Thursday, December 20, 2007
Friday, December 14, 2007
gadis penjual korek api
kadang saya berharap bisa seperti si gadis penjual korek api dalam cerita Andersen (benar kan?). punya banyak korek api yang bisa mengantarkannya bertemu dengan neneknya. beberapa hari yang lalu saya kangen benar dengan nenek saya yang sudah meninggal. kangen sekali. saya membayangkan nenek saya yang gendut itu. hangat sekali rasanya jika dipeluk nenek. menenggelamkan kepala saya di dadanya (seseorang pernah melakukan ini pada saya) dan mengusap kepala saya pelan. dulu, sewaktu kecil saya sering melakukan ini. bau nenek saya masih bisa saya ingat sampai sekarang. ah, saya kangen benar...
gadis penjual korek api, bisa pinjami saya beberapa batang korekmu? saya ingin bertemu dengan nenek saya...
gadis penjual korek api, bisa pinjami saya beberapa batang korekmu? saya ingin bertemu dengan nenek saya...
shiver
So I looked in your direction,
But you paid me no attention, do you.
I know you don't listen to me.
'cause you say you see straight me, don't you?
On and on from the moment I wake,
To the moment I sleep,
I'll be there by your side,
Just you try and stop me,
I'll be waiting in line,
Just to see if you care.
Did she want me to change?
But I change for good.
And I want you to know.
But you always get your way,
I wanted to say,
Don't you shiver? shiver, shiver
I'll always be waiting for you,
So you know how much I need you,
But you never even see me, do you?
And this is my final chance of getting you.
On and on from the moment I wake....
Did she want me to change?...
Sing it loud and clear.
I'll always be waiting for you.
Yeah I'll always be waiting for you.
And it's you I see, but you don't see me.
And it's you I hear, so loud and clear.
I sing it loud and clear.
And I'll always be waiting for you,.
So I look in your direction,
But you pay me no attention,
And you know how much I need you,
But you never even seen me.
But you paid me no attention, do you.
I know you don't listen to me.
'cause you say you see straight me, don't you?
On and on from the moment I wake,
To the moment I sleep,
I'll be there by your side,
Just you try and stop me,
I'll be waiting in line,
Just to see if you care.
Did she want me to change?
But I change for good.
And I want you to know.
But you always get your way,
I wanted to say,
Don't you shiver? shiver, shiver
I'll always be waiting for you,
So you know how much I need you,
But you never even see me, do you?
And this is my final chance of getting you.
On and on from the moment I wake....
Did she want me to change?...
Sing it loud and clear.
I'll always be waiting for you.
Yeah I'll always be waiting for you.
And it's you I see, but you don't see me.
And it's you I hear, so loud and clear.
I sing it loud and clear.
And I'll always be waiting for you,.
So I look in your direction,
But you pay me no attention,
And you know how much I need you,
But you never even seen me.
(shiver, coldplay)
pulang, ka...
pasti ada suatu tempat yang bisa kau sebut sebagai rumah dan tempatmu pulang...
pulang? kemana? ini sungguhan. saya tidak sedang bercanda. saya harus pulang kemana? sebuah rumah dalam arti sebenarnya -bangunan terbuat dari batu bata dengan pintu, jendela, atap - atau sebuah sarang yang hangat tempat merebahkan segala penat hati? atau yang seperti apa?
pulang. bagi saya kata itu begitu berat. pulang bukan merupakan kata yang menyenangkan untuk saya. saya kesepian di rumah. bahwa pulang menjadi orang lain dan bukan diri saya sendiri adalah yang terjadi sekarang ini. bukan hanya sekarang sebenarnya tapi sudah sejak lama. pulang berarti diam. pulang berarti kesepian yang sangat. tak heran kalau saya betah berlamalama di manapun saya bisa berlamalama. sebisa mungkin menunda waktu. menangguhkannya barang semenit dua menit. menunda untuk mengetuk pintu rumah dan mengganti diri saya dengan diri saya yang lain.
lalu kenapa saya tidak pergi saja dari sana? dan mencari rumah saya sendiri? benar. mengapa tidak? saya tahu. saya tidak bisa. paling tidak untuk saat ini. ada jiwa lain yang kesepian di sana. ada jiwa lain yang juga (mungkin) akan berubah menjadi seperti saya. mengerikan seperti ini. dan saya tidak rela jiwa lain yang sangat saya sayangi itu berubah menjadi seperti saya. sudah cukup saya saja. tidak perlu dia. lakilaki kecil yang sekarang sedang menginjak remaja itu. saya tidak mau dia berubah juga. saya ingin dia bahagia. jalannya masih panjang.
kami memang tidak pernah saling membicarakan apa yang kami rasakan tapi saya tahu dia kesepian. saya tahu itu dan dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. saya takut dia sama seperti saya. merasa tidak penuh juga. itu yang saya takutkan. dengan semua lingkaran setan itu. saya tahu akhirakhir ini jarang mengobrol dengannya. jarang mendengarkan dia. sibuk dengan hidup saya sendiri. itu membuat saya bersalah.
saya ingat, saya pernah meminjam bahunya untuk menangis dan memintanya memeluk saya. dia memeluk saya tanpa mengerti kenapa saya yang perempuan dewasa ini menangis di bahunya tapi toh, dia memeluk saya -sambil tetap menonton tv. dia bertanya, kowe ngopo to mbak kok nangis barang? wis gedhe kok nangis? huh, jiwa itu juga sedang kesepian. mungkin tidak dipahaminya mengapa demikian.
itulah mengapa saya memaksa diri untuk pulang meski sebenarnya tidak ingin. berusaha menghentikan waktu jika bisa. ah, tolol kamu, jelas tidak bisa. menunda mungkin tapi tidak menghentikannya. itulah mengapa saya sangat menyukai berjalan kaki. menunda waktu lebih lama dan somehow, perjalanan yang saya tempuh itu -rute jalan kaki (ehm...saya punya rute baru; kinoki ke rumah), merupakan rumah saya. sebuah cangkang untuk saya masuk ke dalam diri saya. paling tidak untuk satu jam perjalanan jalan kaki pulang ke rumah dari tempat saya bekerja atau dari kinoki ke rumah.
ah, pulang... tak pernah menjadi kata yang ramah. tapi pasti ada suatu tempat yang bisa saya sebut sebagai rumah dan tempat saya pulang...
Thursday, December 13, 2007
just one single drop
I’m so tired of being here
suppressed by all of my childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave
because your presence still lingers here
and it won’t leave me alone
These wounds won’t seem to heal
this pain is just too real
there’s just too much that time cannot erase
When you cried I’d wipe away all of your tears
When you’d scream I’d fight away all of your fears
and I’ve held your hand through all of these years
but you still have all of me
You used to captivate me
by your resonating light
but now I’m bound by the life you left behind
Your face it haunts my once pleasant dreams
Your voice it chased away all the sanity in me
These wounds won’t seem to heal
this pain is just too real
there’s just too much that time cannot erase
When you cried I’d wipe away all of your tears
When you’d scream I’d fight away all of your fears
and I’ve held your hand through all of these years
but you still have all of me
I’ve tried so hard to tell my self that you’re gone
And thought you’re still with me
I’ve been alone all along
(my immortal, evanescence)
suppressed by all of my childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave
because your presence still lingers here
and it won’t leave me alone
These wounds won’t seem to heal
this pain is just too real
there’s just too much that time cannot erase
When you cried I’d wipe away all of your tears
When you’d scream I’d fight away all of your fears
and I’ve held your hand through all of these years
but you still have all of me
You used to captivate me
by your resonating light
but now I’m bound by the life you left behind
Your face it haunts my once pleasant dreams
Your voice it chased away all the sanity in me
These wounds won’t seem to heal
this pain is just too real
there’s just too much that time cannot erase
When you cried I’d wipe away all of your tears
When you’d scream I’d fight away all of your fears
and I’ve held your hand through all of these years
but you still have all of me
I’ve tried so hard to tell my self that you’re gone
And thought you’re still with me
I’ve been alone all along
(my immortal, evanescence)
PS: do you?
the pursuit of happiness...
kemana kebahagiaan pergi? atau sebenarnya ia tidak pernah kemanamana? hanya saya saja yang selalu merasa ia tidak pernah ada. semakin hari saya bertanya mengenai hal itu. kemana perginya? kemana saya harus mencarinya?
kebahagiaan tidak jatuh dari langit -just for free begitu saja. harus diusahakan. tapi kenapa ketika saya berusaha dan berlari mengejarnya, ia malah berlari semakin jauh meninggalkan saya? apa yang salah di sini? apa saya berusaha terlalu keras? mungkin. salah seorang sahabat mengatakannya. saya seringkali berusaha terlalu keras. saya berusaha terlalu keras sehingga malah mengacaukan semuanya. saya hanya ingin bahagia. saya hanya ingin menutup lubang itu. berharap menemukan kebahagiaan dan menutup lubang itu, sebisa mungkin. saya ingin merasa penuh. karena saya tidak pernah merasa penuh sejak entah kapan. sejak lama. selalu ada ruangan kosong. seperti dinding yang menyisakan suara yang berbeda ketika diketuk. dan di balik dinding itu ada ruang kosong yang tidak tertutup sempurna. semakin diketuk, suaranya semakin berbeda dan nyaring menyuarakan kekosongan itu.
saya mencari cara untuk mengisinya. untuk membuatnya penuh lagi. tapi agaknya tambalannya kini mulai rompal lagi dan ternyata kekosongan itu semakin menyebar. lubang itu ternyata membesar. ada tambahan lubang lagi. hmm...seperti kanker. sudah menyebar. sudah stadium lanjut. tinggal menunggu waktu saja untuk 'tamat'. tapi saya tidak mau tamat secepat itu. saya belum merasakan sungguh apa itu kebahagiaan. saya tidak mau tamat tanpa melawan. saya tidak mau. saya tidak selemah itu.
harihari ini ada gema di dalam ruang hati saya: happiness...happiness, where are thou? bergaunggaung, seperti yohanes pembabtis mungkin yang berseru di padang gurun. kemudian ada suara yang menyahut:happiness is a warm gun, but the numb-ess is coming closer and closer. lalu ada suara lainnya yang menyahut: barangkali kamu adalah perahu, yang dimainkan anak piatu. yang berani mengarungi mimpi dan menyusup ke belantara waktu (joko pinurbo).
happiness...happiness... i will come to follow you. but where the hell are thou?
