Tuesday, July 24, 2007

la femme de Gilles: cinta total dari sudut sunyi...

Menonton film ini saya terpaku pada gambargambar indah dan secara fotografi sangat bagus. Saya berharap suatu saat nanti saya bisa memotret sebagus dan seindah itu. Sehidup itu. Suatu saat nanti. Gambargambar indah itu ternyata memang tidak seindah kisah yang dituturkannya. Tidak. Indah pada permukaan belum tentu berbanding lurus dengan kedalaman yang ada di baliknya. Sekali lagi tidak. Saya tertipu dengan gambargambar indah yang terentang di sepanjang film itu.

Kisah berputar pada cinta segitiga antara Lisa (Emmanuelle Devos), Gilles (Clovis Cornillac) dan Victorine (Laura Smet). Kisah cinta segitiga yang satu ini menjadi tidak biasa karena Lisa dan Victorine adalah kakak beradik sedangkan Gilles adalah suami Lisa (siapa yang kurang ajar di sini?). Inti dari cerita ini adalah pengorbanan tanpa pamrih dari seorang istri yang meskipun terluka oleh perselingkuhan suaminya, masih tetap berusaha menunjukkan cinta yang dalam kepada suaminya (for heaven’s sake! Please). Sebuah cinta yang total tanpa syarat kepada suaminya (not again!). Sebuah pengorbanan. Meski pada akhirnya semuanya memang ada batasnya dan ternyata mengejutkan bagaimana ia mengakhiri semuanya. Sebuah kisah cinta yang pelik.

Adalah Lisa yang menjadi penutur dalam film ini. Saya diajak untuk melihat kehidupannya dari kacamatanya. Ke-diam-annya, ekspresinya, dunia yang minim kata dari rumah tangganya, kehidupannya. Lisa, seorang ibu rumah tangga pada awalnya hidup berbahagia dengan suaminya Gilles, seorang pandai besi. Kehidupan rumah tangga mereka harmonis. Lisa adalah potret seorang perempuan yang tidak pernah neko-neko dan mendedikasikan hidupnya untuk keluarganya (saya sepertinya kenal perempuanperempuan jenis seperti ini). Ibu dan istri yang total. Badai mulai datang ketika sang suami, Gilles ternyata tertarik kepada Victorine yang tak lain adalah adik Lisa sendiri. Kemudaan dan keceriaan Victorine masuk ke dalam rumah mereka dan mulai memberi jarak di antara mereka. Jarak yang semakin lama semakin terentang seiring dengan Lisa mengetahui apa yang terjadi di balik punggungnya tersebut.

Lisa. Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya. Saya tidak tahu apa yang ada dalam kepalanya. Saya tidak tahu mengapa ia bertahan dalam dunia seperti itu. Ia berhak untuk mendapatkan yang terbaik. Untuk dirinya sebagai seorang perempuan, tentu saja. Tapi tampaknya menjadi perempuan sebenarbenarnya tidaklah sama dengan menjadi ibu dan istri yang baik. Tidak akan pernah sama. Saya tahu itu. Menjadi perempuan yang sebenarbenarnya bagi saya adalah benarbenar menjadi diri saya sendiri, menanggung semua hal yang telah saya putuskan dengan bertanggung jawab dan tidak lari dari resiko. Mengembangkan sayap saya dan mencoba mencari jalan untuk terbang. Kadang saya pikir saya terkesan terlampau egois dengan menurutkan semua ambisi pribadi dan terkesan tidak peduli dengan sekeliling saya. Saya tidak terlalu peduli meski sebenarnya peduli juga. Saya mendengarkan semua itu tapi tidak mau – serta merta- memasukkannya dalam pikiran saya. Saatsaat sekarang ini saya hanya mau menjadi diri saya saja. Maaf, bukan saya tidak peduli, saya hanya ingin menjadi seperti ini.

Maka ketika melihat Lisa, saya geram dan gemas. Ia harus bangkit berdiri dan menyatakan dirinya dan sikapnya pada Gilles. Kenapa ia diam saja? Saya sampai memakimaki ketika menonton film itu. Saya benarbenar tidak setuju dengan Lisa. Ia istri dan ibu yang jempolan tapi sebagai seorang perempuan ia kurang bisa berdiri tegak menatap Gilles dan bersikap tegas. Tidak. Seorang perempuan tidak boleh seperti itu. Tidak boleh. Saya sudah melihat Lisa dalam kehidupan saya seharihari. Dekat dan tidak berjarak. Ibu saya sendiri.

Cinta. Apakah itu alasannya? Cinta pada siapa? Pada Gilles? Pada anakanaknya? Atau cinta pada dirinya sendiri? Saya juga ingin bertanya mengenai hal itu kepada ibu saya, suatu saat nanti. Saya tahu mungkin selamanya saya tidak akan pernah mengerti jalan pikiran Lisa atau ibu saya atau Lisa Lisa yang lain. Menjadi ibu dan istri bagi mereka terasa begitu penting. Eksistensinya ditunjukkan dengan hal itu. Saya belum punya atau bahkan memang tidak punya kerelaan untuk itu. Mungkin memang tidak. Saya belum bisa mencintai dari sudut sunyi seperti Lisa. Sudut yang hampir tanpa kata. Tanpa mengeluh. Selalu bersabar. Tidak bisa.

Saya sangat terkesan dengan bagian akhir film ini. Bagian akhir dari film ini merupakan sebuah sentakan. Sebuah titik puncak dari kepenatan dan kesedihan yang tak pernah terungkapkan. Lisa akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan cara melompat dari jendela di lantai atas rumahnya ketika ia sedang menjemur pakaian. Bunuh diri. Meninggalkan warna putih terang yang menyilaukan. Akhirnya semua ada batasnya. Bom waktu. Meledak. Selesai.

Ah, Lisa. Ah, ibu saya. Tidak adakah keinginan kalian untuk menjadi seperti yang kalian inginkan? Ataukah kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan? Apakah kalian bahagia? Mencintai dari sudut yang hampir terlupakan seperti itu?

Lisa? Siapa yang hendak menjadi Lisa di jaman sekarang ini? Hmm... cinta total dari sudut sunyi...

No comments: