Sunday, July 6, 2008

tentang segala hal yang berhubungan dengan menikah dan pernikahan

Memasuki usia siap nikah a.k.a. sudah tua seperti saya dan masih tinggal dengan keluarga bukan merupakan hal yang mudah. Apalagi dengan keluarga besar model keluarga saya, yang masih condong ke ultra konservatif dan lingkungan tempat tinggal yang kadangkadang usil bertanya. Susah. Pembicaraan mengenai “sudah ada pandangan belum?” (pandangan apa coba?), “kapan giliranmu?”, dll. Segala pertanyaan klasik yang sudah bisa ditebak kemana arahnya. Ah, malas.

Dua hari ini, bulik saya datang dari Madura (seorang sahabat, ngekek ketika saya cerita bahwa bulik saya datang dari sana. Jauh banget, bo katanya). Bulik saya ini, yah seperti biasa adalah model ibuibu kebanyakan. Bangga banget dengan anaknya yang sekarang menjadi pegawai tidak tetap sebuah instansi pemerintah (saya maklum, mana ada to seorang ibu yang tidak bangga pada anaknya?), kemudian bercerita macammacam mengenai anaknya tersebut. Cerita bahwa kelak mungkin anaknya akan diangkat menjadi PNS. Itu akan membuatnya tenang akan masa depan sepupu saya itu. Masa tuanya terjamin. Setelah nanti lumayan mapan, mungkin akan dicarikan jodoh dan menikah. Saya hanya nyengir. Linear ya? Batin saya.

Kemudian bulik bertanya kepada saya, apa pekerjaan saya, berapa penghasilan saya, rencana ke depan bagaimana, sudah ada calon belum, kapan menikahnya, bla bla bla.. cengiran saya sudah seperti kuda beranak, benarbenar sudah tidak enak. Akhirnya saya jelaskan bahwa saya kerja ini itu, bergiat di sini di situ. Bahwa saya tidak punya rencana menikah. Kalau ketemu jodoh dan memungkinkan ya menikah, tapi kalau tidak ya tidak saja. Toh menikah bukan mainan. Masa saya harus menikah hanya untuk memenuhi kewajiban sosial saja. Yang benar saja ya. Saya tidak mau menciptakan neraka untuk yang kedua kalinya dalam hidup saya. Satu saja sudah cukup. Saya tidak mau menciptakan monster yang sama dengan yang ada sekarang ini. saya tidak mau ada makhluk yang hanya half empty dan half full lagi. Saya belajar banyak dari apa yang sudah saya alami selama ini. pernikahan bapak dan ibu saya, keluarga saya, diri saya sendiri. No more frankenstein.


Saya pernah bilang ke ibu saya, kalau saya tidak ada rencana menikah dan berkeluarga ke depannya. Ibu saya memandang saya dengan sedih. Ia selalu bilang saya belum bertemu dengan jodoh, dengan orang yang tepat, masa semua lakilaki seperti ayah saya, pasti ada yang tidak. Saya balik memandangnya dengan pandangan berkabut –agaknya- dan tersenyum “sudahlah bu relakan saja ya, toh segi positifnya aku bisa menemanimu sampai akhir nanti”. Sesudah itu kami tidak membicarakan masalah itu lagi. Tapi saya tahu, ia kuatir dan sedih. Dengan berat hati saya mengecewakannya. Saya tahu. Maafkan saya.


Pertanyaanpertanyaan seperti itu memang sangat mengganggu saya tapi saya sekarang ini tidak terlalu ambil pusing dengan itu semua. Saya tinggal tersenyum dan mengatakan bahwa saya belum mikir soal menikah dan tidak ada rencana untuk itu. Biasanya, mereka (keluarga dan tetangga) yang bertanya hanya memandang saya dengan pandangan kasihan. Ah, pandangan yang saya tidak suka. Dikasihani. Saya tidak peduli. Saya berlalu saja. Dan pembicaraan seperti itu berhenti.

Yang belum bertanya adalah ayah saya. Aneh bagi saya mengingat dia selalu ingin mengatur semuanya. Mungkin ia tahu bahwa ia sudah tidak bisa lagi meminta saya mengikuti maunya. Ya, agaknya memang itu. Dia tidak pernah bertanya mau kemana saya, apa yang saya cari, bagaimana masa depan saya. Meski saya tahu di belakang saya, ia selalu membicarakannya dengan keluarga besar saya yang lain. Sekali lagi saya tidak peduli. Saya sudah diam sejak lama. Saya tidak mau lagi diatur. Saat ini saya memang berkompromi tapi bukan untuk diatur lagi. Agaknya ia tahu itu dan tidak ikut campur hidup saya lagi. Sedikit demi sedikit.


Kali ini saya tidak berusaha melawan pertanyaanpertanyaan itu. Tidak lagi marah dan melawan dengan frontal. Tidak lagi dengan garis keras seperti kebiasaan saya dulu. Tapi kali ini dengan siasat. Saya belajar bahwa melawan kekerasan dengan kekerasan tidaklah ada gunanya. Menghabiskan energi. Meski demikian energi kemarahan saya memang belum habis atau memang tidak habis. Itu mungkin salah satu yang membentuk saya. Hingga saya sampai kepada bentuk saya saat ini.


Toh kalau pertanyaanpertanyaan tentang kehidupan sosial seperti itu muncul lagi dan pasti akan gencar mengingat sepupu saya akan lamaran, sahabat karib saya akan tukar cincin dan adik saya sendiri juga akan naik ke tahap serius dengan pasangannya, saya hanya akan memaklumi karena itu bagian dari proses dan usia juga. Wis wayahe kalau orang Jawa bilang. Jadi kenapa harus repot dan sewot?


Menikah itu baik, tapi tidak untuk saya... itu katakata siapa ya? Saya lupa. Saya pernah baca di sebuah buku. Somewhere. Hmm... benar..


06. 07. 08 12.01...

No comments: