Tuesday, June 3, 2008

melancholia episode: menjadi guru...



Ya. Menjadi guru, itu tak pernah terpikirkan dalam benak saya. Ehm... sebenarnya terpikirkan juga tapi bukan sebagai guru play group seperti sekarang ini. paling tidak dalam gambaran saya adalah menjadi dosen. Halah. Tapi lihatlah dimana saya akhirnya berlabuh. Di sebuah sekolah dengan murid sejumlah 30 orang anak dari usia 2 tahun sampai dengan 4 tahun. Hebat. Ini hebat. Saya yang cenderung galak (dan memang iya hehehe), punya kecenderungan melankolia (yang semakin saya sadari belakangan ini dan memang parah), mood swing, ternyata bisa mengajar dan mendidik balitabalita itu. Sekali lagi hebat.

Temanteman saya sesama guru bilang bahwa saya sudah menjadi lebih lembut (dari segi penampilan juga) daripada tahuntahun kemarin. Perubahan yang saya juga sadari dan saya nyaman dengan itu. Setiap manusia memang harus berubah dan menemukan maknamakna baru. Mengingat katakata seorang teman: tidak ada kebenaran absolut. Kebenaran hari ini akan berganti dengan kebenaran esok hari yang (mungkin) berbeda. ya. Ya. Saya tahu dan mengerti itu.

Sekali lagi menjadi guru play group; hmm... apa yang ada di kepala saya ketika menerima tawaran ini pertama kali? Dulu akhir tahun 2004? Jawabannya sederhana: saya ingin mencoba. Saat itu saya sedang akhir skripsi dan sedang mencari pengalaman; tawaran itu pun datang. Saya mengangguk. Pertama kali mengajar, aduh, grogi sekali. Saya yang empat tahun lalu, sangat menolak menjadi perempuan seperti saya sekarang, yang cadas dan gahar (haiya!), mencoba mengajar. Sempat terpikirkan, janganjangan semua murid saya menangis melihat saya. Tapi lihat, ternyata tidak. Anakanak tidak peduli dengan penampilan saya, seperti apapun bentuknya. Yang mereka pedulikan adalah saya: bu ika, guru mereka. Dan tebak, lambat laun saya menjadi nyaman dengan mereka dan dunia mereka. Sampai saat ini.

Dulu saya hanya iseng dan mau mencoba. Tanpa ekspektasi apapun. Ternyata saya kemudian jadi jatuh cinta dengan dunia anakanak. Saya mencintainya. Tidak terasa. Tumbuh pelan dan perlahan sampai kemudian saya menyadari bahwa saya mencintai pekerjaan saya ini.

Tapi jika melankolia saya datang (saya benci sekali jika itu datang), semua jadi tidak menyenangkan. Saya jadi membandingkan pekerjaan ini dengan pekerjaan lain milik temanteman saya. Pekerjaan yang lebih keren. Lebih hip, menurut saya. Penuh dengan orangorang keren. Ah, keren itu seperti apa to ka? Keren karena bisa ngomong tentang Derrida, Foucault, Trufautt, dogme 95, marx, teori ini, teori itu, atau berteman dengan orangorang terkenal, pembuat film terkenal, orangorang yang hanya bisa ditemui namanya dalam jurnal, dsb atau karena apa? Kamu juga bisa, hanya saja kamu tidak mau to? Itu bukan hal yang perlu digembargemborkan to? Itu bukan hal yang terlalu penting kan? Ah, iya. Mengapa saya lupa? Saya sendiri yang memilih seperti itu. Memilih untuk merayakan “koper pengetahuan” di dalam kepala saya dengan cara saya sendiri. Lalu kenapa saya harus iri? Manusia memang. Atau tepatnya, penyakit saya. Penyakit orang minder.

Standar siapa yang saya pakai kali ini? bukan murni standar yang saya buat sendiri. Tapi standar orang lain yang saya cangkokkan ke dalam diri saya. Standar seorang penulis sukses, seorang pembuat film pendek, seorang progammer, seorang pembuat film dokumenter, seorang anak komunitas film, seorang penulis skenario, seorang anarko sindikalis, dst. Tidak ada “saya seorang guru play group yang bahagia dengan pekerjaannya dan sekarang mencoba lebih serius menulis”. Tidak ada. Jadi wajarlah kalau saya adalah layanglayang putus yang tidak tahu arah. Yang dipikirkan adalah bagaimana bisa sejajar dengan layanglayang lain yang berwarnawarni itu. Mereka tidak putus dan tahu arah karena mereka tahu apa yang mereka inginkan. Arah mana yang hendak dituju. Sedangkan saya? Sedang memutuskan untuk memilih kemana saya akan melabuhkan diri –meski sebenarnya sudah jelas terlihat kemana arah pelabuhan saya.