kebahagiaan tidak jatuh dari langit -just for free begitu saja. harus diusahakan. tapi kenapa ketika saya berusaha dan berlari mengejarnya, ia malah berlari semakin jauh meninggalkan saya? apa yang salah di sini? apa saya berusaha terlalu keras? mungkin. salah seorang sahabat mengatakannya. saya seringkali berusaha terlalu keras. saya berusaha terlalu keras sehingga malah mengacaukan semuanya. saya hanya ingin bahagia. saya hanya ingin menutup lubang itu. berharap menemukan kebahagiaan dan menutup lubang itu, sebisa mungkin. saya ingin merasa penuh. karena saya tidak pernah merasa penuh sejak entah kapan. sejak lama. selalu ada ruangan kosong. seperti dinding yang menyisakan suara yang berbeda ketika diketuk. dan di balik dinding itu ada ruang kosong yang tidak tertutup sempurna. semakin diketuk, suaranya semakin berbeda dan nyaring menyuarakan kekosongan itu.
saya mencari cara untuk mengisinya. untuk membuatnya penuh lagi. tapi agaknya tambalannya kini mulai rompal lagi dan ternyata kekosongan itu semakin menyebar. lubang itu ternyata membesar. ada tambahan lubang lagi. hmm...seperti kanker. sudah menyebar. sudah stadium lanjut. tinggal menunggu waktu saja untuk 'tamat'. tapi saya tidak mau tamat secepat itu. saya belum merasakan sungguh apa itu kebahagiaan. saya tidak mau tamat tanpa melawan. saya tidak mau. saya tidak selemah itu.
harihari ini ada gema di dalam ruang hati saya: happiness...happiness, where are thou? bergaunggaung, seperti yohanes pembabtis mungkin yang berseru di padang gurun. kemudian ada suara yang menyahut:happiness is a warm gun, but the numb-ess is coming closer and closer. lalu ada suara lainnya yang menyahut: barangkali kamu adalah perahu, yang dimainkan anak piatu. yang berani mengarungi mimpi dan menyusup ke belantara waktu (joko pinurbo).
happiness...happiness... i will come to follow you. but where the hell are thou?
Wednesday, December 5, 2007
menjejak bumi lagi
saya mulai ringan harihari belakangan ini. saya menikmatinya. memang tidak akan pernah sama lagi tapi saya tahu saya mendapatkan banyak pelajaran. tidak manis memang tapi saya belajar banyak. suatu saat nanti pasti ada gunanya.
saya menjejakkan kaki di bumi lagi...
saya menjejakkan kaki di bumi lagi...
Saturday, November 17, 2007
serbuk bintang...
sorry ganggu, aku suka melihat wajahmu tadi sore! apalagi pakai selendang yang kamu ikatkan di kepalamu itu... hehehe maaf ya!
saya terima sms itu jam 1 dini hari dan baru saya baca jam 3 ketika -seperti biasa, saya terjaga. butuh waktu sekitar 7 jam untuk mengsms saya untuk mengatakan itu padahal hampir sepanjang sore kami bersama dalam satu ruangan. sepanjang sore yang ia habiskan dengan memandang laptop tanpa berani menatap saya atau bicara pada saya. padahal jarak saya hanya sekitar 1 meter darinya. butuh waktu 7 jam untuk ingat dan berani mengatakan hal itu. dan saya tidak yakin dia dalam keadaan sadar. jadi butuh waktu 7 jam dan dalam keadaan tidak sadar a.k.a. mabuk untuk jujur bahwa ternyata matanya tertuju pada saya.
saya hanya tertawa. getir. silakan pandangi saya sepuasmu sebelum memandang saya diberi peraturan dan diberi pajak. dan sebelum semuanya terlambat.
saya terima sms itu jam 1 dini hari dan baru saya baca jam 3 ketika -seperti biasa, saya terjaga. butuh waktu sekitar 7 jam untuk mengsms saya untuk mengatakan itu padahal hampir sepanjang sore kami bersama dalam satu ruangan. sepanjang sore yang ia habiskan dengan memandang laptop tanpa berani menatap saya atau bicara pada saya. padahal jarak saya hanya sekitar 1 meter darinya. butuh waktu 7 jam untuk ingat dan berani mengatakan hal itu. dan saya tidak yakin dia dalam keadaan sadar. jadi butuh waktu 7 jam dan dalam keadaan tidak sadar a.k.a. mabuk untuk jujur bahwa ternyata matanya tertuju pada saya.
saya hanya tertawa. getir. silakan pandangi saya sepuasmu sebelum memandang saya diberi peraturan dan diberi pajak. dan sebelum semuanya terlambat.
Tuesday, November 13, 2007
jaring labalaba di tembok rumah saya yg warnanya tidak putih
i feel so numb
terbangun pukul 3 pagi. perut kram. mual yang seperti biasa datang. saya lihat ke atas. ke arah genteng kaca. tidak ada cahaya. tolol! jelaslah ini baru jam 3 pagi. kenapa saya tibatiba merasa kosong seperti ini. saya berhadapan dengan sumur gelap tanpa dasar. kenapa saya merasa kosong seperti ini? terjaga dan hanya mampu menatap langitlangit kamar saya yang gelap tanpa mampu memikirkan apaapa. kosong. ada sesuatu yang hilang tapi saya tidak tahu apa itu. saya tidak tahu. tahutahu hilang begitu saja. hilang. begitu. saja. kemudian saya meringkuk. posisi favorit saya. menatap sesuatu di kegelapan di tepi tempat tidur saya. mencoba mendengarkan sesuatu. dari kamar sebelah terdengar suara ayah saya mendengkur. keras. hanya itu.
entah berapa lama saya seperti itu. entah. kemudian sesuatu yang panas dan basah mengalir turun dari mata saya. seperti tirai menutupi mata. kemudian saya lelah. dan. saya. tertidur. lagi. masih tetap dengan kekosongan itu. saya akan mencarinya. ya..
Friday, October 26, 2007
sweet suicide
itu yang saya lakukan. untuk apa? untuk diri saya sendiri. bukan untuk siapasiapa. untuk saya. di dasar jurang itu saya berharap bisa menemukan diri saya sendiri. lengkap. utuh. saya ingin merasakan dinginnya dasar jurang untuk kemudian berdiri dan kembali kepada matahari yang memberi saya kehangatan. saya memang sengaja terjun ke dasar jurang di bawah sana untuk kembali lagi. kehancuranmu adalah awal kesadaranmu. begitu yang saya baca di supernova. entah benar, entah tidak. bukan hal yang penting saat ini. seperti gandalf yang jatuh ke kedalaman dasar perut bumi bersama monster bertanduk itu dan akhirnya kembali menjadi gandalf the white yang bersinar; saya akan kembali menjadi bohlam lampu yang berpendarpendar menyapa setiap orang. saya akan kembali.
saat ini biarlah saya terjun ke bawah sana. let's jump!
saat ini biarlah saya terjun ke bawah sana. let's jump!
Sunday, October 21, 2007
ps: fix me...
aku. ingin. lari. jauh. aku. mau. lupa. ingin. aku. jauh. lari. lupa. lari. lari. lari. jauh. jauh. jauh. lupa. lupa. lupa. lupa. aku. aku. aku. aku. lupa. jauh. lari. mau. jauh. lari. lupa. ingin. jauh. lupa. mau. aku. ingin. lari.
ps: fix me...
ps: fix me...
Monday, October 15, 2007
kotakota yang kita singgahi
aku mencarimu dalam bukubuku tebal
dan berdebu yang berserakan di lantai.
yang kutemukan hanya namanama kota tempat
kita pernah singgah, untuk kemudian bimbang
ke mana mesti pulang.
takkukenali lagi raut wajahmu: pada gelas.
ketika kau pernah berkata, “aku selalu dahaga.”
kemudian kupahami hanya garisgaris peta
yang kabur. juga namanama kota persinggahan,
bar, losmen, art gallery, dan tokotoko
bunga. segalanya hampir tak terbaca.
aku mencarimu dalam tumpukan karton, ketika
kau pernah mencoretkan fragmenfragmen kartun:
menertawakan gambar sendiri. Aku mencarimu pada
pitapita kaset, pada tumpukan kertaskertas
bekas. Bahkan bayangbayang seperti berpendar
dalam air...
1989
- dorothea rosa herliany -
dan berdebu yang berserakan di lantai.
yang kutemukan hanya namanama kota tempat
kita pernah singgah, untuk kemudian bimbang
ke mana mesti pulang.
takkukenali lagi raut wajahmu: pada gelas.
ketika kau pernah berkata, “aku selalu dahaga.”
kemudian kupahami hanya garisgaris peta
yang kabur. juga namanama kota persinggahan,
bar, losmen, art gallery, dan tokotoko
bunga. segalanya hampir tak terbaca.
aku mencarimu dalam tumpukan karton, ketika
kau pernah mencoretkan fragmenfragmen kartun:
menertawakan gambar sendiri. Aku mencarimu pada
pitapita kaset, pada tumpukan kertaskertas
bekas. Bahkan bayangbayang seperti berpendar
dalam air...
1989
- dorothea rosa herliany -
jejakjejak
Terima kasih diantar pulang dan didengarkan unegunegku. Untuk saat ini biarkan aku seperti ini dulu. Biarkan aku menarik diriku. Aku butuh waktu untuk sembuh. Sejauh ini hanya hal ini yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa memaksa diriku untuk melakukan lebih dari hal ini. terima kasih...
Delivered to:
Pak Tani
10 Oct 2007
21:46:30
Aku memaafkanmu. Aku tahu aku marah kepadamu karena kamu menyerah begitu cepat dan egois. Tapi aku sadar, aku tidak akan pernah pulih dan sembuh jika tidak memaafkanmu. Ini juga untuk diriku. Aku juga minta maaf padamu. terima kasih. Selamat meluangkan waktu dengan keluarga...
Delivered to:
Pak Tani
12 Oct 2007
10: 00: 33
Terima kasih untuk semuanya...
Sender:
Pak Tani
12 Oct 2007
10:03:01
Take care. Bagaimanapun juga aku tidak mampu membencimu. Tidak akan pernah mampu. Tidak akan. Aku sangat sayang padamu. doaku selalu untukmu...
Delivered to:
Pak Tani
12 Oct 2007
10:05:47
Delivered to:
Pak Tani
10 Oct 2007
21:46:30
Aku memaafkanmu. Aku tahu aku marah kepadamu karena kamu menyerah begitu cepat dan egois. Tapi aku sadar, aku tidak akan pernah pulih dan sembuh jika tidak memaafkanmu. Ini juga untuk diriku. Aku juga minta maaf padamu. terima kasih. Selamat meluangkan waktu dengan keluarga...
