Thursday, May 21, 2009

bobo, masa kecil, dan cerita tentang ayah...

Hari ini, malam tadi, saya bersama dua orang kawan duduk bercakapcakap di ruang tamu rumah kami. Percakapan ringan mengenai masa kecil. Menyenangkan. Kawan yang satu bertutur mengenai masa kecilnya di kampung, dimana tidak ada listrik masuk sampai ia kelas lima SD, dimana ia harus berjuang untuk sekolah. Saya sangat terkesan dengan ceritanya itu. Kata kawan saya yang satu lagi, seharusnya ia (kawan pertama) membukukan kisah itu dan memberikannya kepada anaknya kelak atau siapapun yang disayanginya, dengan tujuan supaya mereka tahu bahwa pendidikan itu sangat berharga dan berbahagialah yang masih bisa merasakan bangku sekolah tanpa susah payah seperti kawan saya itu.


Cerita berlanjut dengan cerita kawan saya yang kedua. Cerita mengenai masa kecilnya, dengan papa dan mamanya yang menganggap biasa semua prestasinya. Mengenai kedua orang tuanya yang sudah hebat dari sananya dan ia hanyalah pengikut saja dari semua tradisi hebat itu. Begitulah, tuturnya. Bahkan ketika ia juara satu di sekolahnya sekalipun. Tidak ada pujian ataupun hadiah untuk prestasinya itu. Kemudian ia berjanji untuk tidak lagi juara satu. Kemudian cerita mengenai kehidupan masa muda papa dan mamanya. Mendengar ia bercerita mengenai didikan kedua orang tuanya. Ternyata pula didikan itu yang membentuknya menjadi seperti yang sekarang ini.


Pembicaraan berlanjut, sekarang beranjak ke bacaan masa kecil. Kami menemukan satu hal yang sama: kami menggemari Bobo. Suatu kemewahan tersendiri bisa menikmati membaca Bobo saat saya kecil. Menyenangkan sekali. Kawan pertama bercerita bahwa di kampungnya tidak ada Bobo sama sekali. Ia hanya membacanya ketika ia ke rumah sepupunya di kota. Saya tertawa. Saya lebih beruntung agaknya. Saya bisa membaca Bobo sampai saya kelas enam. Kemudian membaca semua buku Enid Blyton dan jelajah perpustakaan hanya untuk memuaskan nafsu baca saya. Saya ingat itu. Kawan kedua juga tertawa. Ia mengamini juga bahwa ia beruntung dengan segala bacaan yang ia baca sedari kecil: Sarinah, pram, soetardji –bacaan yang saya lahap ketika saya kuliah. Mungkin ini adalah salah satu momen dimana saya bisa menyaksikannya mengatakan bahwa ia beruntung daripada orang lain. Biasanya ia tidak pernah mau mengatakan hal itu, karena semua hal bukan masalah beruntung atau tidak.


Pembicaraan menjadi kian menyenangkan sampai akhirnya masuk ke topik mengenai ayah. Saya hanya diam dan mendengarkan mereka saling bercerita mengenai ayahnya masingmasing. Kawan pertama bercerita mengenai ayahnya yang sangat menjunjung tinggi pendidikan karena ia (ayah teman saya) hanya mampu sekolah sampai SMP. Oleh karena itu, ia bertekad menyekolahkan semua anaknya. Setinggitingginya. Sampai di sini, saya semakin diam. Saya tidak tahu harus bicara apa. Saya tidak tahu apa yang bisa saya sumbangkan ke dalam pembicaraan seperti ini. Topik yang tidak saya suka, tapi anehnya saya suka mendengarkan mereka bercerita mengenai ayah mereka. sebagai kompensasi atas apa yang tidak saya punya.


Kawan pertama kemudian bercerita bahwa ayahnya menangis waktu ia diterima kuliah di PTN di Jogja, meski di hadapannya, semua itu tidak ditunjukan sama sekali oleh sang ayah. Saya hanya tersenyum. Dada saya sesak. Kawan kedua bercerita mengenai ayahnya yang sangat terkesan kepadanya karena kawan saya itu membeli sepeda dari hasil menabung dan ia meminta kepada uang kepada ayahnya pada saat detikdetik terakhir ketika uangnya sendiri tidak cukup. Ayahnya sangat terkesan dengan hal itu. Atas usahanya. di kemudian hari, cerita itu selalu diceritakan kepada orangorang di sekitarnya. Dengan nada bangga tentunya.


Saya suka sekali dengan cerita mereka. Suka sekali. Sesuatu yang menyenangkan dan hangat, tapi saya tidak mampu untuk menanggapi atau menambahi pembicaraan itu dengan cerita saya. Saya tidak tahu apa yang bisa saya ceritakan. Lidah saya kelu.
Tapi untunglah, kami segera beranjak dari tempat duduk kami. Ada halhal yang harus dilakukan. Pembicaraan selesai. Saya menarik napas lega. Akhirnya.


Masa kecil saya: saya masih tetap ingin memiliki perpustakaan sendiri, berjuang untuk sekolah lagi (entah kapan), melihat tulisan saya dimuat di Bobo. Sampai sekarang. Mungkin itu yang tertinggal dari sana dan yang masih bisa saya syukuri.


19.05.09 22.32…

1 comment:

anuma said...

Bobo jg jadi teman masa kecilku. Bukan hal yg mewah, tapi berharga karena membaca itu penting bagi kami. Topik tentang ayah? Entahlah, ada suatu masa yg cukup menyenangkan: sekeluarga makan bersama seadanya secara lesehan. Ah, sampai lupa! Ada doa sederhana dari kami anak2nya, bergantian. Kenangan kecil dan cukup singkat, tapi masih berkesan. Sobat, aku hanya ingin berbagi cerita. Izinkan ....