Saya sedang menyukai beberapa orang sekaligus. Beberapa orang ini tidak banyak sebenarnya. Hanya sedikit. Oke, taruhlah empat orang. Tiga orang lakilaki dan seorang perempuan. Manusia harimau yang sudah meninggalkan taman bermain itu, manusia undurundur dengan ratusan harem, manusia ganteng depan rumah—yang setiap pagi saya selalu mengintip melalui jendela rumah siput saya untuk melihat apakah dia ada di depan rumahnya, dan yang terakhir perempuan manis mawar gunung—pujaan hati seorang kawan baik saya.
Saya mulai dari si mawar gunung manis. Saya menyukainya semenjak pertama kali bertemu dengan dia. Duapuluh empat tahun, rambut sebahu, lurus—tadi hanya diikat ekor kuda, pipi nyempluk, kaos, dan jeans. Tidak lupa sneakers. Dia memakai kacamata. Coklat dan dia cantik sekali dengan itu. Saya gila mungkin, tapi tidak. Saya merasa baikbaik saja dengan menyukainya. Kawan saya yang menggilainya setengah mampus itu sering menceritakan mawar gunung itu kepada saya, dan ketika bertemu secara langsung, saya sudah sangat familiar dan merasa tidak berjarak. Dan seperti yang saya bilang, begitu melihatnya, saya suka sekali. Saya bahkan bisa mengingat detail dia tertawa, warna bajunya, tinggi tubuhnya; pendek kata semuanya. Ia pernah bercerita bahwa ia pernah sampai ke Flores untuk menjadi relawan pendidikan sebuah lembaga pendidikan alternatif. Ia bercerita dengan mata berbinar bagaimana ia menyeberangi pulau hanya dengan perahu di tengah ombak pasang dan mengajar anakanak di sana. Bukan perempuan sembarangan agaknya. Anggap saya. Paling tidak bukan perempuan menyemenye begitu saja. Ketika berangkat tadi pagi, saya mengatakan kepada diri saya bahwa saya akan bertemu dengan dia dan saya mau memandangnya, mencari sesuatu dalam dirinya. Dan saya melakukan itu. Saya bertanya kepada diri saya mengapa saya menyukainya. Mengapa saya seolah tertarik mendekat kepadanya, apa yang saya cari sebenarnya dalam dirinya?
Apa yang saya rasakan terhadap si mawar gunung ini terlalu prematur jika disebut sebagai sebuah perasaan “yang lebih dalam”. Bagi saya ini hanyalah sebuah ketertarikan saja. Tidak lebih dari itu. Ada semacam keinginan mencari diri saya di dalam sana. Karena somehow, someway saya merasa ia adalah gambaran diri saya bertahun lampau tapi dalam cover version yang lebih baik—hahaha!!! Mungkin itu yang membuat saya merasa dekat dengannya. Merasa ingin mengetahui dirinya lebih lanjut, meski saya sebagian sudah tahu dari kawan baik saya itu. Dan saya gembira saya punya kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam lagi karena ia berproses juga dalam taman bermain dimana saya juga terlibat di situ.
Ini sebuah perasaan yang aneh. Sesuatu yang baru. Dan saya suka dengan perasaan ini. Seperti memberi daya hidup baru. Daya hidup yang membuat saya bersemangat. Tapi saya tidak menandaknandak riang begitu, bukan jamannya lagi. Saya menikmatinya dalam diam. Rasa itu sendiri halus dan ringan dan tidak membebani saya.
Kemudian orang kedua: manusia harimau. Orang lama, tapi hanya berani mengendapendap tanpa pernah berani mengejar dan menerkam. Ia sudah pergi. Tidak ada kesedihan. Karena memang tidak perlu itu. Toh saya punya keyakinan kalau kami akan bertemu suatu saat. Mungkin jika waktunya sudah tepat. Saat ini saya tidak terlalu ambil pusing dengan dirinya. Saya membebaskan diri saya untuk tidak berharap kepadanya. Untuk tidak mengharapkan gayung saya bersambut kepadanya. Dulu sekali, saya suka sekali padanya, tapi agaknya waktu dan peristiwa telah mengubah saya menjadi lebih tenang dan cenderung tidak peduli seperti saat ini. Saya menikmati permainan tarik ulur dengannya kemarinkemarin itu, tapi memang layanglayang agaknya memang harus dilepaskan bukan? Saya juga tahu itu. Sudah selesai. Maka ketika ia menyapa saya di sebuah situs pertemanan paling populer saat ini beberapa hari lalu, saya hanya tertawa. Basi.
Membicarakan perasaan saya kepadanya adalah hal yang lucu. Perasaan saya terhadapnya seperti layanglayang: kadang mendekat, kadang menjauh. Hari ini bisa mengobrol dengan benarbenar enak, besok seperti orang yang tidak saling kenal. Selalu seperti itu. Mendekat, menjauh. Tertawa lantas mencibir. Perasaan seperti layanglayang ini ternyata sangat melelahkan, dan akhirnya saat “melambaikan tangan selamat tinggal” datang juga. Saya melanjutkan hidup saya. Tapi ketika saya bertanya kepada diri saya, apakah saya pernah menginginkannya; saya menjawabnya dengan “ya”. Tidak dengan amat sangat memang, tapi saya menginginkannya. Saya pernah menaruh harap kepadanya. Pernah merasakan kupukupu dalam perut saya karena dia. Pernah dengan berdebar dan terkagetkaget dengan sikapnya. Dan pernah cukup bodoh mengirimkan sebuah pesan bahwa saya pasti kehilangan dia ketika ia akan pergi dari taman bermain kami itu. Dan tangan saya gatal untuk selalu mengecek keberadaannya lewat situs pertemanan yang populer itu. Sebuah tindakan yang sama sekali tidak direkomendasikan dan rentan menimbulkan kecanduan yang pada akhirnya akan merugikan diri saya sendiri.
