For hearing all my doubts so selectively and
For continuing my numbing love endlessly.
For helping you and myself: not even considering
For beating myself up and over functioning.
To whom do I owe the biggest apology?
No one's been crueller than I've been to me.
For letting you decide if I indeed was desirable
For myself love being so embarrassingly conditional.
And for denying myself to somehow make us compatible
And for trying to fit a rectangle into a ball.
And
To whom do I owe the biggest apology?
No one's been crueller than I've been to me.
I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else.
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else.
For blaming myself for your unhappiness
And for my impatience when I was perfect where I was.
Ignoring all the signs that I was not ready,
And expecting myself to be where you wanted me to be.
To whom do I owe the first apology?
No one's been crueller than I've been to me.
And
I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else.
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else.
Well, I wonder which crime is the biggest ?
Forgetting you or forgetting myself...
Had I heeded the wisdom of the latter,
I would've naturally loved the former.
For ignoring you: my highest voices.
For smiling when my strife was all too obvious.
For being so disassociated from my body,
And for not letting go when it would've been the kindest thing.
To whom do I owe the biggest apology?
No one's been crueler than I've been to me.
And
I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else.
I'm sorry to myself.
My apologies begin here before everybody else
I'm sorry to myself.
For treating me worse than I would anybody else
(sorry to my self, alanis morissette)
Saturday, May 30, 2009
Monday, May 25, 2009
awan biribiri dan cuaca hari ini...
hari ini mungkin pengaruh cuaca yang mendung, mendadak saya merasakan sesuatu. kangen. pada seseorang.
untuk kangen, hari ini, dan seseorang yang jauh...
untuk kangen, hari ini, dan seseorang yang jauh...
Thursday, May 21, 2009
bobo, masa kecil, dan cerita tentang ayah...
Hari ini, malam tadi, saya bersama dua orang kawan duduk bercakapcakap di ruang tamu rumah kami. Percakapan ringan mengenai masa kecil. Menyenangkan. Kawan yang satu bertutur mengenai masa kecilnya di kampung, dimana tidak ada listrik masuk sampai ia kelas lima SD, dimana ia harus berjuang untuk sekolah. Saya sangat terkesan dengan ceritanya itu. Kata kawan saya yang satu lagi, seharusnya ia (kawan pertama) membukukan kisah itu dan memberikannya kepada anaknya kelak atau siapapun yang disayanginya, dengan tujuan supaya mereka tahu bahwa pendidikan itu sangat berharga dan berbahagialah yang masih bisa merasakan bangku sekolah tanpa susah payah seperti kawan saya itu.
Cerita berlanjut dengan cerita kawan saya yang kedua. Cerita mengenai masa kecilnya, dengan papa dan mamanya yang menganggap biasa semua prestasinya. Mengenai kedua orang tuanya yang sudah hebat dari sananya dan ia hanyalah pengikut saja dari semua tradisi hebat itu. Begitulah, tuturnya. Bahkan ketika ia juara satu di sekolahnya sekalipun. Tidak ada pujian ataupun hadiah untuk prestasinya itu. Kemudian ia berjanji untuk tidak lagi juara satu. Kemudian cerita mengenai kehidupan masa muda papa dan mamanya. Mendengar ia bercerita mengenai didikan kedua orang tuanya. Ternyata pula didikan itu yang membentuknya menjadi seperti yang sekarang ini.
Pembicaraan berlanjut, sekarang beranjak ke bacaan masa kecil. Kami menemukan satu hal yang sama: kami menggemari Bobo. Suatu kemewahan tersendiri bisa menikmati membaca Bobo saat saya kecil. Menyenangkan sekali. Kawan pertama bercerita bahwa di kampungnya tidak ada Bobo sama sekali. Ia hanya membacanya ketika ia ke rumah sepupunya di kota. Saya tertawa. Saya lebih beruntung agaknya. Saya bisa membaca Bobo sampai saya kelas enam. Kemudian membaca semua buku Enid Blyton dan jelajah perpustakaan hanya untuk memuaskan nafsu baca saya. Saya ingat itu. Kawan kedua juga tertawa. Ia mengamini juga bahwa ia beruntung dengan segala bacaan yang ia baca sedari kecil: Sarinah, pram, soetardji –bacaan yang saya lahap ketika saya kuliah. Mungkin ini adalah salah satu momen dimana saya bisa menyaksikannya mengatakan bahwa ia beruntung daripada orang lain. Biasanya ia tidak pernah mau mengatakan hal itu, karena semua hal bukan masalah beruntung atau tidak.
