Wednesday, May 21, 2008

memanggil kembali yang terlupakan











Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk menonton sebuah antologi film pendek dalam rangka memperingati 10 tahun reformasi 1998. hmm... 10 tahun ya? God damn shit waktu ternyata berlalu dengan sangat cepat. Dimana kirakira saya waktu itu ya? Film-film yang ada dalam antologi itu sendiri tidak bercerita dengan persis mengenai bagaimana peristiwa reformasi 10 tahun itu tapi lebih kepada cerita mengenai orang-orang kebanyakan dengan peristiwa Mei 98 itu sebagai titik pijakan. Kata moderator diskusi waktu itu: kita tidak sedang merayakan “peristiwa” itu sendiri, tapi merayakan “efek dari perubahan yang dibuat oleh peristiwa itu”. Maka jadilah yang ada adalah cerita mengenai dimana “saya, kamu, dia, mereka, kami, kita” tepat sepuluh tahun yang lalu. Kisahan menarik keluar dari sini. Ada yang sepuluh tahun lalu adalah seorang gadis pesta tanpa memikirkan apaapa. Sempat tercatat dalam kepala saya katakata perempuan dalam film itu : “andai gue waktu itu lebih serius dengan hidup, sekarang mungkin berbeda ya?”. Lalu ada cerita mengenai seorang mantan demonstran 98 yang sekarang menjadi seorang pekerja film, relatif mapan, suami siaga dengan istri dan seorang anak yang lucu. Seorang korlap (ah, saya ingat betapa seksinya predikat itu dulu di mata saya. Seorang pejuang. Sekarang? Taik lah! ) yang dulu berkoarkoar mengenai menggulingkan rezim Soeharto, sekarang dengan santai mengatakan bahwa demonstrasi sudah tidak perlu lagi. Tugas mahasiswa adalah belajar, menyelesaikan kuliah dan dengan demikian ia akan membuka pintu ke arah masa depan yang lebih baik. Saya spontan langsung ngakak dengan beberapa teman di sebelah saya. Ah, voila! Akhirnya! Ia sampai di sana juga. Hebat sekali realitas ya, bisa merubah seorang mantan demonstran yang sangat berapiapi dalam setiap pidatonya (janganjangan dulu dia juga sangat paham mengenai berbagai macam teori mengenai “kiri yang seksi” itu. Seperti biasa to?) menjadi seorang yang berbeda setelah mapan. meski mencibir, saya tahu dia benar. Saya mencibir perubahannya yang 180 derajat itu. Memang pada akhirnya semuanya harus berkompromi dengan kenyataan. Saya tahu itu. Kenyataan memang pada akhirnya menggerus semua mimpi dan romantisme masa lalu. Romantisme masa lalu hanyalah kenangan. Seperti batubatu di sungai. Kenyataan adalah arus yang melewati batubatu itu. Yang ada sekarang adalah hasil seleksi alam. Bagaimana mimpi itu –apakah masih bisa dipertahankan sama seperti dulu atau dilepaskan sama sekali atau dipoles dan disesuaikan dengan kenyataan?

Menonton semua film dalam antologi malam itu, membuat saya bertanya kepada diri saya sendiri mengenai dimana saya sepuluh tahun yang lalu saat peristiwa reformasi terjadi, lalu selama sepuluh tahun rentang waktu itu apa saja yang saya kerjakan. Benarbenar berpikir dan mengingat.

Sepuluh tahun yang lalu, Mei 1998, saya masih duduk di kelas dua SMA. Bersiapsiap untuk ujian catur wulan tiga dan memutuskan untuk masuk IPS ketika naik ke kelas tiga. Saya masuk IPS karena saya memang sangat suka pelajaran sosial (kecuali akuntansi dan ekonomi) terlebih sosiologi dan antropologi budaya (nah, ketahuan memang minat saya kemana). Dan lagi saya tidak suka pelajaran eksak (nilai saya hanya berkisar 4-5-6 untuk biologi, matematika, fisika, dan kimia. Saya benci sekali). Jadi ingat juga kalau saya selalu jadi urutan bawah setiap kali menerima rapor. Selalu sejak kelas 1. dan empat mata pelajaran yang saya benci itu selalu bergantian mendapat angka merah. Maka ketika kenaikan kelas, melenggang kangkunglah saya masuk ke kelas tiga IPS dan tebak, di kelas tiga saya selalu mendapat nilai hampir sempurna untuk setiap mata pelajaran kecuali matematika (saya kesal sekali ketika tahu matematika masuk juga ke jadwal pelajaran anakanak kelas IPS). Hah!