Delivered to:
Pak Tani
12 Oct 2007
10: 00: 33
Terima kasih untuk semuanya...
Sender:
Pak Tani
12 Oct 2007
10:03:01
Take care. Bagaimanapun juga aku tidak mampu membencimu. Tidak akan pernah mampu. Tidak akan. Aku sangat sayang padamu. doaku selalu untukmu...
Delivered to:
Pak Tani
12 Oct 2007
10:05:47
Thursday, October 11, 2007
wajah somplak dan kepompong yang berdebu
saya bohong ketika saya bilang saya bisa melepaskannya. tidak. saya belum bisa. saya pikir saya baikbaik saja sejak sabtu kemarin, tapi ternyata tidak. saya tidak baikbaik saja. saya tidak baikbaik saja.
kemarin lihat apa yang saya lakukan. terbangun dengan mata bengkak karena menangis semalaman dan tertidur kelelahan karena itu sambil menceracau "saya tidak sanggup" entah pada siapa. pada Tuhan mungkin. sebelumnya, saya menangis sambil menelepon seorang sahabat dan hanya mengucapkan "aku tidak sanggup" berulangulang dengan terbatabata. sebelumnya lagi, saya berusaha menahan perasaan. berusaha untuk tidak memeluknya selama perjalanan pulang. berusaha untuk tetap tegar. berusaha menata hati dalam diam sambil menggigit bibir.
hari ini, masih terbangun dengan mata bengkak dan kelelahan menangis. hari ini saya pergi mengikuti kemana kaki saya mau pergi. berkeliling. naik turun bis. kemana saja tanpa tujuan. saya hanya ingin berlari. saya ingin bersembunyi. saya ingin masuk kembali ke dalam kepompong saya yang berdebu itu. saya ingin didekap hangat.
lihat apa yang saya lakukan, saya dengan enteng membeli buku seharga 132 ribu padahal saya tahu uang saya tinggal sedikit. saya tidak berpikir. saya tidak mau berpikir. kemudian tahutahu saya sudah mengantre membeli tiket pramex. kereta berangkat ke solo jam 13.15 tadi. dan saya ada di dalamnya. apa yang saya lakukan? saya tidak tahu. saya hanya ingin berlari jauh. jauh. menjauh dari apapun. berada di sebuah tempat asing untuk berpikir.
saat ini saya tidak ingin menjadi perempuan kuat. saya tidak sanggup. saya tidak sanggup. biarkan saya seperti ini dulu. biarkan saya masuk kembali ke dalam kepompong yang berdebu itu. biarkan saya menyembuhkan diri. saya butuh waktu. tolong jangan paksa saya. saat ini saya ingin menjadi seorang pengecut. seorang yang lemah. saya ingin tidak mengerti atas apa yang terjadi ini. biarkan saya marah. marah karena kenapa dia menyerah, kenapa dia memperlakukan saya seperti ini. saya tidak ingin mengerti saat ini. saya sudah capek. tolong biarkan saya seperti ini...
kemarin lihat apa yang saya lakukan. terbangun dengan mata bengkak karena menangis semalaman dan tertidur kelelahan karena itu sambil menceracau "saya tidak sanggup" entah pada siapa. pada Tuhan mungkin. sebelumnya, saya menangis sambil menelepon seorang sahabat dan hanya mengucapkan "aku tidak sanggup" berulangulang dengan terbatabata. sebelumnya lagi, saya berusaha menahan perasaan. berusaha untuk tidak memeluknya selama perjalanan pulang. berusaha untuk tetap tegar. berusaha menata hati dalam diam sambil menggigit bibir.
hari ini, masih terbangun dengan mata bengkak dan kelelahan menangis. hari ini saya pergi mengikuti kemana kaki saya mau pergi. berkeliling. naik turun bis. kemana saja tanpa tujuan. saya hanya ingin berlari. saya ingin bersembunyi. saya ingin masuk kembali ke dalam kepompong saya yang berdebu itu. saya ingin didekap hangat.
lihat apa yang saya lakukan, saya dengan enteng membeli buku seharga 132 ribu padahal saya tahu uang saya tinggal sedikit. saya tidak berpikir. saya tidak mau berpikir. kemudian tahutahu saya sudah mengantre membeli tiket pramex. kereta berangkat ke solo jam 13.15 tadi. dan saya ada di dalamnya. apa yang saya lakukan? saya tidak tahu. saya hanya ingin berlari jauh. jauh. menjauh dari apapun. berada di sebuah tempat asing untuk berpikir.
saat ini saya tidak ingin menjadi perempuan kuat. saya tidak sanggup. saya tidak sanggup. biarkan saya seperti ini dulu. biarkan saya masuk kembali ke dalam kepompong yang berdebu itu. biarkan saya menyembuhkan diri. saya butuh waktu. tolong jangan paksa saya. saat ini saya ingin menjadi seorang pengecut. seorang yang lemah. saya ingin tidak mengerti atas apa yang terjadi ini. biarkan saya marah. marah karena kenapa dia menyerah, kenapa dia memperlakukan saya seperti ini. saya tidak ingin mengerti saat ini. saya sudah capek. tolong biarkan saya seperti ini...
Saturday, October 6, 2007
i will remember you...
i will remember you
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
remember the good times that we had
let them slip away from us when things got bad
clearly i first saw you smiling in the sun
wanna feel your warmth upon me
i want to be the one
i will remember you
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
i'm so tired that i can't sleep
standing on the edge of something much too deep
it's funny how i feel so much yet cannot say a word
we are screaming inside oh we can't be heard
i will remember you
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
so afraid to love you more afraid to lose
clinging to a past that doesn't let me choose
where once there was a darkness, a deep and endless night
you gave me everything you had oh you gave me life
i will remember you
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
- sarah mclachlan -
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
remember the good times that we had
let them slip away from us when things got bad
clearly i first saw you smiling in the sun
wanna feel your warmth upon me
i want to be the one
i will remember you
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
i'm so tired that i can't sleep
standing on the edge of something much too deep
it's funny how i feel so much yet cannot say a word
we are screaming inside oh we can't be heard
i will remember you
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
so afraid to love you more afraid to lose
clinging to a past that doesn't let me choose
where once there was a darkness, a deep and endless night
you gave me everything you had oh you gave me life
i will remember you
will you remember me?
don't let your life pass you by
weep not for the memories
- sarah mclachlan -
let you go
semua sudah selesai. selamat berpisah. jaga dirimu baikbaik. jangan pernah menyerah untuk mimpimu. jangan.
sekarang aku tahu bagaimana melepaskanmu. pergilah. aku sayang sekali padamu...
sekarang aku tahu bagaimana melepaskanmu. pergilah. aku sayang sekali padamu...
Thursday, October 4, 2007
do what you have to do
what ravages of spirit
conjured this temptuous rage
created you a monster
broken by the rules of love
and fate has lead you through it
you do what you have to do
and fate has led you through it
you do what you have to do ...
and I have the sense to recognize that
I don't know how to let you go
every moment marked
with apparitions of your soul
I'm ever swiftly moving
trying to escape this desire
the yearning to be near you
I do what I have to do
the yearning to be near you
I do what I have to do
but I have the sense to recognize
that I don't know how
to let you go
I don't know how
to let you go
a glowing ember
burning hot
burning slow
deep within I'm shaken by the violence
of existing for only you
I know I can't be with you
I do what I have to do
I know I can't be with you
I do what I have to do
and I have sense to recognize but
I don't know how to let you go
I don't know how to let you go
I don't know how to let you go
- sarah mclachlan -
conjured this temptuous rage
created you a monster
broken by the rules of love
and fate has lead you through it
you do what you have to do
and fate has led you through it
you do what you have to do ...
and I have the sense to recognize that
I don't know how to let you go
every moment marked
with apparitions of your soul
I'm ever swiftly moving
trying to escape this desire
the yearning to be near you
I do what I have to do
the yearning to be near you
I do what I have to do
but I have the sense to recognize
that I don't know how
to let you go
I don't know how
to let you go
a glowing ember
burning hot
burning slow
deep within I'm shaken by the violence
of existing for only you
I know I can't be with you
I do what I have to do
I know I can't be with you
I do what I have to do
and I have sense to recognize but
I don't know how to let you go
I don't know how to let you go
I don't know how to let you go
- sarah mclachlan -
Sunday, September 30, 2007
27.09.07
terima kasih banyak untuk waktu yang diluangkan hari ini. baikbaik ya dengan dirimu. jangan menyerah untuk menghidupi mimpimu. terjal memang, tapi aku yakin kamu bisa. jangan menyerah ya. tolong. somehow, melihatmu bersemangat membuatku bersemangat pula. sayang sekali padamu...
sent to: you...
sent to: you...
Sunday, September 16, 2007
lanjut hidup...
saya melanjutkan hidup. saya tidak mau sedih terus. dia memang buta. saya tidak mau lamalama bersedih hanya karena orang buta yang tidak melihat saya di hadapannya dan menganggap apa yang saya rasakan tidak penting sama sekali. lanjut hidup seperti salah seorang sahabat saya bilang.
ika, take a sad song and make it better...
ika, take a sad song and make it better...
Friday, September 7, 2007
edge a.k.a. mary jane part 2
mungkin diriku bagimu tak ada artinya, oh tapi... kuingin sebaliknya... (atiek cb)
spiderman,
saya ingin sebaliknya. ya saya ingin sebaliknya. mungkin memang saya tidak cukup penting dibandingkan semua yang kamu jalani selama ini. mungkin saya memang tak ada artinya tapi tolong lihat saya. saya membutuhkanmu juga. saya kelelahan. tolong lihat saya juga. sebentar saja. secuil saja.
secuil saja. bisakah?...
spiderman,
saya ingin sebaliknya. ya saya ingin sebaliknya. mungkin memang saya tidak cukup penting dibandingkan semua yang kamu jalani selama ini. mungkin saya memang tak ada artinya tapi tolong lihat saya. saya membutuhkanmu juga. saya kelelahan. tolong lihat saya juga. sebentar saja. secuil saja.
secuil saja. bisakah?...
Friday, August 24, 2007
cukup adalah cukup
cukup. saya harus bisa mengatakan bahwa semuanya sudah cukup. cukup sesuai kapasitasnya. cukup. saya harus belajar untuk itu. belajar bahwa tidak semua hal seperti apa yg saya mau. bahwa semuanya sudah cukup. bahwa saya harus menerimanya. sekarang berhenti memandang ke belakang. lihat ke depan. lanjutkan hidup. berjalan terus...
