama ini. pernikahan bapak dan ibu saya, keluarga saya, diri saya sendiri. No more frankenstein.


Saya pernah bilang ke ibu saya, kalau saya tidak ada rencana menikah dan berkeluarga ke depannya. Ibu saya memandang saya dengan sedih. Ia selalu bilang saya belum bertemu dengan jodoh, dengan orang yang tepat, masa semua lakilaki seperti ayah saya, pasti ada yang tidak. Saya balik memandangnya dengan pandangan berkabut –agaknya- dan tersenyum “sudahlah bu relakan saja ya, toh segi positifnya aku bisa menemanimu sampai akhir nanti”. Sesudah itu kami tidak membicarakan masalah itu lagi. Tapi saya tahu, ia kuatir dan sedih. Dengan berat hati saya mengecewakannya. Saya tahu. Maafkan saya.


Pertanyaanpertanyaan seperti itu memang sangat mengganggu saya tapi saya sekarang ini tidak terlalu ambil pusing dengan itu semua. Saya tinggal tersenyum dan mengatakan bahwa saya belum mikir soal menikah dan tidak ada rencana untuk itu. Biasanya, mereka (keluarga dan tetangga) yang bertanya hanya memandang saya dengan pandangan kasihan. Ah, pandangan yang saya tidak suka. Dikasihani. Saya tidak peduli. Saya berlalu saja. Dan pembicaraan seperti itu berhenti.

Yang belum bertanya adalah ayah saya. Aneh bagi saya mengingat dia selalu ingin mengatur semuanya. Mungkin ia tahu bahwa ia sudah tidak bisa lagi meminta saya mengikuti maunya. Ya, agaknya memang itu. Dia tidak pernah bertanya mau kemana saya, apa yang saya cari, bagaimana masa depan saya. Meski saya tahu di belakang saya, ia selalu membicarakannya dengan keluarga besar saya yang lain. Sekali lagi saya tidak peduli. Saya sudah diam sejak lama. Saya tidak mau lagi diatur. Saat ini saya memang berkompromi tapi bukan untuk diatur lagi. Agaknya ia tahu itu dan tidak ikut campur hidup saya lagi. Sedikit demi sedikit.


Kali ini saya tidak berusaha melawan pertanyaanpertanyaan itu. Tidak lagi marah dan melawan dengan frontal. Tidak lagi dengan garis keras seperti kebiasaan saya dulu. Tapi kali ini dengan siasat. Saya belajar bahwa melawan kekerasan dengan kekerasan tidaklah ada gunanya. Menghabiskan energi. Meski demikian energi kemarahan saya memang belum habis atau memang tidak habis. Itu mungkin salah satu yang membentuk saya. Hingga saya sampai kepada bentuk saya saat ini.


Toh kalau pertanyaanpertanyaan tentang kehidupan sosial seperti itu muncul lagi dan pasti akan gencar mengingat sepupu saya akan lamaran, sahabat karib saya akan tukar cincin dan adik saya sendiri juga akan naik ke tahap serius dengan pasangannya, saya hanya akan memaklumi karena itu bagian dari proses dan usia juga. Wis wayahe kalau orang Jawa bilang. Jadi kenapa harus repot dan sewot?


Menikah itu baik, tapi tidak untuk saya... itu katakata siapa ya? Saya lupa. Saya pernah baca di sebuah buku. Somewhere. Hmm... benar..


06. 07. 08 12.01...