Manusia ketiga: manusia ganteng depan rumah. Anak muda yang menurut saya banyak perempuan cantik dan tidak cantik berderet minta dipacari. Dia, apa yang bisa saya bilang mengenai dia selain dia ganteng—tidak banyak laki-laki yang saya sebut ganteng, adalah hawa yang hampir sama yang dibawanya dengan tukang potret lembaran usang masa lampau itu. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa sampai kepada kesimpulan itu, tapi saya bisa merasakan itu. Maka saya hanya bisa tertawa demi kebiasaan baru saya setiap pagi sekarang: membuka jendela lebarlebar dan menatap pintu rumah sebelah, mengharapkan dia keluar. Hina memang. Dan saya terbahak karenanya. Hina dina untuk model yang seperti ini tapi saya menikmatinya. Perasaan yang usang dan tersampir entah kemana itu kembali. Sesuatu yang kecil bangkit dalam diri saya. Dan itu membuat saya gelenggeleng kepala. Saya mengangeni hal yang hina dan remeh seperti ini agaknya. Kehebohan menyapa dengan riang demi melihat si ganteng itu muncul dan menyiapkan senyum manis, serta mencari pembicaraan.
Manusia keempat: manusia undurundur dengan ratusan harem. ha! Dia; saya hanya bisa tertawa kalau mengingat dia. Semakin hari, saya semakin respek kepadanya. Caranya menenangkan semua haremnya itu, memberikan telinga untuk mendengar, juga sikapnya yang bagi saya pragmatis tapi entah kenapa justru malah memberikan jalan keluar yang cespleng untuk setiap persoalan yang dihadapi para haremnya atau saya sebagai rekannya di taman bermain kami itu. Dia, yang dulu saya pandang sebagai biasa saja, tapi malah tidak biasa ternyata. Semua hal memang tidak seperti yang terlihat pada awalnya bukan? Saya tahu kami menjadi dekat tapi tidak cukup dekat untuk bisa saling nyaman mengobrolkan halhal pribadi. Tapi itu tidak terlalu penting, saya akan sampai ke sana jika waktunya tiba. Saya sudah cukup senang dengan kedekatan kami ini. Cukup senang ketika saya mulai mengenali bau rokok dan sabun dari tubuhnya. Itu mengganggu saya, tapi saya suka bau itu. Tertawatawa tidak jelas, guyonan ngawur, senyuman mengembang; itu semua cukup untuk saya.
Lalu bagaimana dengan perasaan dan rasa yang lebih dalam? Tidak ada. Hanya sebatas itu. Hanya suka. That’s it, that’s all. Ça suffit. Tidak ada yang perlu dilanjutkan mengingat akhirakhir ini saya enggan untuk terlibat mendalam dengan perasaan seperti itu. Bukan apaapa, hanya tidak mau repot saja dengan segala hal naik turun, roller coaster. Saya tidak siap dengan emosi yang naik turun, merasakan hentakan menyenangkan pada awalnya untuk kemudian dihempaskan begitu saja, kemudian naik lagi. Sekali lagi saya tidak siap. Itu sebuah pertaruhan yang tidak mainmain untuk saya. Saya mungkin masuk ke episode hibernasi. Tertidur panjang untuk beberapa saat yang tidak diketahui. Banyak hal yang saat ini menarik perhatian saya. Halhal yang mungkin tidak akan sempat saya pikirkan jika saya mendalami perasaan mendalam seperti yang saya sebutkan tadi. Dalam daftar yang akan saya kerjakan tahun ini, tidak ada daftar untuk berpasangan. Entah saya takut, atau malas, atau tidak mau mencoba, atau apalah terserah—saya tidak memasukan itu dalam daftar saya.
Orangorang tadi hadir dengan warnanya masingmasing dalam diri saya. Memberi saya semacam daya hidup yang membuat saya memperhatikan mereka, dan mencabut saya sedikit demi sedikit dari adiksi saya terhadap episode yang telah lalu itu. Mereka menawarkan halhal baru. Kisahan baru, dimana saya bisa belajar banyak di dalamnya. Tidak ada banyak harapan yang saya tanamkan atas kehadiran mereka, atau mungkin memang tidak ada sesuatu pun yang bisa saya harapkan. Belajar dari pengalaman. Ada atau tidaknya harapan tidak menghentikan saya. Ya.
I recommend biting off more than you can chew to anyone
I certainly do
I recommend sticking your foot in your mouth at anytime
Feel free
Throw it down (the caution blocks you from the wind)
Hold it up (to the rays)
You wait and see when the smoke clears
You live you learn
You love you learn
You cry you learn
You lose you learn
You bleed you learn
You scream you learn
(you learn, alanis morissette)
18.01.09, 23.26...
1 comment:
ehm aq tahu..nikmati siput-siputmu...(teman mawar gunung)
Post a Comment