Thursday, July 26, 2007
mary jane
saya mary jane. saya merasakan ada yang mulai kosong di hati saya. saya ingin mengatakan kepada spiderman bahwa saya menyayanginya tapi baginya itu tidak penting. saya ingin mengatakan kepada spiderman, bagaimana kabarnya hari ini. bagaimana kabar anak yang diselamatkannya dari kobaran api itu. bagaimana perasaannya hari ini. tapi itu semua tidak penting baginya. saya ingin mengajaknya istirahat sejenak dan membicarakan halhal yang sederhana tapi baginya itu tidak penting. semua yang keluar dari mulut saya tidak penting. semua yang saya pikirkan tidak penting.
saya mary jane. saya merindukan peter parker. merindukan kedekatan dan kehangatan itu. sekarang semua mulai berjarak. saya tidak mampu mengatakan apa yang saya inginkan dan yang saya rasakan karena itu tidak penting. lalu apa yang penting?
saya mengerti dan memahami bahwa menyelamatkan sesama dan dunia sangatlah penting. saya tahu dimana tempat saya berdiri dan mencoba untuk tidak masuk dan hanya melihat. saya hanya bisa memberi spiderman dukungan dan pelukan setelah ia melakukan tugas beratnya itu. sambil mengobrol mungkin. tapi baginya itu (sekali lagi) tidak penting.
saya seperti berjalan sendirian. saya mencari dia di sebelah saya tapi dia tidak ada. saya mencoba mengerti. saya tidak membutuhkan kebersamaan secara fisik 24 jam sehari, 7 hari seminggu. bukan itu. saya hanya ingin memiliki perasaan bahwa dia "ada", bahwa saya bisa berbagi dengannya dan bisa melepaskan semua pikiran dan penat tentang apapun tanpa merasa takut. tanpa merasa ragu, bahwa saya didengarkan dan juga mendengarkannya. saya hanya ingin itu. apakah itu salah?
maaf, spiderman bisa bicara sebentar?
aduh, mary jane aku tidak bisa. aku harus menyelamatkan dunia. lagipula apa sih yang mau kamu bicarakan? hanya itu kan? gampang lah.
saya hanya terdiam. kelu. pergilah. selamatkan dunia, itu lebih penting.
ah, saya kangen dengan peter parker...
saya mary jane. saya merindukan peter parker. merindukan kedekatan dan kehangatan itu. sekarang semua mulai berjarak. saya tidak mampu mengatakan apa yang saya inginkan dan yang saya rasakan karena itu tidak penting. lalu apa yang penting?
saya mengerti dan memahami bahwa menyelamatkan sesama dan dunia sangatlah penting. saya tahu dimana tempat saya berdiri dan mencoba untuk tidak masuk dan hanya melihat. saya hanya bisa memberi spiderman dukungan dan pelukan setelah ia melakukan tugas beratnya itu. sambil mengobrol mungkin. tapi baginya itu (sekali lagi) tidak penting.
saya seperti berjalan sendirian. saya mencari dia di sebelah saya tapi dia tidak ada. saya mencoba mengerti. saya tidak membutuhkan kebersamaan secara fisik 24 jam sehari, 7 hari seminggu. bukan itu. saya hanya ingin memiliki perasaan bahwa dia "ada", bahwa saya bisa berbagi dengannya dan bisa melepaskan semua pikiran dan penat tentang apapun tanpa merasa takut. tanpa merasa ragu, bahwa saya didengarkan dan juga mendengarkannya. saya hanya ingin itu. apakah itu salah?
maaf, spiderman bisa bicara sebentar?
aduh, mary jane aku tidak bisa. aku harus menyelamatkan dunia. lagipula apa sih yang mau kamu bicarakan? hanya itu kan? gampang lah.
saya hanya terdiam. kelu. pergilah. selamatkan dunia, itu lebih penting.
ah, saya kangen dengan peter parker...
Tuesday, July 24, 2007
la femme de Gilles: cinta total dari sudut sunyi...
Menonton film ini saya terpaku pada gambargambar indah dan secara fotografi sangat bagus. Saya berharap suatu saat nanti saya bisa memotret sebagus dan seindah itu. Sehidup itu. Suatu saat nanti. Gambargambar indah itu ternyata memang tidak seindah kisah yang dituturkannya. Tidak. Indah pada permukaan belum tentu berbanding lurus dengan kedalaman yang ada di baliknya. Sekali lagi tidak. Saya tertipu dengan gambargambar indah yang terentang di sepanjang film itu.
Kisah berputar pada cinta segitiga antara Lisa (Emmanuelle Devos), Gilles (Clovis Cornillac) dan Victorine (Laura Smet). Kisah cinta segitiga yang satu ini menjadi tidak biasa karena Lisa dan Victorine adalah kakak beradik sedangkan Gilles adalah suami Lisa (siapa yang kurang ajar di sini?). Inti dari cerita ini adalah pengorbanan tanpa pamrih dari seorang istri yang meskipun terluka oleh perselingkuhan suaminya, masih tetap berusaha menunjukkan cinta yang dalam kepada suaminya (for heaven’s sake! Please). Sebuah cinta yang total tanpa syarat kepada suaminya (not again!). Sebuah pengorbanan. Meski pada akhirnya semuanya memang ada batasnya dan ternyata mengejutkan bagaimana ia mengakhiri semuanya. Sebuah kisah cinta yang pelik.
Adalah Lisa yang menjadi penutur dalam film ini. Saya diajak untuk melihat kehidupannya dari kacamatanya. Ke-diam-annya, ekspresinya, dunia yang minim kata dari rumah tangganya, kehidupannya. Lisa, seorang ibu rumah tangga pada awalnya hidup berbahagia dengan suaminya Gilles, seorang pandai besi. Kehidupan rumah tangga mereka harmonis. Lisa adalah potret seorang perempuan yang tidak pernah neko-neko dan mendedikasikan hidupnya untuk keluarganya (saya sepertinya kenal perempuanperempuan jenis seperti ini). Ibu dan istri yang total. Badai mulai datang ketika sang suami, Gilles ternyata tertarik kepada Victorine yang tak lain adalah adik Lisa sendiri. Kemudaan dan keceriaan Victorine masuk ke dalam rumah mereka dan mulai memberi jarak di antara mereka. Jarak yang semakin lama semakin terentang seiring dengan Lisa mengetahui apa yang terjadi di balik punggungnya tersebut.
Lisa. Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya. Saya tidak tahu apa yang ada dalam kepalanya. Saya tidak tahu mengapa ia bertahan dalam dunia seperti itu. Ia berhak untuk mendapatkan yang terbaik. Untuk dirinya sebagai seorang perempuan, tentu saja. Tapi tampaknya menjadi perempuan sebenarbenarnya tidaklah sama dengan menjadi ibu dan istri yang baik. Tidak akan pernah sama. Saya tahu itu. Menjadi perempuan yang sebenarbenarnya bagi saya adalah benarbenar menjadi diri saya sendiri, menanggung semua hal yang telah saya putuskan dengan bertanggung jawab dan tidak lari dari resiko. Mengembangkan sayap saya dan mencoba mencari jalan untuk terbang. Kadang saya pikir saya terkesan terlampau egois dengan menurutkan semua ambisi pribadi dan terkesan tidak peduli dengan sekeliling saya. Saya tidak terlalu peduli meski sebenarnya peduli juga. Saya mendengarkan semua itu tapi tidak mau – serta merta- memasukkannya dalam pikiran saya. Saatsaat sekarang ini saya hanya mau menjadi diri saya saja. Maaf, bukan saya tidak peduli, saya hanya ingin menjadi seperti ini.
Maka ketika melihat Lisa, saya geram dan gemas. Ia harus bangkit berdiri dan menyatakan dirinya dan sikapnya pada Gilles. Kenapa ia diam saja? Saya sampai memakimaki ketika menonton film itu. Saya benarbenar tidak setuju dengan Lisa. Ia istri dan ibu yang jempolan tapi sebagai seorang perempuan ia kurang bisa berdiri tegak menatap Gilles dan bersikap tegas. Tidak. Seorang perempuan tidak boleh seperti itu. Tidak boleh. Saya sudah melihat Lisa dalam kehidupan saya seharihari. Dekat dan tidak berjarak. Ibu saya sendiri.
Cinta. Apakah itu alasannya? Cinta pada siapa? Pada Gilles? Pada anakanaknya? Atau cinta pada dirinya sendiri? Saya juga ingin bertanya mengenai hal itu kepada ibu saya, suatu saat nanti. Saya tahu mungkin selamanya saya tidak akan pernah mengerti jalan pikiran Lisa atau ibu saya atau Lisa Lisa yang lain. Menjadi ibu dan istri bagi mereka terasa begitu penting. Eksistensinya ditunjukkan dengan hal itu. Saya belum punya atau bahkan memang tidak punya kerelaan untuk itu. Mungkin memang tidak. Saya belum bisa mencintai dari sudut sunyi seperti Lisa. Sudut yang hampir tanpa kata. Tanpa mengeluh. Selalu bersabar. Tidak bisa.
Saya sangat terkesan dengan bagian akhir film ini. Bagian akhir dari film ini merupakan sebuah sentakan. Sebuah titik puncak dari kepenatan dan kesedihan yang tak pernah terungkapkan. Lisa akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan cara melompat dari jendela di lantai atas rumahnya ketika ia sedang menjemur pakaian. Bunuh diri. Meninggalkan warna putih terang yang menyilaukan. Akhirnya semua ada batasnya. Bom waktu. Meledak. Selesai.
Ah, Lisa. Ah, ibu saya. Tidak adakah keinginan kalian untuk menjadi seperti yang kalian inginkan? Ataukah kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan? Apakah kalian bahagia? Mencintai dari sudut yang hampir terlupakan seperti itu?
Lisa? Siapa yang hendak menjadi Lisa di jaman sekarang ini? Hmm... cinta total dari sudut sunyi...
Kisah berputar pada cinta segitiga antara Lisa (Emmanuelle Devos), Gilles (Clovis Cornillac) dan Victorine (Laura Smet). Kisah cinta segitiga yang satu ini menjadi tidak biasa karena Lisa dan Victorine adalah kakak beradik sedangkan Gilles adalah suami Lisa (siapa yang kurang ajar di sini?). Inti dari cerita ini adalah pengorbanan tanpa pamrih dari seorang istri yang meskipun terluka oleh perselingkuhan suaminya, masih tetap berusaha menunjukkan cinta yang dalam kepada suaminya (for heaven’s sake! Please). Sebuah cinta yang total tanpa syarat kepada suaminya (not again!). Sebuah pengorbanan. Meski pada akhirnya semuanya memang ada batasnya dan ternyata mengejutkan bagaimana ia mengakhiri semuanya. Sebuah kisah cinta yang pelik.
