Elida. Dia menjadi semacam kenangan yang sangat mendalam dalam ingatan saya. Semacam hantu kalau boleh saya bilang. Dia ada dalam setiap langkah saya sekarang ini. Mungkin saya gila memang karena saya merasa dia tidak pernah jauh sekarang. Tidak akan pernah.
Hubungan kami bukanlah hubungan yang selalu penuh tawa. Hubungan kami sering terbangun dalam diam. Diam yang menurut saya malah dapat bercerita banyak. Mungkin memang begitulah cara kami berkomunikasi satu sama lain. Begitu pula yang saya yakini sekarang.
Ketika melihatnya koma, saya tahu bahwa kami tidak akan pernah bicara secara fisik lagi. Saya tahu. Saya tahu bahwa memang dia akan pergi, dan tetap saja saya menangis ketika hal itu terjadi. Sampai saat ini saya malah merasa dia semakin hidup. Hidup dengan cara yang berbeda. Bukan secara fisik lagi, tapi jauh melebihi batasan itu. Dan, sekali lagi kami berkomunikasi dalam diam seperti ini.
Hubungan kami boleh dibilang iberdarah-darah dalam setahun belakangan ini. Kami berpisah karena sebuah sebab yang menurut saya sudah melampaui ambang batas kesabaran dan toleransi saya. Saya meninggalkannya. Ya, saya sadar itu. Dan saya tidak pernah menyesali keputusan itu karena saya merasa dia harus belajar banyak untuk mendengar kata “tidak” dan tidak menganggap bahwa kata “tidak” berarti dengan tidak sayang padanya. Maafkan saya karena tidak pernah mencabut keputusan itu. Saya belajar untuk patah hati, diapun belajar untuk menerima ini. Kalaupun ada hal yang sangat saya sesali adalah bahwa kami belum sempat bicara untuk menguraikan semua simpul ini dan saling membasuh luka, untuk kemudian berjalan kembali. Kadang, pikir saya, memang kita saling melukai untuk belajar bahwa kita juga akan saling menyembuhkan, tidak peduli bagaimanapun caranya dan berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Saya mengenalnya suatu waktu, di suatu peristiwa, di kampus kami. Dulu. Saya mengingat pertemuan pertama kami itu sebagai titik yang mengubah saya, mungkin tanpa saya sadari. Dia, waktu itu, duduk membaca buku Doa Sang Katak; dan saya dengan yakinnya berkata padanya bahwa buku itu bagus. Oh, saya ingat wajahnya kala itu hahahhaha!!! Saya masih ingat itu. Waktu ternyata memang pada akhirnya mendekatkan kami. Menempatkan kami dalam sebuah proses bersama yang panjang. Sebuah proses yang memiliki ceritanya sendiri. Proses yang membuat saya tidak akan pernah lagi sama seperti sebelumnya. Membuat saya berjalan melewati batas saya dan saya tahu bahwa saya tahu bahwa saya bisa. Proses yang saya alami adalah sebuah proses yang menyenangkan, tapi pada akhirnya saya sadar bahwa itu sangat melelahkan dan menghabiskan seluruh energi saya. Dan, membuat saya merumuskan kembali semuanya.
Berproses dengannya, hidup bersamanya, masuk ke dalam hidupnya—meski saya tidak pernah yakin bahwa ia sebenarnya mengijinkan orang untuk masuk ke dalam dirinya—membuat saya sedikit demi sedikit memahami dirinya. Kegilaannya, kecerdasannya, rasa sayangnya yang besar terhadap teman-temannya, cita-citanya, mimpinya, Kinoki, film-film kesukaannya—ia suka sekali Priscilla Queen of The Dessert—neurotiknya, hingga kekecewaannya terhadap hidup yang dijalaninya. Semuanya. Puncak pemahaman saya akan dirinya justru pada saat ia terbaring dalam peti matinya, memakai semua baju yang selama hidup tidak akan pernah disentuhnya. Pemahaman saya bahwa pada akhirnya saya memang sangat mencintainya, utuh, adalah ketika petinya ditutup dan ia masuk ke dalam mobil untuk dibawa ke bandara. Saya melihatnya lengkap sebagai seorang manusia. Cermin dengan berbagai wajah. Saya melihat semua wajahnya di wajah setiap orang yang datang. Dia ada di sana.
Saya kehilangan dia, sangat. Saya kangen sekali padanya, memang. Kangen pada obrolan kami di meja besar di tengah malam hingga dini hari dengan pekerjaan di depan mata. Tapi, tidak ada waktu lebih banyak lagi untuk bersedih, tidak ada banyak air mata lagi untuk ditumpahkan. Sudah. Saya memutuskan untuk berkemas dan melanjutkan hidup. Sejak setahun lalu.
So long Da, terima kasih.. sampai berjumpa lagi.. love you always..
No comments:
Post a Comment