Saya tahu sekarang mengapa saya menyukai si mawar gunung itu. Jawaban yang saya kumpulkan dari hari ke hari dengan memperhatikannya; lagak lagunya, mencoba mengenal karakternya, memahami isi kepalanya. Saya tahu jawabannya sekarang.
Ia adalah saya dalam versi yang lebih baik ketika berusia 24 tahun. Tepatnya, ia mewakili versi diri yang saya inginkan ketika berusia 24 tahun. Mewakili semua gambaran mengenai bagaimana seharusnya saya di usia itu. Ah, saya. Terlalu banyak target: begini begitu, dan semuanya tidak tercapai. Jelas sekali.
Usia 24 tahun; apa yang sudah saya kerjakan waktu itu ya? Tidak terlalu banyak. Baru saja lulus kuliah, wisuda, mulai mencoba mengajar, masih berkobarkobar mengenai bagaimana seharusnya masa muda dan hidup harus dijalani, mengenai pekerjaan impian, juga berjuang memilih-milih pekerjaan (waktu itu saya memilihmilih pekerjaan di saat orang mencari pekerjaan: dasar anak muda. Bergaya sekali). Oya, jangan lupa, manusia siput. Dia ada di sana juga ketika saya berusia 24 tahun. Ia adalah salah satu alasan saya berandaiandai memiliki versi diri yang lebih baik. Iya ya, bagaimana jika waktu itu saya seperti si mawar gunung ini, apakah ia akan serta merta suka pada saya? FOOL! Tentu saja tidak kan.
Kemarin saya sempat pergi keluar dengan si mawar gunung. Menghabiskan beberapa jam bersama. Kami sedang melakukan misi (heh?) membawa salah satu teman kami yang sedang sakit parah berobat ke salah satu pengobatan alternatif dan di situ kami mengobrol banyak. Setelah dari tempat itupun kami meluangkan waktu mengobrol. Saya mempelajari sikap dan karakternya. Ada beberapa hal yang saya punya dalam diri saya dan ada yang tidak. Ada yang ingin saya cangkokkan ke dalam diri saya yang berusia 24 tahun jika memungkinkan. Mendengar ceritanya, saya bercermin kepada diri sendiri, apa yang sudah saya lakukan ketika saya seusia dirinya? Kemana saya waktu itu? Apakah saya menghabiskan waktu saya hanya dengan memusingkan akan jadi apa saya nanti? Ataukah terlalu bermimpi ingin begitu, ingin begini? Saya kemudian sadar saya belum melakukan apapun.
Di usia 24 tahun pula, salah seorang sahabat saya sudah bisa mulai mewujudkan apa yang diinginkannya: mendirikan ruang publik. Dengan apa adanya, tapi ia mampu dan berkembang hingga bentuknya yang sekarang ini. Hingga namanya menjadi semacam merek dagang yang laris manis. Yang sorot lampu tak hentinya mengarah kepadanya –saya menjulukinya selebritis. Di tempat dia ada, semua mata mengarah dan mengaburkan segala hal yang ada di sekelilingnya. Menggoda sekali untuk bisa menjadi seperti dirinya. Dia dengan dirinya yang tahu apa yang dia maui. Sesuatu yang hingga kini masih saya perjuangkan dengan segenap jiwa: tahu yang saya maui dan berusaha mewujudkannya.
Bagi saya, sahabat saya itu adalah seseorang. Somebody. Ia sudah menjadi somebody bagi dirinya dan tentu saja bagi semua orang. Kadang saya ingin bertanya kepadanya, menyenangkan kah menjadi seseorang itu? Menyenangkankah menjadi pusat dari segala hal yang ada di sekitarmu? Pertanyaan yang tetap saja tidak pernah terlontar keluar sampai sekarang. Mungkin itu karena saya sadar bahwa itu tidak perlu untuk ditanyakan, atau saya sudah menemukan jawabannya dari persinggungan saya dengannya seharihari.
Saya menemukan jawaban bahwa ia juga lelah dengan “lampu sorot dan semua mata menuju ke arahku serta menganggapku penting” itu. sesuatu yang saya akhirnya pahami dengan mencoba memakai sepatunya beberapa saat.
Menjadi seseorang tidak mudah. Klasik dan klise tapi memang demikianlah kenyataannya. Saya bisa memandangnya dengan lebih jernih sekarang. Butuh waktu ternyata untuk menyingkirkan rasa iri dan menganggapnya lebih beruntung daripada saya. Tidak ada yang lebih beruntung, tidak yang lebih malang. Tidak ada. Yang ada hanya diri sendiri dan kemauan untuk mewujudkannya. Hah! Itu baru benar.
Saya hanya ingin menjadi lebih baik. Versi yang lebih baik. Hanya saja kadang saya lupa jika menjadi lebih baik tidaklah sama dengan menjadi sempurna dan selalu mendapatkan yang terbaik. Tidaklah sama sebangun, tapi saya sering melupakan itu. Kata seorang sahabat yang lain, saya ini sangat ambisius jika itu menyangkut dengan diri sendiri. Mau menjadi somebody, dan tidak mau menjadi nobody. Saya berusaha sangat keras untuk itu agaknya. Saya memandang orangorang yang saya anggap sebagai somebody dan berusaha keras ada di jalan yang sama dengan mereka. Gila saya. Tidak benar seperti ini.
Menjadi seseorang; godaan yang begitu dahsyat. Seperti lonceng yang berdentang keras dan menarik semua mata melihat ke arah mana bunyi dentangannya. Selalu ada yang seperti itu ya dalam diri setiap orang? Tentu saja.
Saya di usia 28 tahun ini mulai mencoba untuk melepaskan semua hal itu. Tidak ada gunanya lagi. Saya capek mengejar itu. saya lega ketika mengetahuinya dan memutuskannya. Sama seperti saya mengatakan kepada diri saya bahwa saya menunggu saatnya jatuh cinta lagi.
Jadi ketika saya melihat si mawar gunung itu, saya hanya memandangnya dalam dan tertawa dalam hati: oh dear, betapa dulu aku ingin menjadi sepertimu. Kemudian saya melanjutkan langkah saya lagi. Dengan bersemangat kali ini.
25.03.09, 23.20...
2 comments:
baiklah, kau sdh menyadarinya tnyt.
akhirnya ....
tdk ada yg akan kukatakan selain: melangkah.
Kw dah menemukan sendiri to Jawabannya..? Salam untuk Mawar Gunung
Post a Comment