Pembicaraan menjadi kian menyenangkan sampai akhirnya masuk ke topik mengenai ayah. Saya hanya diam dan mendengarkan mereka saling bercerita mengenai ayahnya masingmasing. Kawan pertama bercerita mengenai ayahnya yang sangat menjunjung tinggi pendidikan karena ia (ayah teman saya) hanya mampu sekolah sampai SMP. Oleh karena itu, ia bertekad menyekolahkan semua anaknya. Setinggitingginya. Sampai di sini, saya semakin diam. Saya tidak tahu harus bicara apa. Saya tidak tahu apa yang bisa saya sumbangkan ke dalam pembicaraan seperti ini. Topik yang tidak saya suka, tapi anehnya saya suka mendengarkan mereka bercerita mengenai ayah mereka. sebagai kompensasi atas apa yang tidak saya punya.
Kawan pertama kemudian bercerita bahwa ayahnya menangis waktu ia diterima kuliah di PTN di Jogja, meski di hadapannya, semua itu tidak ditunjukan sama sekali oleh sang ayah. Saya hanya tersenyum. Dada saya sesak. Kawan kedua bercerita mengenai ayahnya yang sangat terkesan kepadanya karena kawan saya itu membeli sepeda dari hasil menabung dan ia meminta kepada uang kepada ayahnya pada saat detikdetik terakhir ketika uangnya sendiri tidak cukup. Ayahnya sangat terkesan dengan hal itu. Atas usahanya. di kemudian hari, cerita itu selalu diceritakan kepada orangorang di sekitarnya. Dengan nada bangga tentunya.
Saya suka sekali dengan cerita mereka. Suka sekali. Sesuatu yang menyenangkan dan hangat, tapi saya tidak mampu untuk menanggapi atau menambahi pembicaraan itu dengan cerita saya. Saya tidak tahu apa yang bisa saya ceritakan. Lidah saya kelu.
Tapi untunglah, kami segera beranjak dari tempat duduk kami. Ada halhal yang harus dilakukan. Pembicaraan selesai. Saya menarik napas lega. Akhirnya.
Masa kecil saya: saya masih tetap ingin memiliki perpustakaan sendiri, berjuang untuk sekolah lagi (entah kapan), melihat tulisan saya dimuat di Bobo. Sampai sekarang. Mungkin itu yang tertinggal dari sana dan yang masih bisa saya syukuri.
19.05.09 22.32…
Cerita berlanjut dengan cerita kawan saya yang kedua. Cerita mengenai masa kecilnya, dengan papa dan mamanya yang menganggap biasa semua prestasinya. Mengenai kedua orang tuanya yang sudah hebat dari sananya dan ia hanyalah pengikut saja dari semua tradisi hebat itu. Begitulah, tuturnya. Bahkan ketika ia juara satu di sekolahnya sekalipun. Tidak ada pujian ataupun hadiah untuk prestasinya itu. Kemudian ia berjanji untuk tidak lagi juara satu. Kemudian cerita mengenai kehidupan masa muda papa dan mamanya. Mendengar ia bercerita mengenai didikan kedua orang tuanya. Ternyata pula didikan itu yang membentuknya menjadi seperti yang sekarang ini.
Pembicaraan berlanjut, sekarang beranjak ke bacaan masa kecil. Kami menemukan satu hal yang sama: kami menggemari Bobo. Suatu kemewahan tersendiri bisa menikmati membaca Bobo saat saya kecil. Menyenangkan sekali. Kawan pertama bercerita bahwa di kampungnya tidak ada Bobo sama sekali. Ia hanya membacanya ketika ia ke rumah sepupunya di kota. Saya tertawa. Saya lebih beruntung agaknya. Saya bisa membaca Bobo sampai saya kelas enam. Kemudian membaca semua buku Enid Blyton dan jelajah perpustakaan hanya untuk memuaskan nafsu baca saya. Saya ingat itu. Kawan kedua juga tertawa. Ia mengamini juga bahwa ia beruntung dengan segala bacaan yang ia baca sedari kecil: Sarinah, pram, soetardji –bacaan yang saya lahap ketika saya kuliah. Mungkin ini adalah salah satu momen dimana saya bisa menyaksikannya mengatakan bahwa ia beruntung daripada orang lain. Biasanya ia tidak pernah mau mengatakan hal itu, karena semua hal bukan masalah beruntung atau tidak.