Thursday, June 19, 2008

lunatic

I.
bumi mengira ia adalah anak yang paling berbahagia di seluruh dunia. Memiliki ayah dan ibu yang mencintainya serta rumah yang hangat dan menyenangkan adalah sesuatu hal yang lebih dari cukup untuk membahagiakannya. Tapi ternyata semua tidak seperti yang disangkanya. Neraka itu mulai terjadi. Ayahnya ternyata mulai melakukan kekerasan fisik, seksual dan psikologis terhadap ibunya. Semua berawal dari usia Bumi yang kelima. Saat itu ia merasa ada semacam ketegangan di rumah mereka. Ayahnya mulai bersikap kasar terhadap ibunya. Memukul, menampar dan memaki ibunya jika ibunya tidak berbuat seperti apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Katakata kasar, sumpah serapah berhamburan. Suatu kali, saat itu Bumi yang masih berusia enam tahun, tengah malam terbangun dan mendengar ibunya menangis. Kenapa ibu menangis? Ia kemudian mencari tahu. Ibu berada di dalam kamar sedang bersama dengan ayahnya. Dari celah pintu yang terbuka, Bumi melihat ke dalam, dan dilihatnya ibunya sedang melakukan hubungan seksual dengan ayahnya. Wajah ibu lebamlebam dan berdarah. Ibu menangis. Ibu kesakitan. Tapi ayahnya tidak peduli. Bumi tidak mengerti. Ayahnya sudah berubah menjadi monster mengerikan.


Sejak saat itu kekerasan selalu terjadi. Bumi pun juga mengalaminya. Ayah sering memukulnya jika ia tidak menurut. Seperti saat ia pulang sekolah terlambat, ia mendapatkan amarah ayahnya. Bumi mencoba menjelaskan alasannya bahwa ia pulang terlambat karena mengerjakan tugas terlebih dahulu di rumah salah seorang temannya tapi ayahnya tidak mau tahu. Dan halhal seperti itu sering terjadi.

Kesendirian, tanpa teman, kekerasan yang dilihat dan dialaminya membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, penyendiri, tidak mudah percaya pada orang dan pemurung. Ia ingin seperti anakanak lain. Bermain bebas dan tidak dikungkung oleh ayah yang tiran seperti itu. Yang paling menyedihkan baginya adalah: melihat ibunya mengalami kekerasan itu hampir setiap hari. Ia mendengar ibu menangis lirih di sebelahnya ketika ia sedang tidur. Ia mendengar ibu bicara sendirian pada bungabunga di kebun. Kenapa ibu tidak pergi saja? Demikian tanyanya suatu kali. Ibu menggeleng. Kamu butuh ayah, jawabnya. Aku tidak butuh ayah seperti itu, bantah Bumi. Sudahlah nak, biarkan saja semuanya seperti ini, tegas ibu. Bumi marah. Kenapa ibu seperti itu? Kenapa?! Kenapa ayah seperti itu?

Kemudian perlahan, Bumi mulai menciptakan dunianya sendiri. Dunia dimana tidak ada kekerasan dan ayahnya sama sekali. Ia mulai menciptakan saudara khayalan. Ara. Ara seusia Bumi. Ara cantik. Ara pintar. Ara selalu melawan ayah ketika ayah mulai memukuli ibu. Ara selalu menenangkan Bumi dan memberi keberanian untuk melawan ayah. Bumi sangat mencintai Ara. Ara adalah tumpuannya. Ara hebat. Ara tidak pernah takut menentang ayahnya. Dunia bersama Ara sangat menyenangkan. Tapi semakin lama, Bumi semakin terdominasi oleh Ara. Ara semakin berkuasa. Ia semakin sering mengambil alih Bumi. Semua Ara. Bumi tidak bisa menghalanginya. Ia sangat mencintai Ara. Tanpa Ara ia tidak akan bisa bertahan menghadapi neraka ini.

Ternyata kiamat itu ada. Kiamat datang ketika ibunya memutuskan untuk bunuh diri. Peristiwa itu terjadi ketika Bumi berusia 10 tahun. Saat itu, ia dan ibu berlibur ke Parangtritis. Menginap di rumah simbah. Suatu malam, ketika itu Bumi sudah tidur, ibu pergi ke pantai. Ibu tidak tahu kalau Bumi mengikutinya. Bumi terjaga dan menemukan ibu tidak ada di sisinya. Kemudian ia mencari ibu dan menemukan ibu sedang berjalan menuju pantai. Kenapa malammalam begini ibu pergi ke pantai? Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat ibu berjalan ke arah laut tanpa menghiraukan gelombang pasang waktu itu. Bumi mencoba mengejar ibu, tapi semua terlambat. Ibu sudah masuk ke dalam gelombang dan hilang.


II.

sejak saat itu dendamnya terhadap ayahnya membara. Ia akan membalas semua perlakuan ayahnya itu. Pasti. Ara setuju. Ara memberi usul bagaimana kalau Bumi membunuh ayahnya. Bumi berpikir: membunuh ayahnya? Tidakkah itu dosa? Dia seorang ayah. Jawab Ara, ia yang menyebabkan ibu masuk ke dalam laut. Ia yang memukuli ibu. Ia yang memperkosa ibu.

Pergulatan panjang dan adu pendapat antara Ara dan Bumi untuk mematangkan rencana pembunuhan itu berjalan kirakira 3 tahun. Dan rencana itu akhirnya dijalankan. Bumi dan Ara merancang sebuah peristiwa kebakaran yang kemudian ayah terbakar di dalamnya. Ayah dikunci di ruang kerjanya ketika sedang mabuk dan mereka kemudian membakar rumah dan segala isinya.

Para tetangga menemukan Bumi tertegun memandang rumahnya dan tidak mampu bicara sepatah katapun. Ia terlalu gembira untuk bisa mengungkapkannya. Polisi yang mengusut kejadian tersebut dan mencurigai bahwa Bumi terlibat di situ. Tapi penyelidikan tidak dilanjutkan karena menurut psikolog, Bumi memiliki kelainan jiwa. Dia tidak bisa dihukum. Kemudian Bumi dibawa ke rumah sakit jiwa dan dirawat di sana.


III.

setelah satu tahun tinggal di rumah sakit jiwa, Bumi merasa hidupnya sebenarnya sudah selesai. Bahkan hidupnya sudah selesai semenjak ia memutuskan membunuh ayahnya. Lalu untuk apa ia hidup jika semuanya sudah selesai seperti ini? Ara tidak lagi bersahabat dengannya. Ia hanya menyalahkan Bumi. Bukankah ia yang punya ide membunuh ayah? Memang mereka berdua yang bersama melakukannya, tapi kenapa Ara meletakkan semua tanggung jawab hanya pada Bumi? Ara menjadi kian mendominasi. Ia muak. Ia tidak mau didominasi lagi. Lagipula untuk apa hidup? Kemudian, ia merencanakan sebuah pembunuhan. Atas dirinya. Kali ini Ara protes keras. Kalau Bumi mati, dia otomatis juga mati. Tidak. Ara masih mau hidup. Tapi Bumi tidak mau hidup. Cukup.

akhirnya dokter mengijinkan ia keluar. Ia akan tinggal bersama simbah di parangtritis. Satu tahun. Dan rencana itu kian matang dari hari ke hari. Pemikiran itu menghantuinya. Hidupnya sudah selesai. Ia mau seperti ibu. Masuk ke laut dan hidup abadi di laut. Bumi mau bertemu ibu. Dan terjadilah, ia akhirnya berjalan masuk ke laut.


PS: ini hanyalah sebuah desain cerita yang saya buat untuk kelas menulis saya. memang hanya itu. tapi yang membuat saya tertegun adalah apa yang tersembunyi dari yang telah saya tulis itu. ketika hidup sudah selesai dan tidak ada lagi yang perlu dipertahankan, untuk apa melanjutkannya? lebih baik ditutup dan selesai. saya tertegun. ternyata itu premis tersembunyinya. mentor saya menatap saya dan saya menatapnya, tertegun.

ah, tampaknya saya harus menabung keberanian dan keyakinan bahwa hidup saya belumlah selesai. iya...


Thursday, June 5, 2008

di belakang saya...

I have something to tell you
And I know it won't be easy
I've been thinking these past few days
It might be time to leave
You're like a stranger
Then you're a lover
Never the same
Always hard to believe

I'm caught between goodbye and I love you
Never knowing quite where I stand
I'm caught between goodbye and I love you
Falling both ways nowhere to land
So constantly stranded
I can't understant it
This double life you've handed me
Is like the devil and the deep blue sea

If we go on much longer
If my doubts grow any stronger
Then I may have to let you go
If only to survive
Give me a reason
Why should I stary here?
I've tried so hard
Just to keep love alive

(good bye and i love you, the carpenters)




Tuesday, June 3, 2008

melancholia episode: menjadi guru...



Ya. Menjadi guru, itu tak pernah terpikirkan dalam benak saya. Ehm... sebenarnya terpikirkan juga tapi bukan sebagai guru play group seperti sekarang ini. paling tidak dalam gambaran saya adalah menjadi dosen. Halah. Tapi lihatlah dimana saya akhirnya berlabuh. Di sebuah sekolah dengan murid sejumlah 30 orang anak dari usia 2 tahun sampai dengan 4 tahun. Hebat. Ini hebat. Saya yang cenderung galak (dan memang iya hehehe), punya kecenderungan melankolia (yang semakin saya sadari belakangan ini dan memang parah), mood swing, ternyata bisa mengajar dan mendidik balitabalita itu. Sekali lagi hebat.

Temanteman saya sesama guru bilang bahwa saya sudah menjadi lebih lembut (dari segi penampilan juga) daripada tahuntahun kemarin. Perubahan yang saya juga sadari dan saya nyaman dengan itu. Setiap manusia memang harus berubah dan menemukan maknamakna baru. Mengingat katakata seorang teman: tidak ada kebenaran absolut. Kebenaran hari ini akan berganti dengan kebenaran esok hari yang (mungkin) berbeda. ya. Ya. Saya tahu dan mengerti itu.

Sekali lagi menjadi guru play group; hmm... apa yang ada di kepala saya ketika menerima tawaran ini pertama kali? Dulu akhir tahun 2004? Jawabannya sederhana: saya ingin mencoba. Saat itu saya sedang akhir skripsi dan sedang mencari pengalaman; tawaran itu pun datang. Saya mengangguk. Pertama kali mengajar, aduh, grogi sekali. Saya yang empat tahun lalu, sangat menolak menjadi perempuan seperti saya sekarang, yang cadas dan gahar (haiya!), mencoba mengajar. Sempat terpikirkan, janganjangan semua murid saya menangis melihat saya. Tapi lihat, ternyata tidak. Anakanak tidak peduli dengan penampilan saya, seperti apapun bentuknya. Yang mereka pedulikan adalah saya: bu ika, guru mereka. Dan tebak, lambat laun saya menjadi nyaman dengan mereka dan dunia mereka. Sampai saat ini.

Dulu saya hanya iseng dan mau mencoba. Tanpa ekspektasi apapun. Ternyata saya kemudian jadi jatuh cinta dengan dunia anakanak. Saya mencintainya. Tidak terasa. Tumbuh pelan dan perlahan sampai kemudian saya menyadari bahwa saya mencintai pekerjaan saya ini.

Tapi jika melankolia saya datang (saya benci sekali jika itu datang), semua jadi tidak menyenangkan. Saya jadi membandingkan pekerjaan ini dengan pekerjaan lain milik temanteman saya. Pekerjaan yang lebih keren. Lebih hip, menurut saya. Penuh dengan orangorang keren. Ah, keren itu seperti apa to ka? Keren karena bisa ngomong tentang Derrida, Foucault, Trufautt, dogme 95, marx, teori ini, teori itu, atau berteman dengan orangorang terkenal, pembuat film terkenal, orangorang yang hanya bisa ditemui namanya dalam jurnal, dsb atau karena apa? Kamu juga bisa, hanya saja kamu tidak mau to? Itu bukan hal yang perlu digembargemborkan to? Itu bukan hal yang terlalu penting kan? Ah, iya. Mengapa saya lupa? Saya sendiri yang memilih seperti itu. Memilih untuk merayakan “koper pengetahuan” di dalam kepala saya dengan cara saya sendiri. Lalu kenapa saya harus iri? Manusia memang. Atau tepatnya, penyakit saya. Penyakit orang minder.

