Wednesday, March 25, 2009

becoming dew

me. becoming dew..

as i wait for you

: a. b.


As I wait for you, kapok pods harden
with the peak of this barren dry season
a few junes only bloomed and wilted inside me
which I carefully noted but silently let go


small clouds pass over the bridge as I wait for you
season condense amid my eyelashes
I hear the repeated sound of air waves breaking
passion and lust is naked here, the stars are restless


thin dry have fallen: something suddenly falls silent
even among the clamor of the kapok and frangipani flowers
I wait for you
ever more rarely the clouds pass by
and nothing, not even you, have ever waited for so long


(SDD)

the better version of me a.k.a. somebody, anybody, nobody

Saya tahu sekarang mengapa saya menyukai si mawar gunung itu. Jawaban yang saya kumpulkan dari hari ke hari dengan memperhatikannya; lagak lagunya, mencoba mengenal karakternya, memahami isi kepalanya. Saya tahu jawabannya sekarang.


Ia adalah saya dalam versi yang lebih baik ketika berusia 24 tahun. Tepatnya, ia mewakili versi diri yang saya inginkan ketika berusia 24 tahun. Mewakili semua gambaran mengenai bagaimana seharusnya saya di usia itu. Ah, saya. Terlalu banyak target: begini begitu, dan semuanya tidak tercapai. Jelas sekali.


Usia 24 tahun; apa yang sudah saya kerjakan waktu itu ya? Tidak terlalu banyak. Baru saja lulus kuliah, wisuda, mulai mencoba mengajar, masih berkobarkobar mengenai bagaimana seharusnya masa muda dan hidup harus dijalani, mengenai pekerjaan impian, juga berjuang memilih-milih pekerjaan (waktu itu saya memilihmilih pekerjaan di saat orang mencari pekerjaan: dasar anak muda. Bergaya sekali). Oya, jangan lupa, manusia siput. Dia ada di sana juga ketika saya berusia 24 tahun. Ia adalah salah satu alasan saya berandaiandai memiliki versi diri yang lebih baik. Iya ya, bagaimana jika waktu itu saya seperti si mawar gunung ini, apakah ia akan serta merta suka pada saya? FOOL! Tentu saja tidak kan.


Kemarin saya sempat pergi keluar dengan si mawar gunung. Menghabiskan beberapa jam bersama. Kami sedang melakukan misi (heh?) membawa salah satu teman kami yang sedang sakit parah berobat ke salah satu pengobatan alternatif dan di situ kami mengobrol banyak. Setelah dari tempat itupun kami meluangkan waktu mengobrol. Saya mempelajari sikap dan karakternya. Ada beberapa hal yang saya punya dalam diri saya dan ada yang tidak. Ada yang ingin saya cangkokkan ke dalam diri saya yang berusia 24 tahun jika memungkinkan. Mendengar ceritanya, saya bercermin kepada diri sendiri, apa yang sudah saya lakukan ketika saya seusia dirinya? Kemana saya waktu itu? Apakah saya menghabiskan waktu saya hanya dengan memusingkan akan jadi apa saya nanti? Ataukah terlalu bermimpi ingin begitu, ingin begini? Saya kemudian sadar saya belum melakukan apapun.


Di usia 24 tahun pula, salah seorang sahabat saya sudah bisa mulai mewujudkan apa yang diinginkannya: mendirikan ruang publik. Dengan apa adanya, tapi ia mampu dan berkembang hingga bentuknya yang sekarang ini. Hingga namanya menjadi semacam merek dagang yang laris manis. Yang sorot lampu tak hentinya mengarah kepadanya –saya menjulukinya selebritis. Di tempat dia ada, semua mata mengarah dan mengaburkan segala hal yang ada di sekelilingnya. Menggoda sekali untuk bisa menjadi seperti dirinya. Dia dengan dirinya yang tahu apa yang dia maui. Sesuatu yang hingga kini masih saya perjuangkan dengan segenap jiwa: tahu yang saya maui dan berusaha mewujudkannya.


Bagi saya, sahabat saya itu adalah seseorang. Somebody. Ia sudah menjadi somebody bagi dirinya dan tentu saja bagi semua orang. Kadang saya ingin bertanya kepadanya, menyenangkan kah menjadi seseorang itu? Menyenangkankah menjadi pusat dari segala hal yang ada di sekitarmu? Pertanyaan yang tetap saja tidak pernah terlontar keluar sampai sekarang. Mungkin itu karena saya sadar bahwa itu tidak perlu untuk ditanyakan, atau saya sudah menemukan jawabannya dari persinggungan saya dengannya seharihari.