Pembicaraan menjadi kian menyenangkan sampai akhirnya masuk ke topik mengenai ayah. Saya hanya diam dan mendengarkan mereka saling bercerita mengenai ayahnya masingmasing. Kawan pertama bercerita mengenai ayahnya yang sangat menjunjung tinggi pendidikan karena ia (ayah teman saya) hanya mampu sekolah sampai SMP. Oleh karena itu, ia bertekad menyekolahkan semua anaknya. Setinggitingginya. Sampai di sini, saya semakin diam. Saya tidak tahu harus bicara apa. Saya tidak tahu apa yang bisa saya sumbangkan ke dalam pembicaraan seperti ini. Topik yang tidak saya suka, tapi anehnya saya suka mendengarkan mereka bercerita mengenai ayah mereka. sebagai kompensasi atas apa yang tidak saya punya.
Kawan pertama kemudian bercerita bahwa ayahnya menangis waktu ia diterima kuliah di PTN di Jogja, meski di hadapannya, semua itu tidak ditunjukan sama sekali oleh sang ayah. Saya hanya tersenyum. Dada saya sesak. Kawan kedua bercerita mengenai ayahnya yang sangat terkesan kepadanya karena kawan saya itu membeli sepeda dari hasil menabung dan ia meminta kepada uang kepada ayahnya pada saat detikdetik terakhir ketika uangnya sendiri tidak cukup. Ayahnya sangat terkesan dengan hal itu. Atas usahanya. di kemudian hari, cerita itu selalu diceritakan kepada orangorang di sekitarnya. Dengan nada bangga tentunya.
Saya suka sekali dengan cerita mereka. Suka sekali. Sesuatu yang menyenangkan dan hangat, tapi saya tidak mampu untuk menanggapi atau menambahi pembicaraan itu dengan cerita saya. Saya tidak tahu apa yang bisa saya ceritakan. Lidah saya kelu.
Tapi untunglah, kami segera beranjak dari tempat duduk kami. Ada halhal yang harus dilakukan. Pembicaraan selesai. Saya menarik napas lega. Akhirnya.
Masa kecil saya: saya masih tetap ingin memiliki perpustakaan sendiri, berjuang untuk sekolah lagi (entah kapan), melihat tulisan saya dimuat di Bobo. Sampai sekarang. Mungkin itu yang tertinggal dari sana dan yang masih bisa saya syukuri.
19.05.09 22.32…
Monday, May 18, 2009
Friday, May 8, 2009
untitled
Now she's walking through the clouds
With a circus mind
That's running wild
Butterflies and zebras
And moonbeams and fairy tales
All she ever thinks about is riding with the wind
When I'm sad she comes to me
With a thousand smiles
She gives to me free
It's alright it's alright she says
Take anything you want from me
Anything
.
Fly little wing...
(the corrs, little wing)
ternyata saya tidak seperti yang saya duga. ternyata saya selama ini sebenarnya hanya tahu apa yang bukan saya, tapi tidak bisa merumuskan siapa saya.
confusing eh?
With a circus mind
That's running wild
Butterflies and zebras
And moonbeams and fairy tales
All she ever thinks about is riding with the wind
When I'm sad she comes to me
With a thousand smiles
She gives to me free
It's alright it's alright she says
Take anything you want from me
Anything
.
Fly little wing...
(the corrs, little wing)
ternyata saya tidak seperti yang saya duga. ternyata saya selama ini sebenarnya hanya tahu apa yang bukan saya, tapi tidak bisa merumuskan siapa saya.
confusing eh?
Subscribe to:
Posts (Atom)