: manusia siput di rumah gereja putih, di hari minggu hujan...
Seseorang dari folder lama saya baru saja mengabarkan bahwa ia akan bertunangan. Seseorang ini tidak pernah mau memanggil langsung nama saya. Tidak pernah. Akunya dulu pada saya, karena ia tidak berani. Ia tidak akan pernah bisa memanggil saya dengan nama saya. Ia selalu memanggil saya dengan “mbak” alih-alih nama saya. Saya merasa tua sekali waktu itu dan memintanya memanggil dengan nama saja, tapi ia bersikukuh bahwa biarkan saja begitu adanya. Biarkan saja “mbak” itu sebagai penghormatan pada saya. Penghormatan? Saya tidak terlalu membutuhkan itu. Baginya itu sebuah penghormatan. Bagi saya itu adalah sebuah jarak yang diciptakan untuk membuat saya tahu bahwa ada halaman yang tidak boleh saya lintasi. Jarak yang terus menyadarkan saya dimana saya seharusnya. Bahwa halaman itu berpagar dan saya tidak diijinkan masuk ke dalam karena dia tidak memberikan kuncinya kepada saya. Kuncinya –jelas ka, diberikan pada orang lain.
Begitulah sekian tahun berteman dengannya –bisakah itu disebut dengan pertemanan sementara saya tampak sebagai Attila the Hunt, sang agresor, pihak yang sangat mengintimidasi tanpa saya berkata apapun– ia tetap tidak mau mengecilkan jarak di antara kami. Dan akhirnya saya menyerah untuk tidak memaksanya lagi. Saya menyerah, untuk kemudian mundur. Kemudian kami sibuk dengan hidup masing-masing. Hubungan kami hanya sebatas itu. Saling berkirim kabar, bertanya bagaimana hidup masing-masing, kemudian menghilang, dan kemudian ia muncul lagi dengan berita itu. Berita yang saya tahu pasti akan sampai ke telinga saya, dan saya tahu saya akan seperti ini: bengong dan berderaiderai. Saya tahu, saya bisa memastikan bagaimana reaksi saya, dan tetap saja saya tidak mampu mengendalikan lonjakan rasa sedih itu. Saya merasa sekali lagi ditinggalkan. Dibiarkan berdiri di luar pagar, dan saya merasa sebagai tamu tidak diundang. Yang hanya boleh melihat kehangatan di dalam rumah dari pintu luar pagar.
Ya, saya sudah lama berlalu dari pintu pagar itu. Mencari pintupintu lain yang terbuka bagi saya, mengetuknya dan menanyakan kemungkinan apakah saya bisa masuk dan tinggal. Tapi saya selalu memandang rumah dan pintu pagar itu dari jauh jika saya lewat. Masih tetap sama. Saya tidak diundang. Sampai hari ini datang.
Dia dulu berkata “tidak” untuk saya. Kata “tidak” dengan nada getir. sekarang pun sama. Jelas. Saya membayangkan bagaimana dia sekarang ini. Bahagiakah ia? Seingat saya gadis yang akan dinikahinya itu adalah gadis pujaannya sejak dulu. Begitu ia bercerita pada saya. Dulu saya membayangkan bagaimana gadis itu. Apakah ia seperti saya? Apa yang ia suka? Betapa tidak berharganya pikiranpikiran seperti itu, tapi saat itu saya tidak mampu mengendalikannya. Itu datang begitu saja. Sesuatu yang tidak terlalu penting lagi saat ini. Dan memang tidak perlu dipikirkan.
Saya tidak tahu apa yang saya pikirkan waktu itu. Hmm...sepertinya waktu itu terjadi, sudah puluhan tahun yang lalu. Yang saya tahu, saya merasakan banyak sekali kupu-kupu dalam perut saya. Banyak sekali. Dan saya merasa jadi lebih sering tersenyum. Kawanan kupukupu itu memang dahsyat. Sampai sekarang masih saya simpan kupukupu dalam perut itu dalam sebuah kotak. Sudah membeku seperti sebuah hiasan serangga yang diawetkan teronggok di buffet, di ruang tamu. Tidak sama seperti dulu. Jejaknya hanya ada dalam ingatan saya. Hanya itu yang tersisa. Tapi mengapa tetap saja mata saya basah seperti ini?
Orang ini, manusia siput yang mengatakan “tidak” kepada saya bertahun lampau, saya ternyata menyayanginya. Perasaan itu tenang. Tidak bergejolak. Bukan masanya lagi. Masa itu sudah lewat. Saya tahu ini akan menjadi seperti yang dibilang ibu paus bungkuk kawan saya yang berada di dekat amerika sana –laten. Sesuatu yang laten akan menjadi abadi dan hidup di dalam diri saya, dan saya tidak perlu menengok ke tempat lain lagi, kecuali dalam diri saya sendiri.
Tapi saat ini biarkan saya menangis sepuasnya, di rumah siput ini, di hadapan setumpuk pekerjaan yang ternyata menjadi korek api ajaib saya, yang memberi saya kehangatan dan kekuatan, betapapun saya sangat lelah menghadapinya.
Ibu angsa, rumah siput, Sarah McLachlan, Carpenter, dan Enzo Lorenzo Alfonso di kolong meja untuk malam ini...
Barangkali telah kuseka namamu
Dengan sol sepatu
Seperti dalam perang yang lalu
Kauseka namaku
Barangkali kau telah menyeka bukan namaku
Barangkali aku telah menyeka bukan namamu
Barangkali kita malah tak pernah di sini
Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi
(Barangkali Telah Kuseka Namamu, G.M., 1973)
PS: doa saya selalu untukmu. Selalu...
Rumah siput, 19.12.08, 23.00...