Standar siapa yang saya pakai kali ini? bukan murni standar yang saya buat sendiri. Tapi standar orang lain yang saya cangkokkan ke dalam diri saya. Standar seorang penulis sukses, seorang pembuat film pendek, seorang progammer, seorang pembuat film dokumenter, seorang anak komunitas film, seorang penulis skenario, seorang anarko sindikalis, dst. Tidak ada “saya seorang guru play group yang bahagia dengan pekerjaannya dan sekarang mencoba lebih serius menulis”. Tidak ada. Jadi wajarlah kalau saya adalah layanglayang putus yang tidak tahu arah. Yang dipikirkan adalah bagaimana bisa sejajar dengan layanglayang lain yang berwarnawarni itu. Mereka tidak putus dan tahu arah karena mereka tahu apa yang mereka inginkan. Arah mana yang hendak dituju. Sedangkan saya? Sedang memutuskan untuk memilih kemana saya akan melabuhkan diri –meski sebenarnya sudah jelas terlihat kemana arah pelabuhan saya.

Ah, saya dan standar saya. Sejak dulu tidak pernah akur. Harusnya kami lebih bisa berteman. Seharusnya. Dan akan saya coba terus. Berdamai. Mencari standar saya sendiri. Keren dan tidak keren hanya jebakan bukan? Jebakan manis yang susah dihindari. Siapa yang menentukan? Janganjangan saya keren juga? Hahahahaha!!!!

Kembali ke mengajar. Itu menyenangkan sekali ternyata. Duduk dalam lingkaran saat story telling dengan muridmurid saya yang bengong menatap saya dan buku cerita yang saya bacakan. Lucu melihat mereka. Ada yang serius memperhatikan, tapi ada juga yang menguap dan memilih bersender pada guru yang lain (satu guru membacakan cerita, yang lain duduk bersama anakanak) lalu selonjor dan mengusili temantemannya. Apa ya cerita favorit mereka? Kalau tidak Franklin, ya Tini (saya baca kisah Tini sejak saya SD). Franklin begitu nyata bagi mereka sehingga mereka bisa dengan mudah mengidentifikasi diri mereka dengan Franklin dan temantemannya (saya berterima kasih sekali pada pencipta Franklin, ada juga buku yang sangat mendidik itu). Ambil contoh: Franklin dan Kamarnya, Franklin dan peri Gigi, Franklin Belajar Naik Sepeda, Franklin takut gelap. Dari judulnya saja sudah ketahuan apa yang mau disampaikan. Persoalanpersoalan sepele yang dihadapi oleh anakanak. Khas. Bahasanya pun khas. Tentang membereskan kamar, belajar naik sepeda, belajar mengatasi kegelapan, sakit gigi, berkunjung ke rumah teman, mendapatkan teman baru, meminta maaf. Dan itu biasanya sukses membuat anak teringat mengenai apa yang diajarkan. Dan Franklin adalah buku yang paling sering dipinjam oleh anakanak (di sekolah, anakanak boleh meminjam buku untuk dibaca di rumah) dan bukunya sampai bluwek dan copot. Itupun masih dipinjam berkalikali. Bahkan ada anak yang meminjam satu judul berkalikali sampai saya harus menyembunyikan buku itu supaya anak tersebut meminjam buku lain. Begitulah rutinitas saya di sekolah. Menyenangkan meski kadang kalau sedang jenuh dan anakanak sedang rewel dan menjengkelkan, tanduk saya bisa keluar dengan sempurna.

Somehow, ini juga merupakan obat bagi diri saya sendiri. Dengan mengajar dan berhadapan dengan anakanak, saya sedang mengobati diri sendiri. Ternyata cara ini manjur lebih dari yang saya sangka. Saya memberikan cinta saya pada anakanak saya, dan saya mendapatkan kelegaan luar biasa. Dan coba tebak, saya suka dipanggil dengan sebutan “ibu, bu”. Bukan hanya oleh muridmurid saya tapi oleh orangorang lain. Selain karena saya memang sudah emakemak, sebutan itu terdengar nyaman di telinga saya. Mungkin karena saya terbiasa atau memang karena saya mulai menyukainya.

Tapi apakah saya puas dengan keadaan saya sekarang? Tidak. Saya kepikiran ingin punya sekolah sendiri. Punya “bayi” saya sendiri. Tapi itu nanti dulu. Modal belum ada. Pelanpelan lah. Membuat sekolah kan butuh biaya yang tidak sedikit. Dengan keuangan saya saat ini jelas tidak mungkin. Suatu saat.

Pelanpelan... pasti bisa ka...








02.06.08 23.53...


Monday, June 2, 2008

melancholia...


bangsat! saya menangis sejadijadinya tanpa tahu kenapa...



Wednesday, May 21, 2008

memanggil kembali yang terlupakan











Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk menonton sebuah antologi film pendek dalam rangka memperingati 10 tahun reformasi 1998. hmm... 10 tahun ya? God damn shit waktu ternyata berlalu dengan sangat cepat. Dimana kirakira saya waktu itu ya? Film-film yang ada dalam antologi itu sendiri tidak bercerita dengan persis mengenai bagaimana peristiwa reformasi 10 tahun itu tapi lebih kepada cerita mengenai orang-orang kebanyakan dengan peristiwa Mei 98 itu sebagai titik pijakan. Kata moderator diskusi waktu itu: kita tidak sedang merayakan “peristiwa” itu sendiri, tapi merayakan “efek dari perubahan yang dibuat oleh peristiwa itu”. Maka jadilah yang ada adalah cerita mengenai dimana “saya, kamu, dia, mereka, kami, kita” tepat sepuluh tahun yang lalu. Kisahan menarik keluar dari sini. Ada yang sepuluh tahun lalu adalah seorang gadis pesta tanpa memikirkan apaapa. Sempat tercatat dalam kepala saya katakata perempuan dalam film itu : “andai gue waktu itu lebih serius dengan hidup, sekarang mungkin berbeda ya?”. Lalu ada cerita mengenai seorang mantan demonstran 98 yang sekarang menjadi seorang pekerja film, relatif mapan, suami siaga dengan istri dan seorang anak yang lucu. Seorang korlap (ah, saya ingat betapa seksinya predikat itu dulu di mata saya. Seorang pejuang. Sekarang? Taik lah! ) yang dulu berkoarkoar mengenai menggulingkan rezim Soeharto, sekarang dengan santai mengatakan bahwa demonstrasi sudah tidak perlu lagi. Tugas mahasiswa adalah belajar, menyelesaikan kuliah dan dengan demikian ia akan membuka pintu ke arah masa depan yang lebih baik. Saya spontan langsung ngakak dengan beberapa teman di sebelah saya. Ah, voila! Akhirnya! Ia sampai di sana juga. Hebat sekali realitas ya, bisa merubah seorang mantan demonstran yang sangat berapiapi dalam setiap pidatonya (janganjangan dulu dia juga sangat paham mengenai berbagai macam teori mengenai “kiri yang seksi” itu. Seperti biasa to?) menjadi seorang yang berbeda setelah mapan. meski mencibir, saya tahu dia benar. Saya mencibir perubahannya yang 180 derajat itu. Memang pada akhirnya semuanya harus berkompromi dengan kenyataan. Saya tahu itu. Kenyataan memang pada akhirnya menggerus semua mimpi dan romantisme masa lalu. Romantisme masa lalu hanyalah kenangan. Seperti batubatu di sungai. Kenyataan adalah arus yang melewati batubatu itu. Yang ada sekarang adalah hasil seleksi alam. Bagaimana mimpi itu –apakah masih bisa dipertahankan sama seperti dulu atau dilepaskan sama sekali atau dipoles dan disesuaikan dengan kenyataan?