Ah, saya dan standar saya. Sejak dulu tidak pernah akur. Harusnya kami lebih bisa berteman. Seharusnya. Dan akan saya coba terus. Berdamai. Mencari standar saya sendiri. Keren dan tidak keren hanya jebakan bukan? Jebakan manis yang susah dihindari. Siapa yang menentukan? Janganjangan saya keren juga? Hahahahaha!!!!

Kembali ke mengajar. Itu menyenangkan sekali ternyata. Duduk dalam lingkaran saat story telling dengan muridmurid saya yang bengong menatap saya dan buku cerita yang saya bacakan. Lucu melihat mereka. Ada yang serius memperhatikan, tapi ada juga yang menguap dan memilih bersender pada guru yang lain (satu guru membacakan cerita, yang lain duduk bersama anakanak) lalu selonjor dan mengusili temantemannya. Apa ya cerita favorit mereka? Kalau tidak Franklin, ya Tini (saya baca kisah Tini sejak saya SD). Franklin begitu nyata bagi mereka sehingga mereka bisa dengan mudah mengidentifikasi diri mereka dengan Franklin dan temantemannya (saya berterima kasih sekali pada pencipta Franklin, ada juga buku yang sangat mendidik itu). Ambil contoh: Franklin dan Kamarnya, Franklin dan peri Gigi, Franklin Belajar Naik Sepeda, Franklin takut gelap. Dari judulnya saja sudah ketahuan apa yang mau disampaikan. Persoalanpersoalan sepele yang dihadapi oleh anakanak. Khas. Bahasanya pun khas. Tentang membereskan kamar, belajar naik sepeda, belajar mengatasi kegelapan, sakit gigi, berkunjung ke rumah teman, mendapatkan teman baru, meminta maaf. Dan itu biasanya sukses membuat anak teringat mengenai apa yang diajarkan. Dan Franklin adalah buku yang paling sering dipinjam oleh anakanak (di sekolah, anakanak boleh meminjam buku untuk dibaca di rumah) dan bukunya sampai bluwek dan copot. Itupun masih dipinjam berkalikali. Bahkan ada anak yang meminjam satu judul berkalikali sampai saya harus menyembunyikan buku itu supaya anak tersebut meminjam buku lain. Begitulah rutinitas saya di sekolah. Menyenangkan meski kadang kalau sedang jenuh dan anakanak sedang rewel dan menjengkelkan, tanduk saya bisa keluar dengan sempurna.

Somehow, ini juga merupakan obat bagi diri saya sendiri. Dengan mengajar dan berhadapan dengan anakanak, saya sedang mengobati diri sendiri. Ternyata cara ini manjur lebih dari yang saya sangka. Saya memberikan cinta saya pada anakanak saya, dan saya mendapatkan kelegaan luar biasa. Dan coba tebak, saya suka dipanggil dengan sebutan “ibu, bu”. Bukan hanya oleh muridmurid saya tapi oleh orangorang lain. Selain karena saya memang sudah emakemak, sebutan itu terdengar nyaman di telinga saya. Mungkin karena saya terbiasa atau memang karena saya mulai menyukainya.

Tapi apakah saya puas dengan keadaan saya sekarang? Tidak. Saya kepikiran ingin punya sekolah sendiri. Punya “bayi” saya sendiri. Tapi itu nanti dulu. Modal belum ada. Pelanpelan lah. Membuat sekolah kan butuh biaya yang tidak sedikit. Dengan keuangan saya saat ini jelas tidak mungkin. Suatu saat.

Pelanpelan... pasti bisa ka...








02.06.08 23.53...


1 comment:

Anonymous said...

whoaaaa
bu ikaaaaaaa
shabis baca postingan ini saya jadi kangen dengan bu ika dan milas....
tapi sayang, waktu dan saya tak pernah akur. jadilah saya budak waktu :(((
tapi saya berjanji akan berkunjung ke milas setelah sekripsong saya selesai dan lulus ....
hmppph...