Adalah Lisa yang menjadi penutur dalam film ini. Saya diajak untuk melihat kehidupannya dari kacamatanya. Ke-diam-annya, ekspresinya, dunia yang minim kata dari rumah tangganya, kehidupannya. Lisa, seorang ibu rumah tangga pada awalnya hidup berbahagia dengan suaminya Gilles, seorang pandai besi. Kehidupan rumah tangga mereka harmonis. Lisa adalah potret seorang perempuan yang tidak pernah neko-neko dan mendedikasikan hidupnya untuk keluarganya (saya sepertinya kenal perempuanperempuan jenis seperti ini). Ibu dan istri yang total. Badai mulai datang ketika sang suami, Gilles ternyata tertarik kepada Victorine yang tak lain adalah adik Lisa sendiri. Kemudaan dan keceriaan Victorine masuk ke dalam rumah mereka dan mulai memberi jarak di antara mereka. Jarak yang semakin lama semakin terentang seiring dengan Lisa mengetahui apa yang terjadi di balik punggungnya tersebut.
Lisa. Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya. Saya tidak tahu apa yang ada dalam kepalanya. Saya tidak tahu mengapa ia bertahan dalam dunia seperti itu. Ia berhak untuk mendapatkan yang terbaik. Untuk dirinya sebagai seorang perempuan, tentu saja. Tapi tampaknya menjadi perempuan sebenarbenarnya tidaklah sama dengan menjadi ibu dan istri yang baik. Tidak akan pernah sama. Saya tahu itu. Menjadi perempuan yang sebenarbenarnya bagi saya adalah benarbenar menjadi diri saya sendiri, menanggung semua hal yang telah saya putuskan dengan bertanggung jawab dan tidak lari dari resiko. Mengembangkan sayap saya dan mencoba mencari jalan untuk terbang. Kadang saya pikir saya terkesan terlampau egois dengan menurutkan semua ambisi pribadi dan terkesan tidak peduli dengan sekeliling saya. Saya tidak terlalu peduli meski sebenarnya peduli juga. Saya mendengarkan semua itu tapi tidak mau – serta merta- memasukkannya dalam pikiran saya. Saatsaat sekarang ini saya hanya mau menjadi diri saya saja. Maaf, bukan saya tidak peduli, saya hanya ingin menjadi seperti ini.
Maka ketika melihat Lisa, saya geram dan gemas. Ia harus bangkit berdiri dan menyatakan dirinya dan sikapnya pada Gilles. Kenapa ia diam saja? Saya sampai memakimaki ketika menonton film itu. Saya benarbenar tidak setuju dengan Lisa. Ia istri dan ibu yang jempolan tapi sebagai seorang perempuan ia kurang bisa berdiri tegak menatap Gilles dan bersikap tegas. Tidak. Seorang perempuan tidak boleh seperti itu. Tidak boleh. Saya sudah melihat Lisa dalam kehidupan saya seharihari. Dekat dan tidak berjarak. Ibu saya sendiri.
Cinta. Apakah itu alasannya? Cinta pada siapa? Pada Gilles? Pada anakanaknya? Atau cinta pada dirinya sendiri? Saya juga ingin bertanya mengenai hal itu kepada ibu saya, suatu saat nanti. Saya tahu mungkin selamanya saya tidak akan pernah mengerti jalan pikiran Lisa atau ibu saya atau Lisa Lisa yang lain. Menjadi ibu dan istri bagi mereka terasa begitu penting. Eksistensinya ditunjukkan dengan hal itu. Saya belum punya atau bahkan memang tidak punya kerelaan untuk itu. Mungkin memang tidak. Saya belum bisa mencintai dari sudut sunyi seperti Lisa. Sudut yang hampir tanpa kata. Tanpa mengeluh. Selalu bersabar. Tidak bisa.
Saya sangat terkesan dengan bagian akhir film ini. Bagian akhir dari film ini merupakan sebuah sentakan. Sebuah titik puncak dari kepenatan dan kesedihan yang tak pernah terungkapkan. Lisa akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan cara melompat dari jendela di lantai atas rumahnya ketika ia sedang menjemur pakaian. Bunuh diri. Meninggalkan warna putih terang yang menyilaukan. Akhirnya semua ada batasnya. Bom waktu. Meledak. Selesai.
Ah, Lisa. Ah, ibu saya. Tidak adakah keinginan kalian untuk menjadi seperti yang kalian inginkan? Ataukah kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan? Apakah kalian bahagia? Mencintai dari sudut yang hampir terlupakan seperti itu?
Lisa? Siapa yang hendak menjadi Lisa di jaman sekarang ini? Hmm... cinta total dari sudut sunyi...
Saturday, July 21, 2007
travel is a good thing (especially for me)
travel is a good thing; it stimulates the imagination. everything else is a snare and a delusion. our own journey is entirely imaginative. therein lies its strenght.
it leads from life to death. men, beasts, cities, everything in it is imaginary. it's a novel, only a made up story. the dictionary says so and it's never wrong.
besides, everyone can go and like wise. shut your eyes, that's all that is necessary.
there you have life seen from the other side.
notre vie est un voyage
dans l'hiver et dans la nuit,
nous cherchons notre passage
dans le ciel ou rien ne luit
(Chanson des Gardes Suisses, 1973)
it leads from life to death. men, beasts, cities, everything in it is imaginary. it's a novel, only a made up story. the dictionary says so and it's never wrong.
besides, everyone can go and like wise. shut your eyes, that's all that is necessary.
there you have life seen from the other side.
notre vie est un voyage
dans l'hiver et dans la nuit,
nous cherchons notre passage
dans le ciel ou rien ne luit
(Chanson des Gardes Suisses, 1973)
Tuesday, July 17, 2007
jatuh (lagi)
duh, roller coaster lagi. lagi. butterfly effect lagi. dan lagi. perasaan itu mampir lagi setelah sekian tahun lalu. mengetuk pintu saya lagi. saya berdiri bingung di sini. tertegun. saat saya merasa semua berjarak (tepatnya saya yang mengambil jarak), perasaan itu malah menguat. dan di sinilah ia sekarang. di depan saya.
saya jatuh cinta lagi...
saya jatuh cinta lagi...
Friday, June 15, 2007
swirl...
the old pond -
a frog jumps in:
the sound of water
- basho
PS: mendengarkan yg tidak terdengar...
a frog jumps in:
the sound of water
- basho
PS: mendengarkan yg tidak terdengar...
Tuesday, May 29, 2007
bulan salju...
Bisik-bisik salju, tapi bukan suara salju
Di luar salju bulan menderu
Warna bulan itu putih
Tak setiap bangku punya kekasih
- D. Zawawi Imron -
Di luar salju bulan menderu
Warna bulan itu putih
Tak setiap bangku punya kekasih
- D. Zawawi Imron -
setelah hujan turun
Setelah hujan turun, seluruh permukaan bumi menjadi basah. Basah oleh setiap titik air yang sekitar beberapa jam yang lalu seperti ditumpahkan dari atas. Bress. Tapi semuanya sudah berhenti sekarang. Yang tertinggal hanyalah titik-titik air yang menggantung di pucuk daun-daun. Menetes tanpa beban ke atas tanah. Tes. Tes. Tes. Tanpa suara. Hmm.... sebenarnya lebih tepat hampir tanpa suara. Suara tetes air hujan yang menggantung di pucuk daun-daun itu begitu lirih sehingga ketika kau tidak mendengarkannya secara seksama maka kau tidak akan menangkap suaranya.
Aku suka suara tetesan air di pucuk-pucuk daun itu ketika menyentuh tanah. Merdu sekali di telingaku. Seperti sebuah simfoni. Seperti saat ini. Duduk mencangkung di terasku yang berdebu. Menatap daun-daun itu sambil mengharapkan mampu mendengar suara tetes air hujan. Suara tetes-tetes air yang mampu menjangkau kedalaman jiwaku. Mengetuknya perlahan. Memberi kententraman.
Aku membutuhkan ketentraman. Ya, paling tidak untuk hari ini. Hari ini adalah hari besar untukku. Hari ini aku mengakhiri hidup seseorang. Seseorang yang menghantuiku. Aku melakukannya dengan tanganku sendiri. Aku merasakan bagaimana darahnya mengucur deras membasahi wajahku. Mengalir turun membasuh tubuhku. Membuatnya menjadi merah. Warna merah yang kucari. Warna merah sempurna yang tidak ada duanya. Aku menikmatinya. Menikmati setiap detik nyawanya yang ditarik keluar perlahan. Mengelojot. Menggelepar. Mengejang. Ini seperti sebuah performance art. Indah. Memukau. Kadang kematian memang indah. Ya. Indah. Seperti beberapa saat lalu.
..........
Tanganku berbau amis. Sedikit memualkan. Darah yang ada di tanganku sudah mulai mengering. Aku beranjak berdiri. Melangkah ke belakang rumah menuju sumur. Genangan-genangan air sisa hujan tadi masih menggenang di sana-sini. Menimbulkan bunyi kecipak ketika kakiku menginjaknya.
Rasanya damai sekali ketika air sumur yang dingin mengenai kulitku. Warna merah muncul ketika air sumur itu membasuh tanganku. Merah yang tidak terlalu merah lagi seperti tadi. Sekarang lebih muda. Bercampur dengan air. Sekarang terbentuk aliran kecil mengular berwarna merah di sepanjang selokan kecil di samping sumur. Entah mengalir kemana. Aku tidak tahu. Apakah selokan kecil itu akan bertemu dengan sungai besar dan mengabarkan bahwa ada seseorang yang mati terbunuh dan darahnya sekarang sedang mewarnai aliran air yang mengular itu. Akankah kabar itu menyebar? Bahwa aku telah membunuh seseorang? Apa peduliku? Aku akan hadapi semuanya. Semuanya. Aku tidak takut. Ketakutan hanya menjadi penghalang bagiku. Aku sudah mengalahkan semua ketakutan itu.
