Friday, December 14, 2007

pulang, ka...


pasti ada suatu tempat yang bisa kau sebut sebagai rumah dan tempatmu pulang...


pulang? kemana? ini sungguhan. saya tidak sedang bercanda. saya harus pulang kemana? sebuah rumah dalam arti sebenarnya -bangunan terbuat dari batu bata dengan pintu, jendela, atap - atau sebuah sarang yang hangat tempat merebahkan segala penat hati? atau yang seperti apa?

pulang. bagi saya kata itu begitu berat. pulang bukan merupakan kata yang menyenangkan untuk saya. saya kesepian di rumah. bahwa pulang menjadi orang lain dan bukan diri saya sendiri adalah yang terjadi sekarang ini. bukan hanya sekarang sebenarnya tapi sudah sejak lama. pulang berarti diam. pulang berarti kesepian yang sangat. tak heran kalau saya betah berlamalama di manapun saya bisa berlamalama. sebisa mungkin menunda waktu. menangguhkannya barang semenit dua menit. menunda untuk mengetuk pintu rumah dan mengganti diri saya dengan diri saya yang lain.

lalu kenapa saya tidak pergi saja dari sana? dan mencari rumah saya sendiri? benar. mengapa tidak? saya tahu. saya tidak bisa. paling tidak untuk saat ini. ada jiwa lain yang kesepian di sana. ada jiwa lain yang juga (mungkin) akan berubah menjadi seperti saya. mengerikan seperti ini. dan saya tidak rela jiwa lain yang sangat saya sayangi itu berubah menjadi seperti saya. sudah cukup saya saja. tidak perlu dia. lakilaki kecil yang sekarang sedang menginjak remaja itu. saya tidak mau dia berubah juga. saya ingin dia bahagia. jalannya masih panjang.

kami memang tidak pernah saling membicarakan apa yang kami rasakan tapi saya tahu dia kesepian. saya tahu itu dan dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. saya takut dia sama seperti saya. merasa tidak penuh juga. itu yang saya takutkan. dengan semua lingkaran setan itu. saya tahu akhirakhir ini jarang mengobrol dengannya. jarang mendengarkan dia. sibuk dengan hidup saya sendiri. itu membuat saya bersalah.

saya ingat, saya pernah meminjam bahunya untuk menangis dan memintanya memeluk saya. dia memeluk saya tanpa mengerti kenapa saya yang perempuan dewasa ini menangis di bahunya tapi toh, dia memeluk saya -sambil tetap menonton tv. dia bertanya, kowe ngopo to mbak kok nangis barang? wis gedhe kok nangis? huh, jiwa itu juga sedang kesepian. mungkin tidak dipahaminya mengapa demikian.

itulah mengapa saya memaksa diri untuk pulang meski sebenarnya tidak ingin. berusaha menghentikan waktu jika bisa. ah, tolol kamu, jelas tidak bisa. menunda mungkin tapi tidak menghentikannya. itulah mengapa saya sangat menyukai berjalan kaki. menunda waktu lebih lama dan somehow, perjalanan yang saya tempuh itu -rute jalan kaki (ehm...saya punya rute baru; kinoki ke rumah), merupakan rumah saya. sebuah cangkang untuk saya masuk ke dalam diri saya. paling tidak untuk satu jam perjalanan jalan kaki pulang ke rumah dari tempat saya bekerja atau dari kinoki ke rumah.

ah, pulang... tak pernah menjadi kata yang ramah. tapi pasti ada suatu tempat yang bisa saya sebut sebagai rumah dan tempat saya pulang...

1 comment:

Anonymous said...

pernah lihat film The Lake House?

ini film surealis yang menyenangkan.