Saya menemukan jawaban bahwa ia juga lelah dengan “lampu sorot dan semua mata menuju ke arahku serta menganggapku penting” itu. sesuatu yang saya akhirnya pahami dengan mencoba memakai sepatunya beberapa saat.


Menjadi seseorang tidak mudah. Klasik dan klise tapi memang demikianlah kenyataannya. Saya bisa memandangnya dengan lebih jernih sekarang. Butuh waktu ternyata untuk menyingkirkan rasa iri dan menganggapnya lebih beruntung daripada saya. Tidak ada yang lebih beruntung, tidak yang lebih malang. Tidak ada. Yang ada hanya diri sendiri dan kemauan untuk mewujudkannya. Hah! Itu baru benar.


Saya hanya ingin menjadi lebih baik. Versi yang lebih baik. Hanya saja kadang saya lupa jika menjadi lebih baik tidaklah sama dengan menjadi sempurna dan selalu mendapatkan yang terbaik. Tidaklah sama sebangun, tapi saya sering melupakan itu. Kata seorang sahabat yang lain, saya ini sangat ambisius jika itu menyangkut dengan diri sendiri. Mau menjadi somebody, dan tidak mau menjadi nobody. Saya berusaha sangat keras untuk itu agaknya. Saya memandang orangorang yang saya anggap sebagai somebody dan berusaha keras ada di jalan yang sama dengan mereka. Gila saya. Tidak benar seperti ini.


Menjadi seseorang; godaan yang begitu dahsyat. Seperti lonceng yang berdentang keras dan menarik semua mata melihat ke arah mana bunyi dentangannya. Selalu ada yang seperti itu ya dalam diri setiap orang? Tentu saja.


Saya di usia 28 tahun ini mulai mencoba untuk melepaskan semua hal itu. Tidak ada gunanya lagi. Saya capek mengejar itu. saya lega ketika mengetahuinya dan memutuskannya. Sama seperti saya mengatakan kepada diri saya bahwa saya menunggu saatnya jatuh cinta lagi.


Jadi ketika saya melihat si mawar gunung itu, saya hanya memandangnya dalam dan tertawa dalam hati: oh dear, betapa dulu aku ingin menjadi sepertimu. Kemudian saya melanjutkan langkah saya lagi. Dengan bersemangat kali ini.


25.03.09, 23.20...

sanktuari dan tempat meneduhkan diri...

Di blognya, salah seorang kawan baik saya menceritakan bahwa hari itu adalah hari peringatan dua tahun ia keluar dari rumah. Sementara saya, baru keluar dari rumah sekitar lima bulan ini.Tidak terlalu istimewa bagi kawankawan saya yang lain yang telah lama keluar dari rumahnya. Akan tetapi bagi saya itu merupakan pencapaian luar biasa. Luar biasa karena saya bisa bebas menentukan apapun yang saya mau tanpa harus berpikir dua kali. Luar biasa karena saya bisa bertanggung jawab penuh terhadap diri saya sendiri. Sungguh luar biasa. Dan saya sangat senang dengan keadaan ini.


Dulu, saya berpikir bahwa saya akan keluar dari rumah dengan cara yang tidak konvensional. Dengan cara radikal. Lari dari rumah, diusir pergi karena hamil, hidup dengan kekasih saya—tetapi lihat kenyataannya sekarang: saya tidak lari dari rumah, saya pergi dengan baikbaik. saya tidak hamil dan saya tidak punya kekasih lagi. Hidup benarbenar menjungkirbalikkan semua yang saya duga. Seperti yang dikatakan oleh ibu Benjamin Button: kau tidak tahu apa dan siapa yang datang selanjutnya. Dan saya sekarang hanya tertawa. Getir sekaligus terpingkalpingkal. Selalu. Menertawakan diri saya sendiri. Betapa bodohnya saya. Melihat ke belakang benarbenar membuat saya gelenggeleng kepala. Bagaimana bisa saya berpikir demikian? Romantisme à la Radit dan Jani mungkin? Hahaha! Tidak, saya tidaklah se-brutally romantic kedua tokoh Sid and Nancy wanna be itu. saya hanya ingin menidak dan menegasikan diri.


Mungkin keinginan segera lepas dari rumah itu yang membuat semua akal sehat saya jadi kabur tidak karuan. Otak saya tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga saya menjadikan dia, pak tani, sebagai jalan keluar dari semua masalah yang saya hadapi. Ia pintu keluar untuk semua yang saya alami. Saya menaruh segala harapan pada dirinya, dan akhirnya saya tahu, saya salah besar. Diapun sama seperti saya. Menghadapi permasalahan yang kurang lebih sama. Berusaha menemukan dirinya sendiri, dan entah apakah sekarang ia sudah menemukannya. Ah, saya kangen padanya.


Dengan segala cara yang konvensional dan aturan main yang saya sepakati dengan ayah dan ibu saya itu, jadilah saya hidup di luar rumah. Berpisah dengan ayah dan ibu saya. Meski sebenarnya lucu kalau dipikir kenapa saya harus tinggal di luar rumah yang hanya berjarak 30 menit naik bus dan hanya pulang ke rumah setiap akhir pekan. Apa coba yang saya cari di luar rumah? Jawabannya adalah saya mencari diri saya sendiri. Klise? Memang, tapi itu yang terjadi pada saya. Dan saya senang mengetahui hal itu. Saya senang sekali dikangeni setiap akhir pekan oleh orangorang rumah; tentu saja dengan implisit. Senang sekali mendapati ibu saya libur setiap hari Minggu dan saya mengobrol dengan semua orang rumah atau hanya sekedar menerima sms tak jelas dari adik saya setiap Jumat malam dan Sabtu pagi: mbak, kowe bali jam piro? Menyenangkan sekali.


Mungkin memang dengan berjarak seperti ini membuat saya malah jauh lebih dekat dengan mereka. Dengan berada di luar rumah seperti ini, saya malah bisa melihat semua persoalan dengan lebih jernih dan bisa mengambil sikap lebih dewasa. Saya menyadarinya. Saya sekarang tidak terlalu pemarah seperti kemarinkemarin. Saya menjadi lebih bisa menyikapi persoalan dengan bijak. Mungkin memang saya menjadi lebih kalem dan halus selama beberapa bulan belakangan ini. Mungkin karena saya memandangnya dari luar lingkaran. Mungkin. Sebenarnya perubahan itu sudah saya rasakan selama dua tahun belakangan ini, dan semakin menunjukkan hasilnya beberapa bulan ini. Saya menarik napas lega. Saya bersyukur. Tapi perubahan itu saya yakin masih akan terus berjalan. Semoga saja demikian. Somehow, saya dengan sangat gembira menanti perubahan apa lagi yang bisa saya lakukan. Saya pasti bisa.


Di rumah siput ini, saya merasa mendapatkan sanktuari. Suatu tempat untuk menghilang. Suatu tempat untuk berteduh sebentar. Suatu tempat untuk memulihkan diri saya. Dan merasa mendapatkan rumah yang saya dambakan. Saya nyaman di rumah ini. Saya nyaman berada di dalamnya. Saya merasakan menemukan diri saya di sini. Mungkin bukan faktor rumah atau apalah itu, tapi lebih kepada diri saya yang bisa lebih bebas menentukan diri saya sendiri. Sanktuari itu ada dalam diri saya sendiri yang hadir melalui rumah siput ini dan segala hal yang ada di dalamnya. Saya yakin itu memang ada dalam diri saya sendiri.


Harap saya, semoga saya masih bisa merayakan peristiwa dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, dan bertahuntahun keluar dari rumah. sungguh..


25.03.09, 22.54...

dingin tak tercatat

Dingin tak tercatat
pada termometer


Kota hanya basah


Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi tetap saja


di sana. Seakanakan


gerimis raib
dan cahaya berenang


mempermainkan warna.


Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?


(G.M. 1971)

Wednesday, March 4, 2009

........

saya menunggu untuk jatuh cinta lagi. iya. bukan dengan optimis tapi dengan harapharap cemas, pesimis, skpetis seperti biasa. akan tetapi kali ini saya memberanikan diri untuk memulai semuanya dengan mata terbuka lebar. tidak peduli siapapun yang akan datang kepada saya, saya hanya ingin menatap orang itu dengan mata terbuka. mata yang tidak dibutakan seperti dulu. kali ini semoga lebih dewasa dan bijak. saya mau cinta yang membumi.

hari ini, besok hari, besok hari lagi, saya menunggu untuk jatuh cinta lagi...