Setelah tanganku bersih, aku segera menuju ke dalam rumah. Rumah ini menguarkan bau cendana. Bau yang khas. Bau ibuku. Meski bertahun-tahun telah terlampaui tetap saja bau itu tetap tertinggal di sini. Di setiap sudut kamar. Di setiap pojok ruangan. Menempel erat di setiap inci tembok dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sana. Kenanganku juga tertinggal di sana. Lekat. Erat. Kuat. Meski sekarang bau itu samar-samar bercampur dengan aroma amis darah yang memualkan. Mengganggu saja. Gerutuku jengkel dalam hati. Orang itu selalu saja. Bahkan dalam keadaan tak bernyawa pun ia masih saja menjengkelkan.
Bergegas aku menuju ke salah satu ruangan yang ada di rumah ini. Salah satu ruangan terbesar. Studio lukis ayahku. Sejak dulu aku tidak pernah suka berada di ruangan ini. Ruangan ini besar. Dengan langit-langit yang tinggi, jendela-jendela besar dari kayu jati menghadap kebun di halaman samping, lantai keramik yang retak di sana sini serta dinding kelabu yang dingin membuat ruangan ini sama sekali tidak ramah. Dingin dan berjarak. Aku selalu menggigil ketika memasuki ruangan ini. Sejak dulu saat aku kecil dan bahkan sampai saat ini.
Ruangan ini makin lama makin suram. Warna dindingnya menjadi semakin kelabu. Debu bertebaran dimana-mana. Sejumlah lukisan teronggok di pojokan. Tak terurus. Kotor dan kusam. Warna lukisan-lukisan itu sudah memudar tertutup debu. Lukisan-lukisan itu karya ayahku. Dulu begitu disanjungnya tapi sekarang lihat, tergolek tanpa daya, tertutup debu dan menjadi tak ubahnya barang rongsokan.
Di bagian lain ruangan ini tergantung lukisan yang sangat kukenal. Lukisan wajah seorang perempuan remaja. Ibuku. Wajahnya yang luruh dan redup menatap ke arahku. Matanya menatap lembut. Wajahnya masih cantik ketika dilukis. Ia pasti masih sangat muda kala itu. Ia masih begitu ceria dan bahagia. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Rona pipinya masih memerah. Gurat-gurat kesedihan di sekitar matanya belumlah nampak seperti terakhir kali aku melihatnya.
Aku tidak terlalu ingat kapan pertama kali aku melihat lukisan itu. Mungkin saat aku berusia empat tahun. Mungkin. Sejak pertama kali melihat lukisan itu aku sudah sangat menyukainya. Mungkin lukisan wajah ibuku itu adalah satu-satunya lukisan ayahku yang kusukai. Satu-satunya. Pertama dan terakhir.
Pandanganku kembali beredar memutari ruangan ini. Dan akhirnya pandanganku terhenti pada sesosok tubuh bersimbah darah yang tergolek bersandar di dinding yang sekarang tidak lagi berwarna kelabu melainkan berwarna merah darah. Matanya terpejam. Perutnya entah seperti apa bentuknya. Kedua tangannya terkulai di samping tubuhnya. Di sebelahnya bersandar sebidang kanvas besar dengan lukisan yang masih setengah jadi. Kanvas itu pun terkena bercak-bercak darah yang tak sengaja terciprat. Rambutnya yang panjang dan memutih di sana sini, tergerai kusut masai tak karuan. Ujung sebelah bawah sedikit berwarna merah. Huh, dia. Ya dia. Ia tak lagi bergerak. Napasnya sudah terbang beberapa saat yang lalu. Dunia sepertinya lebih tenang tanpa kehadirannya.
Kupandang ia sekali lagi. Pemandangan yang akan terekam kuat di kepalaku sampai kapanpun. Ia bersimbah darah di hadapanku. Hmm... Aku menarik napas dalam. Menghirup udara pengap dan dingin di ruangan ini yang bercampur dengan bau darah. Tidak terlalu mual seperti tadi. Agaknya aku sudah terbiasa. Baguslah. Paling tidak untuk beberapa jam ke depan. Aku masih ingin berada di sini. Menikmati semua kenangan yang tersisa di rumah ini. Untuk beberapa jam ke depan.
........................
Aku hanya bisa menutup telingaku rapatrapat. Suarasuara itu. Lenguhan. Desah napas memburu. Jeritan tertahan ditingkah suara tamparan dan pukulan. Makian kasar terlontar disela desah napas liar. Di ruangan sebelah entah apa yang sedang terjadi. Hanya Tuhan yang tahu dan aku.
Suarasuara itu menyiksaku. Setiap jeritan yang kudengar menusuk telingaku sampai pecah bernanah. Erang kesakitan yang kudengar dari ruang sebelah itu merontokkan jiwaku. Melumpuhkan kakiku. Membuatku tak mampu bergerak seincipun.
Kututup rapatrapat telingaku, setengah berharap suarasuara jahanam itu segera berlalu. Ingin aku masuk ke sana. Menghentikan semuanya. Tapi apa daya bocah seperti aku. Dengan tubuh ringkih tak berdaya untuk berbuat apapun.
Aku tahu apa yang terjadi di dalam sana. Aku tahu persis apa yang terjadi di sana. Aku tahu. Di dalam sana yang ada hanya perbudakan. Pelecehan besarbesaran yang pernah kusaksikan tanpa sengaja. Andai aku tak pernah menyaksikannya. Andai.
Malam itu secara tak sengaja aku menyaksikannya. Ibuku diseret masuk ke dalam ruang sebelah itu setelah pukulan demi pukulan menderanya. Pukulan yang diterima ibuku setiap hari. Pukulan tanda bahwa ia, lakilaki itu berkuasa atas ibuku. Ibuku menerimanya tanpa mengeluh sedikitpun. Tanpa kata. Pun ketika tubuhnya digelandang masuk ke dalam ruangan sebelah itu. Dilemparkan di atas kasur tua apak meruapkan bau tembakau tak sedap. Pekat menusuk hidung.
Ibuku ambruk tak berdaya di atas kasur tua itu. Lakilaki itu memburu ke arah ibuku. Membuka gaunnya dengan paksa. Napasnya mendengusdengus seperti seekor anjing buduk yang mengendus daging di tempat sampah. Lakilaki itu menindih ibuku. Mulutnya menyemburkan katakata yang bagiku mirip dengan sampah yang memenuhi sudut belakang rumah kami. Mirip. Bahkan menurutku lakilaki yang sedang menindih ibuku itu adalah bagian dari sampah yang teronggok di belakang rumah.
Ibuku masih tak berdaya. Terkangkang. Telanjang. Matanya hanya bisa menatap ke atas. Sementara lakilaki itu ada di atasnya. Air mata turun pelan di kedua pipinya. Aku tahu ia menahan sakit. Aku hanya bisa berdiri terpaku di sini. Berdiri di celah pintu yang tidak tertutup. Menatapnya ditikam binatang itu. Entah kenapa ia tidak melawan. Kenapa ia diam saja?
Tibatiba ia menoleh ke arah pintu. Tepat ke arah mataku. Ia menatapku. Aku menatapnya. Mata yang penuh dengan kesedihan itu menghujam masuk ke jantungku. Perih. Tinggalkan aku, Nak. Tidurlah. Mataku panas. Air mataku jatuh. Aku mundur dan menutup pintu. Meninggalkannya bersama lakilaki itu.
.........................
Untuk apa kau datang kemari? Tanyanya tanpa menatapku sedikitpun. Ia masih sibuk dengan lukisannya.
Kau tidak berhak datang lagi ke sini. Kau sudah kuusir pergi. Ujarnya dingin dan masih tidak beranjak dari kanvasnya. Memunggungiku. Aku tidak terlalu peduli.
Aku tahu. Aku hanya mengunjungi ibu dan menyelesaikan beberapa urusan di sini. Jangan kuatir, aku tidak akan berlamalama di sini. Kataku.
Tidak ada jawaban. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa bersuara.
Aku ingin bicara padamu. Kataku pelan. Ia tidak menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Masih tetap memunggungiku. Ia tidak peduli.
Dengan pelan kudekati dirinya.
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal.
Aku tidak peduli.
Aku tahu.
Jarakku dengannya tidak lagi jauh. Aku berdiri di sampingnya. Dengan cepat kuhunjamkan pisau yang sejak tadi kugenggam ke arah pinggangnya. Darah muncrat membasahi lantai. Ia terpekik. Kaget dan kesakitan. Ia goyah. Ia terjatuh dari kursinya.
Aku berdiri di depannya. Tidak bergerak. Hanya menatapnya. Pisauku berlumur darah. Ia mencoba berdiri memegangi pinggangnya yang berlumur darah. Kau. Ia berdiri. Mencoba menjauh. Aku berjalan mendekat. Kali ini pisauku menghunjam perutnya. Dalam. Kurasakan tanganku masuk ke dalam perutnya. Aku mau pisauku masuk sampai ke dalam sana. Kurasakan tamparan di kedua pipiku. Tamparan kuat yang kemudian melemah seiring dengan pisauku yang semakin masuk ke dalam dirinya. Cukup. Kutarik pisauku. Cukup.
Hujan turun. Deras. Bau tanah terkena hujan bercampur pekat dengan bau darah. Amis. Meruap di udara.
............................
Ibu membelai rambutku. Lembut. Dari mulutnya aku mendengar urouro pengantar tidur yang memang biasa ia nyanyikan sebelum aku tidur. Pelan, ia bersenandung. Rambutnya yang panjang tergerai dan sebagian jatuh ke atas wajahku. Membelai hidungku. Bau cendana. Bau khas ibu.
Kupejamkan mataku. Menikmati semuanya. Ibu. Pelukan hangatnya. Suaranya yang merdu mengiringiku dalam buaian. Membuai. Melambungkan aku jauh dari kenyataan. Menjauhkan aku dari setiap memar yang ada di setiap jengkal tubuh ibuku. Menjauhkan aku dari jangkauan lakilaki itu. Di sini yang ada hanyalah aku dan ibu. Dunia yang damai dan tenang. Dunia yang berwarna perak dan penuh pelangi. Dunia dimana senandung diperbolehkan dan suara perempuan didengarkan. Tak ada lagi tamparan. Tak ada lagi tendangan hanya karena tidak ada kopi di atas meja pada suatu sore. Tidak ada lagi malam penuh siksa dengan seekor anjing mengendusendus ganas di atas tubuh ibuku. Tidak ada lagi air mata. Lihatlah ibuku bahagia di sini. Lihatlah ia kembali menjadi cantik. Kerut di ujung matanya menghilang. Lihat matanya berseriseri. Lihat.
...................................
