: Pe
beberapa hari yang lalu seorang kawan baik datang dengan mata sembab berurai air mata. Luka menganga, hati koyak, dan setangkai mawar hitam di tangannya. Ia menangis dan terus bertanya kepada saya mengapa semua terjadi padanya. Mengapa semua lakilaki yang datang padanya hanya ingin berakhir di tempat tidur? Saya diam tidak mampu mengatakan apaapa. Saya hanya memeluknya erat dan mencium rambutnya. Saya tidak tahu mengapa demikian. Kemudian berkata lagi, apakah ia punya potongan perempuan yang bakal membuka kutang di depan semua lakilaki dan mengumbar semuanya. Saya kelu. Saya tidak pernah mampu dan tidak mau mengatakan jutaan kata penenang. Itu hanya candu. Saya juga tidak tega untuk mengatakan: hadapi itu dan jangan pernah memalingkan wajah sedikitpun dari kenyataan itu. Hadapi dengan mata terbuka. Tidak ada cukup candu untuk menenangkan hati dan menyembuhkan luka.
Saya tidak pernah tahu bagaimana caranya menyembuhkan diri dari luka semacam yang dialami oleh kawan saya itu. Yang saya tahu itu butuh waktu yang cukup lama untuk bisa mengering total dan hanya goresan bekasnya saja yang terlihat. proses menuju ke sana tidak akan pernah mudah. Tapi saya yakin ia bisa. Dengan berderaiderai dan berdarahdarah—itu pasti. Seperti yang ia katakan sendiri, suatu saat ia akan mengangkat kepala dan sembuh.
Setelah ia pergi, saya memikirkan semua pertanyaannya itu. Mengapa harus aku ka? Mengapa seperti ini lagi? Salahku apa? Aku bukan perempuan baikbaik ya karena mereka semua ingin tidur denganku? Aku ingin dicintai dan diperlakukan dengan selayaknya. Saya menghela napas panjang. Saya paham perasaan seperti itu. Mengerti. Keinginan dan ekspektasi untuk diinginkan oleh seorang yang diinginkan, begitu jelasnya. Mengapa begitu susahnya untuk membuat orang yang dicintai mengerti mengenai hal itu? Karena orang yang dicintai itu juga meminta untuk dimengerti. Ha! Lingkaran setan. Jalan terbaik memang seperti ini: berlalulah dari pintu yang hanya membuka dengan setengah hati.
Perasaan diinginkan dan dicintai memang candu luar biasa. Agaknya itu adalah akarnya. Untuk kawan saya, kasus yang paling jelas. Untuk saya juga. Dalam kasus saya: seumur hidup saya berusaha menjadi seseorang yang dicintai. Dengan cara apapun. Berusaha merebut perhatian orang sebisabisanya. Berusaha menjadi mawar merah yang diinginkan dan dicintai setiap orang. Hanya sialnya, saya tidak pernah mampu merebut perhatian dari semua orang yang saya harap mencintai saya dengan apa adanya. Saya tidak tahu bagaimana caranya menjadi mawar merah. Pathetic. Saya ingin dicintai, tapi saya tidak tahu bagaimana cara memintanya dan lebih tepatnya, saya tidak punya kemampuan untuk meminta untuk dicintai. Dan saat ini saya sudah berhenti untuk berusaha. Saya tidak pernah berusaha lagi. Saya tidak lagi berusaha untuk menjadi mawar merah yang dicintai setiap orang. Mawar hitam tidak akan pernah menjadi mawar merah. Kalaulah mawar hitam tidak diinginkan, ia masih tetap hidup bukan? Setahun yang lalu, saya pikir saya ditinggalkan karena saya ini hanyalah mawar hitam. Tetapi bukan itu ternyata. Tidak ada yang salah dengan mawar hitam. Saya hanya tidak beruntung. Tapi lalu bagaimana dengan kawan saya itu, apakah ia selalu tidak beruntung? Tidak adil mengatakan demikian. Mengapa luka yang sama terjadi? Tidak ada jawaban yang mudah untuk hal itu. Sama halnya ketika seorang kawan bertanya kepada saya tentang seseorang yang selalu lurus, yang selalu memajang fotofotonya yang bercerita mengenai pacarnya, kisah jalanjalannya, seolah tanpa beban. Tidak ada jawaban untuk itu juga. Saya tidak mengerti mengapa bisa demikian. Keseimbangan dunia mungkin? Entahlah.
“Butuh waktu sepuluh tahun untuk bisa menceritakan sebuah peristiwa luka, dengan berjarak dan memandangnya dengan tenang” saya menemukan kata-kata ini di sebuah review yang saya baca di sebuah situs film. saya setuju sepenuhnya mengenai itu. Butuh waktu yang lama memang untuk bisa memandang sebuah luka dalam bentuk yang berbeda. Memandang sebuah peristiwa menyakitkan sebagai sebuah sejarah yang tidak hendak ditutup atau dimusnahkan begitu saja. Sebagai sebuah bagian dari diri. Dalam bentuk yang tenang tanpa badai kemarahan yang menggila lagi. Ini untuk luka apapun. Semua luka membutuhkan waktu untuk sembuh, atau mungkin sembuh bukan kata yang menarik bagi saya untuk dilekatkan di sini—tapi bolehlah. Untuk sekedar mengering beberapa lama. Dan mungkin siap untuk dilukai lagi. Seorang kawan dalam blognya menuliskan bahwa sebuah luka diberi salep, mengering, sembuh, kemudian siap dilukai lagi. Demikian berulang. Bukankah memang demikian hidup itu? Oh sial! Tidak ada bedanya dengan Sisiphus memang. Kata seorang kawan lain—yang saya selalu salut oleh persediaan kata bijaknya yang tidak pernah habis—bukankah kepahitan itu dipersiapkan untuk menyembuhkan luka? Ah iya memang, tapi entah kenapa hambar rasanya.
Dalam cara pandang saya yang semakin hari semakin skpetis dan minor ini, kata-kata seperti itu tidak ada gunanya. Dulu saya mempercayai kata-kata seperti itu. Tapi entah belakangan ini saya seperti dirombak ulang, meminjam istilah Derrida, saya didekonstruksi. Banyak hal berjungkir balik dalam diri saya. Entah apa yang saya pegang saat ini. Yang jelas bukan sekumpulan kata bijak lagi yang saya pegang. Saya lelah memegang kata-kata: “pasti ada jawabannya ka.” Tidak ada kok ternyata. Mungkin memang saya tidak sabar. Kesabaran ada batasnya bukan? Dan saya tidak mau bersabar lagi. Saya tidak mau menggantungkan penghiburan pada kata-kata bijak lagi. Saya hanya mau memandang semua yang terjadi dengan tanpa perasaan apa-apa. Mungkin memang saya sudah tidak mau melekatkan diri pada emosi naik turun seperti itu meski kadang kala rindu juga untuk merasakan itu. Saya enggan terlibat lagi. Paling tidak untuk beberapa saat ini. Dan saat ini saya sudah bisa mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa luka saya sudah mengering. Butuh waktu satu tahun untuk bisa sampai di sini. Dan saya lega sudah bisa melaluinya. Saya tidak tahu apa, siapa, yang akan bertemu dan saya temui di masa mendatang. Saya juga tidak mengatakan bahwa saya siap dengan itu. Siap atau tidak, masa depan akan datang. Saya tidak terlalu peduli lagi. Saya ingat kata tokoh yang diperankan oleh Bill Murray di Broken Flowers—saya lupa namanya, “masa lalu ada di belakang kita dan tidak ada di sini. Masa depan belum hadir dan kita tidak tahu seperti apa. Yang ada sekarang bersamaku, ya ini, masa sekarang.” Ya. Masa kini adalah sekarang. Hadapi. Saya berusaha sedikit demi sedikit melepaskan beban, harapan, ekspektasi, apapun. Kalau saya mawar hitam dan tidak diinginkan, lalu kenapa? Saya menerimanya. Tidak ada yang salah dengan menjadi mawar hitam.
Yang datang, yang pergi, terjadilah demikian...
18.01.09, 23.02...
2 comments:
saya sudah terseYum lagi, ka. sungguh, yang kemarin, seperti jejak di pasir tersiram hujan. atau krn saya sudah sangat terbiasa yak dgn luka?
kdg ak heran dg diriku. tdk jrg ak mrasa tpantul dg kata2mu. sungguh kadang pedih jg. kadang ingin mnangis saat stok kata2ku hbs utkmu. lebih sering mrasa tak berarti krn tak bs menyalakan lilinmu.
namun, ak tetap dsini dan tak akan pergi. biarkan kelambu kdg menutupiku, tp ak tetap tinggal.
Post a Comment