Menonton semua film dalam antologi malam itu, membuat saya bertanya kepada diri saya sendiri mengenai dimana saya sepuluh tahun yang lalu saat peristiwa reformasi terjadi, lalu selama sepuluh tahun rentang waktu itu apa saja yang saya kerjakan. Benarbenar berpikir dan mengingat.

Sepuluh tahun yang lalu, Mei 1998, saya masih duduk di kelas dua SMA. Bersiapsiap untuk ujian catur wulan tiga dan memutuskan untuk masuk IPS ketika naik ke kelas tiga. Saya masuk IPS karena saya memang sangat suka pelajaran sosial (kecuali akuntansi dan ekonomi) terlebih sosiologi dan antropologi budaya (nah, ketahuan memang minat saya kemana). Dan lagi saya tidak suka pelajaran eksak (nilai saya hanya berkisar 4-5-6 untuk biologi, matematika, fisika, dan kimia. Saya benci sekali). Jadi ingat juga kalau saya selalu jadi urutan bawah setiap kali menerima rapor. Selalu sejak kelas 1. dan empat mata pelajaran yang saya benci itu selalu bergantian mendapat angka merah. Maka ketika kenaikan kelas, melenggang kangkunglah saya masuk ke kelas tiga IPS dan tebak, di kelas tiga saya selalu mendapat nilai hampir sempurna untuk setiap mata pelajaran kecuali matematika (saya kesal sekali ketika tahu matematika masuk juga ke jadwal pelajaran anakanak kelas IPS). Hah!

Mei 1998 ketika peristiwa Trisakti terjadi dan demonstrasi mahasiswa dimanamana terjadi, saya menonton dengan gemas dan cemas. Di televisi tentunya. Waktu itu, televisi masih lumayanlah. Menonton liputan di televisi dengan berdebardebar mengenai bagaimana nasib mahasiswamahasiswa tersebut. Sempat menangis juga ketika melihat ada mahasiswa yang tertembak. Merasa ikut dan larut dalam hiruk pikuk massa di sana. Ingin berada di antara ribuan mahasiswa itu. Kaki dan mata saya serasa ada di sana. Waktu itu mereka adalah “hero” bagi saya yang anak SMA ingusan ini. dan euforia semacam itu terbawa sampai saya masuk sastra tahun 1999. coba bayangkan, saya mendedikasikan diri belajar dengan sepenuh tenaga dan pikiran untuk bisa masuk ke universitas negeri untuk bisa menjadi pejuang macam mereka. Haiya!!!! Hahahahahahaha!!!! Benarbenar anak SMA. Unthul bawang. Saya ingin memakai jas almamater warna kuning itu (tapi karena saya tidak punya biaya untuk kuliah di UI, akhirnya masuk UGM sajalah hehehe. puas dengan jaket almamater yang hijau bluwek, yang pada akhirnya hanya teronggok di lemari dan hanya saya pakai saat KKN. Itupun tidak selalu).

Tahun 1999, sastra UGM benarbenar gudangnya euforia. Dan gudangnya lakilaki yang tipe saya banget hehehe. tinggi, kurus, kulit coklat. Saya jadi seperti kuda dilepaskan di padang rumput. Bertemu dengan dunia baru. Bersemangat setiap hari. Bertemu dengan orangorang yang berbeda. Hmm..., saya kok kangen dengan saya waktu itu ya. Tidak seperti saya yang sekarang ini. saya yang sudah banyak berkompromi dengan realitas. Saya berkenalan dengan banyak hal. Membaca banyak hal. Menyenangkan sekali mengingat masamasa itu.