Kuturunkan lukisan wajah ibuku dari dinding. Hanya benda ini yang akan kubawa pergi. Ibuku.
Kututup pintu depan. Perlahan aku berjalan menuju ke arah pagar. Sebelum pergi kupandangi rumah itu. Rumah dimana semua kenangan dan mimpi buruk itu terjadi.
Selamat tinggal. Semua sudah selesai. Mimpi buruk sudah berakhir. Aku pergi.
...................................
Matanya nanar menatapku. Tak percaya. Kau. Mulutnya membuka mengeja namaku. Terpatah-patah. Ia memegangi perutnya yang terbuka. Darah menyembur keluar tanpa kendali. Menyembur. Memancar seperti pancuran di depan rumah kami. Kali ini berwarna merah. Ia terhuyung-huyung. Dan akhirnya jatuh tersungkur ke atas lantai. Tangannya menudingku. Bola matanya menatapku lekat.
Mengapa?
Aku hanya tersenyum. Senyum yang entah bagaimana caranya kembali lagi ke dalam diriku setelah sekian belas tahun menghilang.
Apakah ini semua membutuhkan jawaban? Balasku.
Ya.
Kudekati ia. Duduk di hadapannya. Kutatap matanya. Mata yang telah bertahun-tahun memenjarakan aku ke dalam kesedihan dan keputusasaan tanpa batas. Menghantuiku. Mengikutiku kemanapun aku pergi.
Ibu. Jawabku. Akhirnya.
Ia menatapku lagi. Kali ini ia hanya diam. Matanya memancarkan suatu pemahaman akan jawabanku tadi. Ia memejamkan matanya. Dengan susah payah ia berusaha menyandarkan tubuhnya di dinding. Darah semakin lama semakin membanjir. Ia tak akan lama bertahan.
Ibumu. Kau benar. Ini untuk ibumu. Tidakkah untukmu juga? Sebuah pembalasan?
Ia tahu. Aku hanya tertawa. Ya. Ini untukku juga. Pembebasan jiwaku yang sekian lama terkurung dalam ketakutan. Kau tahu.
Ia hanya menghela napas. Napasnya kian berat. Satu. Satu. Dadanya naik turun dengan berat. Nyawanya sudah mulai memanjat naik ke tenggorokannya. Aku tinggal menunggu saatnya. Aku akan sabar menunggunya. Aku menikmati hal ini.
Kau puas? Tanyanya dengan terengah. Nyawanya sudah ada di ujung anak tekak sekarang.
Ya.
Sekarang nyawanya sudah berada di ujung lidah dan napasnya pun berhenti bersamaan dengan matanya yang menutup. Akhirnya. Aku terbebas.
Sampaikan salamku untuk ibu jika kau berjumpa dengannya di sana. Aku rindu padanya.
..................
Sudah selesai. Aku bebas.
Ia. Laki-laki itu. Ayahku.
FIN
05.03.07 22.24...
Aku suka suara tetesan air di pucuk-pucuk daun itu ketika menyentuh tanah. Merdu sekali di telingaku. Seperti sebuah simfoni. Seperti saat ini. Duduk mencangkung di terasku yang berdebu. Menatap daun-daun itu sambil mengharapkan mampu mendengar suara tetes air hujan. Suara tetes-tetes air yang mampu menjangkau kedalaman jiwaku. Mengetuknya perlahan. Memberi kententraman.
Aku membutuhkan ketentraman. Ya, paling tidak untuk hari ini. Hari ini adalah hari besar untukku. Hari ini aku mengakhiri hidup seseorang. Seseorang yang menghantuiku. Aku melakukannya dengan tanganku sendiri. Aku merasakan bagaimana darahnya mengucur deras membasahi wajahku. Mengalir turun membasuh tubuhku. Membuatnya menjadi merah. Warna merah yang kucari. Warna merah sempurna yang tidak ada duanya. Aku menikmatinya. Menikmati setiap detik nyawanya yang ditarik keluar perlahan. Mengelojot. Menggelepar. Mengejang. Ini seperti sebuah performance art. Indah. Memukau. Kadang kematian memang indah. Ya. Indah. Seperti beberapa saat lalu.
..........
Tanganku berbau amis. Sedikit memualkan. Darah yang ada di tanganku sudah mulai mengering. Aku beranjak berdiri. Melangkah ke belakang rumah menuju sumur. Genangan-genangan air sisa hujan tadi masih menggenang di sana-sini. Menimbulkan bunyi kecipak ketika kakiku menginjaknya.
Rasanya damai sekali ketika air sumur yang dingin mengenai kulitku. Warna merah muncul ketika air sumur itu membasuh tanganku. Merah yang tidak terlalu merah lagi seperti tadi. Sekarang lebih muda. Bercampur dengan air. Sekarang terbentuk aliran kecil mengular berwarna merah di sepanjang selokan kecil di samping sumur. Entah mengalir kemana. Aku tidak tahu. Apakah selokan kecil itu akan bertemu dengan sungai besar dan mengabarkan bahwa ada seseorang yang mati terbunuh dan darahnya sekarang sedang mewarnai aliran air yang mengular itu. Akankah kabar itu menyebar? Bahwa aku telah membunuh seseorang? Apa peduliku? Aku akan hadapi semuanya. Semuanya. Aku tidak takut. Ketakutan hanya menjadi penghalang bagiku. Aku sudah mengalahkan semua ketakutan itu.
Setelah tanganku bersih, aku segera menuju ke dalam rumah. Rumah ini menguarkan bau cendana. Bau yang khas. Bau ibuku. Meski bertahun-tahun telah terlampaui tetap saja bau itu tetap tertinggal di sini. Di setiap sudut kamar. Di setiap pojok ruangan. Menempel erat di setiap inci tembok dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sana. Kenanganku juga tertinggal di sana. Lekat. Erat. Kuat. Meski sekarang bau itu samar-samar bercampur dengan aroma amis darah yang memualkan. Mengganggu saja. Gerutuku jengkel dalam hati. Orang itu selalu saja. Bahkan dalam keadaan tak bernyawa pun ia masih saja menjengkelkan.
Bergegas aku menuju ke salah satu ruangan yang ada di rumah ini. Salah satu ruangan terbesar. Studio lukis ayahku. Sejak dulu aku tidak pernah suka berada di ruangan ini. Ruangan ini besar. Dengan langit-langit yang tinggi, jendela-jendela besar dari kayu jati menghadap kebun di halaman samping, lantai keramik yang retak di sana sini serta dinding kelabu yang dingin membuat ruangan ini sama sekali tidak ramah. Dingin dan berjarak. Aku selalu menggigil ketika memasuki ruangan ini. Sejak dulu saat aku kecil dan bahkan sampai saat ini.
Ruangan ini makin lama makin suram. Warna dindingnya menjadi semakin kelabu. Debu bertebaran dimana-mana. Sejumlah lukisan teronggok di pojokan. Tak terurus. Kotor dan kusam. Warna lukisan-lukisan itu sudah memudar tertutup debu. Lukisan-lukisan itu karya ayahku. Dulu begitu disanjungnya tapi sekarang lihat, tergolek tanpa daya, tertutup debu dan menjadi tak ubahnya barang rongsokan.
Di bagian lain ruangan ini tergantung lukisan yang sangat kukenal. Lukisan wajah seorang perempuan remaja. Ibuku. Wajahnya yang luruh dan redup menatap ke arahku. Matanya menatap lembut. Wajahnya masih cantik ketika dilukis. Ia pasti masih sangat muda kala itu. Ia masih begitu ceria dan bahagia. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Rona pipinya masih memerah. Gurat-gurat kesedihan di sekitar matanya belumlah nampak seperti terakhir kali aku melihatnya.
Aku tidak terlalu ingat kapan pertama kali aku melihat lukisan itu. Mungkin saat aku berusia empat tahun. Mungkin. Sejak pertama kali melihat lukisan itu aku sudah sangat menyukainya. Mungkin lukisan wajah ibuku itu adalah satu-satunya lukisan ayahku yang kusukai. Satu-satunya. Pertama dan terakhir.
Pandanganku kembali beredar memutari ruangan ini. Dan akhirnya pandanganku terhenti pada sesosok tubuh bersimbah darah yang tergolek bersandar di dinding yang sekarang tidak lagi berwarna kelabu melainkan berwarna merah darah. Matanya terpejam. Perutnya entah seperti apa bentuknya. Kedua tangannya terkulai di samping tubuhnya. Di sebelahnya bersandar sebidang kanvas besar dengan lukisan yang masih setengah jadi. Kanvas itu pun terkena bercak-bercak darah yang tak sengaja terciprat. Rambutnya yang panjang dan memutih di sana sini, tergerai kusut masai tak karuan. Ujung sebelah bawah sedikit berwarna merah. Huh, dia. Ya dia. Ia tak lagi bergerak. Napasnya sudah terbang beberapa saat yang lalu. Dunia sepertinya lebih tenang tanpa kehadirannya.
Kupandang ia sekali lagi. Pemandangan yang akan terekam kuat di kepalaku sampai kapanpun. Ia bersimbah darah di hadapanku. Hmm... Aku menarik napas dalam. Menghirup udara pengap dan dingin di ruangan ini yang bercampur dengan bau darah. Tidak terlalu mual seperti tadi. Agaknya aku sudah terbiasa. Baguslah. Paling tidak untuk beberapa jam ke depan. Aku masih ingin berada di sini. Menikmati semua kenangan yang tersisa di rumah ini. Untuk beberapa jam ke depan.
........................
Aku hanya bisa menutup telingaku rapatrapat. Suarasuara itu. Lenguhan. Desah napas memburu. Jeritan tertahan ditingkah suara tamparan dan pukulan. Makian kasar terlontar disela desah napas liar. Di ruangan sebelah entah apa yang sedang terjadi. Hanya Tuhan yang tahu dan aku.
Suarasuara itu menyiksaku. Setiap jeritan yang kudengar menusuk telingaku sampai pecah bernanah. Erang kesakitan yang kudengar dari ruang sebelah itu merontokkan jiwaku. Melumpuhkan kakiku. Membuatku tak mampu bergerak seincipun.
Kututup rapatrapat telingaku, setengah berharap suarasuara jahanam itu segera berlalu. Ingin aku masuk ke sana. Menghentikan semuanya. Tapi apa daya bocah seperti aku. Dengan tubuh ringkih tak berdaya untuk berbuat apapun.
Aku tahu apa yang terjadi di dalam sana. Aku tahu persis apa yang terjadi di sana. Aku tahu. Di dalam sana yang ada hanya perbudakan. Pelecehan besarbesaran yang pernah kusaksikan tanpa sengaja. Andai aku tak pernah menyaksikannya. Andai.