Mei 1998 ketika peristiwa Trisakti terjadi dan demonstrasi mahasiswa dimanamana terjadi, saya menonton dengan gemas dan cemas. Di televisi tentunya. Waktu itu, televisi masih lumayanlah. Menonton liputan di televisi dengan berdebardebar mengenai bagaimana nasib mahasiswamahasiswa tersebut. Sempat menangis juga ketika melihat ada mahasiswa yang tertembak. Merasa ikut dan larut dalam hiruk pikuk massa di sana. Ingin berada di antara ribuan mahasiswa itu. Kaki dan mata saya serasa ada di sana. Waktu itu mereka adalah “hero” bagi saya yang anak SMA ingusan ini. dan euforia semacam itu terbawa sampai saya masuk sastra tahun 1999. coba bayangkan, saya mendedikasikan diri belajar dengan sepenuh tenaga dan pikiran untuk bisa masuk ke universitas negeri untuk bisa menjadi pejuang macam mereka. Haiya!!!! Hahahahahahaha!!!! Benarbenar anak SMA. Unthul bawang. Saya ingin memakai jas almamater warna kuning itu (tapi karena saya tidak punya biaya untuk kuliah di UI, akhirnya masuk UGM sajalah hehehe. puas dengan jaket almamater yang hijau bluwek, yang pada akhirnya hanya teronggok di lemari dan hanya saya pakai saat KKN. Itupun tidak selalu).

Tahun 1999, sastra UGM benarbenar gudangnya euforia. Dan gudangnya lakilaki yang tipe saya banget hehehe. tinggi, kurus, kulit coklat. Saya jadi seperti kuda dilepaskan di padang rumput. Bertemu dengan dunia baru. Bersemangat setiap hari. Bertemu dengan orangorang yang berbeda. Hmm..., saya kok kangen dengan saya waktu itu ya. Tidak seperti saya yang sekarang ini. saya yang sudah banyak berkompromi dengan realitas. Saya berkenalan dengan banyak hal. Membaca banyak hal. Menyenangkan sekali mengingat masamasa itu.

Ingat pula, waktu itu saya terpesona dengan gerakan mahasiswa. Keren. Benarbenar memang saya waktu itu. Tapi saya tidak berani mendekat kepada mereka karena saya tidak percaya diri untuk bergaul dengan mereka. Takut ditolak. Maklum, penampilan saya kurang meyakinkan hehehe. tapi semakin bertambahnya usia dan pemahaman saya, apa yang saya anggap keren itu ternyata luntur sedikit demi sedikit. Saya melihat bahwa gerakan mahasiswa, korlap, kiri itu seksi hanya sebagai kendaraan untuk menaikkan pamor dan reputasi. Saya melihat bahwa banyak yang menjadi “socialite” dadakan dengan menjadi kiri itu seksi tanpa mengerti apa yang disematkan itu. Banyak yang menjadi “social climber”. Saya ingat ada seorang teman baik yang memberi istilah “marxist ewekan” untuk itu. Ikut gerakan untuk memacari salah satu pentolannya. Numpang terkenal to? Saya ngakak. Ada juga istilah itu ya.

Rentang waktu sepuluh tahun memang memberi saya banyak hal untuk dipelajari. Banyak hal yang harus dikompromikan dengan kenyataan. Mengakalinya untuk tidak kehilangan pegangan. Berkompromi untuk berusaha tidak tergerus. Kalau saya bisa bikin film seperti cik Rani, mungkin saya bisa melihat perubahan saya dari waktu ke waktu melalui apa yang sudah saya buat. mungkin tidak usah film –muluk bener; tulisan saya yang tidak seberapa itu saja. Pasti ada banyak perubahan selama rentang waktu sepuluh tahun ini. saya, sayangnya, tidak mengumpulkan semua tulisan paper kuliah untuk dilihat lagi dan dibaca kembali. Siapa tahu saya bisa ngakak habishabisan membaca semua itu.

Mas demonstran itu telah belajar bahwa perubahan akan berjalan lebih baik jika dimulai dari lingkungan terkecil tempat tinggal masingmasing kita. Diri kita, keluarga, sekolah, pekerjaan. Itu lebih baik daripada demonstrasi besarbesaran. Jaman sekarang musuh yang dihadapi berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Saya setuju. Sejak mulai melunturnya keterpesonaan saya pada gerakan mahasiswa cs, saya mulai membuat rumusan sendiri untuk diri saya sendiri, bahwa aksi nyata langsung ke kehidupan keseharian jauh lebih berdaya guna untuk membuat perubahan daripada sibuk berwacana dan berkoarkoar. Sekarang, saya dengan predikat seorang edukator di sebuah sekolah untuk anakanak usia dini, mencoba menerapkan itu. Sepenuh hati. Dan saya bangga. Meski kecil tapi saya tahu itu berarti.

Mungkin suatu saat nanti saya akan mempunyai sekolah sendiri. Mungkin. Mengutip katakata seorang teman baik: dunia yang lebih baik itu mungkin...

20.05.08 12.55...

2 comments:

Anonymous said...

ini ika sekali! aq suka tulisan yg ini, setelah macam2 tentang hati patah, yg ini JELAS beda! take ur time dear, go writing the best:)

Anonymous said...

aku malah masih SD waktu itu mbak, jadi belom ngerti kalo ternyata dikalangan mahasiswa itu ada istilah "kiri itu seksi" hehehe