Ingat pula, waktu itu saya terpesona dengan gerakan mahasiswa. Keren. Benarbenar memang saya waktu itu. Tapi saya tidak berani mendekat kepada mereka karena saya tidak percaya diri untuk bergaul dengan mereka. Takut ditolak. Maklum, penampilan saya kurang meyakinkan hehehe. tapi semakin bertambahnya usia dan pemahaman saya, apa yang saya anggap keren itu ternyata luntur sedikit demi sedikit. Saya melihat bahwa gerakan mahasiswa, korlap, kiri itu seksi hanya sebagai kendaraan untuk menaikkan pamor dan reputasi. Saya melihat bahwa banyak yang menjadi “socialite” dadakan dengan menjadi kiri itu seksi tanpa mengerti apa yang disematkan itu. Banyak yang menjadi “social climber”. Saya ingat ada seorang teman baik yang memberi istilah “marxist ewekan” untuk itu. Ikut gerakan untuk memacari salah satu pentolannya. Numpang terkenal to? Saya ngakak. Ada juga istilah itu ya.

Rentang waktu sepuluh tahun memang memberi saya banyak hal untuk dipelajari. Banyak hal yang harus dikompromikan dengan kenyataan. Mengakalinya untuk tidak kehilangan pegangan. Berkompromi untuk berusaha tidak tergerus. Kalau saya bisa bikin film seperti cik Rani, mungkin saya bisa melihat perubahan saya dari waktu ke waktu melalui apa yang sudah saya buat. mungkin tidak usah film –muluk bener; tulisan saya yang tidak seberapa itu saja. Pasti ada banyak perubahan selama rentang waktu sepuluh tahun ini. saya, sayangnya, tidak mengumpulkan semua tulisan paper kuliah untuk dilihat lagi dan dibaca kembali. Siapa tahu saya bisa ngakak habishabisan membaca semua itu.

Mas demonstran itu telah belajar bahwa perubahan akan berjalan lebih baik jika dimulai dari lingkungan terkecil tempat tinggal masingmasing kita. Diri kita, keluarga, sekolah, pekerjaan. Itu lebih baik daripada demonstrasi besarbesaran. Jaman sekarang musuh yang dihadapi berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Saya setuju. Sejak mulai melunturnya keterpesonaan saya pada gerakan mahasiswa cs, saya mulai membuat rumusan sendiri untuk diri saya sendiri, bahwa aksi nyata langsung ke kehidupan keseharian jauh lebih berdaya guna untuk membuat perubahan daripada sibuk berwacana dan berkoarkoar. Sekarang, saya dengan predikat seorang edukator di sebuah sekolah untuk anakanak usia dini, mencoba menerapkan itu. Sepenuh hati. Dan saya bangga. Meski kecil tapi saya tahu itu berarti.

Mungkin suatu saat nanti saya akan mempunyai sekolah sendiri. Mungkin. Mengutip katakata seorang teman baik: dunia yang lebih baik itu mungkin...

20.05.08 12.55...

Saturday, May 17, 2008

rapunzel, rapunzel, turunkan rambutmu...


oh, god let me forget the things he said
let me not lie another night awake
repeating the promises he made,
freezing and burning for his faithless sake;
seeing his face, feeling his hand once more
loosen my braided hair until it fell
shining and free; remembering how he swore
a single strand might lift a man from hell...

i knew that other girls in april past,
had leaned, like me, from some old tower's room
and watched him clamber up, hand over fist...
i knew that i was not the first to twist
her heartstrings to a rope for him to climb.
i might have known i would not be the last.

(sara henderson hay, don't bet on the prince: contemporary fairy tales in north america and england)