Malam itu secara tak sengaja aku menyaksikannya. Ibuku diseret masuk ke dalam ruang sebelah itu setelah pukulan demi pukulan menderanya. Pukulan yang diterima ibuku setiap hari. Pukulan tanda bahwa ia, lakilaki itu berkuasa atas ibuku. Ibuku menerimanya tanpa mengeluh sedikitpun. Tanpa kata. Pun ketika tubuhnya digelandang masuk ke dalam ruangan sebelah itu. Dilemparkan di atas kasur tua apak meruapkan bau tembakau tak sedap. Pekat menusuk hidung.
Ibuku ambruk tak berdaya di atas kasur tua itu. Lakilaki itu memburu ke arah ibuku. Membuka gaunnya dengan paksa. Napasnya mendengusdengus seperti seekor anjing buduk yang mengendus daging di tempat sampah. Lakilaki itu menindih ibuku. Mulutnya menyemburkan katakata yang bagiku mirip dengan sampah yang memenuhi sudut belakang rumah kami. Mirip. Bahkan menurutku lakilaki yang sedang menindih ibuku itu adalah bagian dari sampah yang teronggok di belakang rumah.
Ibuku masih tak berdaya. Terkangkang. Telanjang. Matanya hanya bisa menatap ke atas. Sementara lakilaki itu ada di atasnya. Air mata turun pelan di kedua pipinya. Aku tahu ia menahan sakit. Aku hanya bisa berdiri terpaku di sini. Berdiri di celah pintu yang tidak tertutup. Menatapnya ditikam binatang itu. Entah kenapa ia tidak melawan. Kenapa ia diam saja?
Tibatiba ia menoleh ke arah pintu. Tepat ke arah mataku. Ia menatapku. Aku menatapnya. Mata yang penuh dengan kesedihan itu menghujam masuk ke jantungku. Perih. Tinggalkan aku, Nak. Tidurlah. Mataku panas. Air mataku jatuh. Aku mundur dan menutup pintu. Meninggalkannya bersama lakilaki itu.
.........................
Untuk apa kau datang kemari? Tanyanya tanpa menatapku sedikitpun. Ia masih sibuk dengan lukisannya.
Kau tidak berhak datang lagi ke sini. Kau sudah kuusir pergi. Ujarnya dingin dan masih tidak beranjak dari kanvasnya. Memunggungiku. Aku tidak terlalu peduli.
Aku tahu. Aku hanya mengunjungi ibu dan menyelesaikan beberapa urusan di sini. Jangan kuatir, aku tidak akan berlamalama di sini. Kataku.
Tidak ada jawaban. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa bersuara.
Aku ingin bicara padamu. Kataku pelan. Ia tidak menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Masih tetap memunggungiku. Ia tidak peduli.
Dengan pelan kudekati dirinya.
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal.
Aku tidak peduli.
Aku tahu.
Jarakku dengannya tidak lagi jauh. Aku berdiri di sampingnya. Dengan cepat kuhunjamkan pisau yang sejak tadi kugenggam ke arah pinggangnya. Darah muncrat membasahi lantai. Ia terpekik. Kaget dan kesakitan. Ia goyah. Ia terjatuh dari kursinya.
Aku berdiri di depannya. Tidak bergerak. Hanya menatapnya. Pisauku berlumur darah. Ia mencoba berdiri memegangi pinggangnya yang berlumur darah. Kau. Ia berdiri. Mencoba menjauh. Aku berjalan mendekat. Kali ini pisauku menghunjam perutnya. Dalam. Kurasakan tanganku masuk ke dalam perutnya. Aku mau pisauku masuk sampai ke dalam sana. Kurasakan tamparan di kedua pipiku. Tamparan kuat yang kemudian melemah seiring dengan pisauku yang semakin masuk ke dalam dirinya. Cukup. Kutarik pisauku. Cukup.
Hujan turun. Deras. Bau tanah terkena hujan bercampur pekat dengan bau darah. Amis. Meruap di udara.
............................
Ibu membelai rambutku. Lembut. Dari mulutnya aku mendengar urouro pengantar tidur yang memang biasa ia nyanyikan sebelum aku tidur. Pelan, ia bersenandung. Rambutnya yang panjang tergerai dan sebagian jatuh ke atas wajahku. Membelai hidungku. Bau cendana. Bau khas ibu.
Kupejamkan mataku. Menikmati semuanya. Ibu. Pelukan hangatnya. Suaranya yang merdu mengiringiku dalam buaian. Membuai. Melambungkan aku jauh dari kenyataan. Menjauhkan aku dari setiap memar yang ada di setiap jengkal tubuh ibuku. Menjauhkan aku dari jangkauan lakilaki itu. Di sini yang ada hanyalah aku dan ibu. Dunia yang damai dan tenang. Dunia yang berwarna perak dan penuh pelangi. Dunia dimana senandung diperbolehkan dan suara perempuan didengarkan. Tak ada lagi tamparan. Tak ada lagi tendangan hanya karena tidak ada kopi di atas meja pada suatu sore. Tidak ada lagi malam penuh siksa dengan seekor anjing mengendusendus ganas di atas tubuh ibuku. Tidak ada lagi air mata. Lihatlah ibuku bahagia di sini. Lihatlah ia kembali menjadi cantik. Kerut di ujung matanya menghilang. Lihat matanya berseriseri. Lihat.
...................................
Kuturunkan lukisan wajah ibuku dari dinding. Hanya benda ini yang akan kubawa pergi. Ibuku.
Kututup pintu depan. Perlahan aku berjalan menuju ke arah pagar. Sebelum pergi kupandangi rumah itu. Rumah dimana semua kenangan dan mimpi buruk itu terjadi.
Selamat tinggal. Semua sudah selesai. Mimpi buruk sudah berakhir. Aku pergi.
...................................
Matanya nanar menatapku. Tak percaya. Kau. Mulutnya membuka mengeja namaku. Terpatah-patah. Ia memegangi perutnya yang terbuka. Darah menyembur keluar tanpa kendali. Menyembur. Memancar seperti pancuran di depan rumah kami. Kali ini berwarna merah. Ia terhuyung-huyung. Dan akhirnya jatuh tersungkur ke atas lantai. Tangannya menudingku. Bola matanya menatapku lekat.
Mengapa?
Aku hanya tersenyum. Senyum yang entah bagaimana caranya kembali lagi ke dalam diriku setelah sekian belas tahun menghilang.
Apakah ini semua membutuhkan jawaban? Balasku.
Ya.
Kudekati ia. Duduk di hadapannya. Kutatap matanya. Mata yang telah bertahun-tahun memenjarakan aku ke dalam kesedihan dan keputusasaan tanpa batas. Menghantuiku. Mengikutiku kemanapun aku pergi.
Ibu. Jawabku. Akhirnya.
Ia menatapku lagi. Kali ini ia hanya diam. Matanya memancarkan suatu pemahaman akan jawabanku tadi. Ia memejamkan matanya. Dengan susah payah ia berusaha menyandarkan tubuhnya di dinding. Darah semakin lama semakin membanjir. Ia tak akan lama bertahan.
Ibumu. Kau benar. Ini untuk ibumu. Tidakkah untukmu juga? Sebuah pembalasan?
Ia tahu. Aku hanya tertawa. Ya. Ini untukku juga. Pembebasan jiwaku yang sekian lama terkurung dalam ketakutan. Kau tahu.
Ia hanya menghela napas. Napasnya kian berat. Satu. Satu. Dadanya naik turun dengan berat. Nyawanya sudah mulai memanjat naik ke tenggorokannya. Aku tinggal menunggu saatnya. Aku akan sabar menunggunya. Aku menikmati hal ini.
Kau puas? Tanyanya dengan terengah. Nyawanya sudah ada di ujung anak tekak sekarang.
Ya.
Sekarang nyawanya sudah berada di ujung lidah dan napasnya pun berhenti bersamaan dengan matanya yang menutup. Akhirnya. Aku terbebas.
Sampaikan salamku untuk ibu jika kau berjumpa dengannya di sana. Aku rindu padanya.
..................
Sudah selesai. Aku bebas.
Ia. Laki-laki itu. Ayahku.
FIN
05.03.07 22.24...
Saturday, May 26, 2007
aku, kamu dan percakapan kita sore tadi...
Kamu : hidup menuju kematian, kenapa takut? Hari ini aku datang ke pemakaman mbahnya Slamet. Aku membayangkan kalau itu adalah aku. Berat rasanya.
Kamu : aku tidak bisa tenang lagi menunggu hasil tes!
Kamu : Oya, besok kamu mengajar kan? Aku mau ngobrol denganmu serius tentang hasil tesku. Rencananya jam 1. bagaimana?
Aku : besok setelah aku mengajar ya...
Aku : aku tidak tahu harus bilang apa. Katakata hanya akan menjadi klise tapi aku cuma bilang kalau aku tidak meninggalkanmu. Apapun hasil tesmu. Aku tidak berjanji tapi aku berusaha. Aku sudah mempersiapkan diri untuk hasil terburuk.
Kamu : terima kasih. Aku tidak bisa tenang. Aku takut kamu akan pergi. kalau HIVnya, itu adalah buah dari masa laluku. Aku ingin memelukmu. Boleh tidak?
Aku : silakan. Dengan senang hati...
Kamu : besok apapun hasilnya. Positif atau negatif, aku masih tetap boleh memelukmu to? Menciummu?
Aku : boleh...
Kamu : kamu tidak takut?
Aku : kalau kamu positif, tentu saja ada batasnya. Kau tidak mau membunuhku kan?
Aku : aku tidak bilang bahwa aku tidak takut. Aku hanya manusia biasa. Yang coba kulakukan adalah menghadapinya. Melihatnya lebih dekat. Itu saja.
Kamu : gila jika ketika aku tahu bahwa aku positif terus mau menularkan itu ke kamu! Aku tidak sejahat itu. Mungkin aku akan memilih pergi saja. Aku tidak mau menjadi beban untukmu.
Aku : aku menghormati setiap keputusan yang kau ambil. Apapun itu. Kalau kau pikir pergi adalah jalan terbaik, aku hanya bisa membiarkanmu. Tapi jika kau memutuskan untuk tinggal, kau tahu dimana mencariku...
Kamu : kita lihat saja besok. Tapi tetap saja aku takut! Tolong sampaikan pada Tuhanmu barangkali dia mau mendengar doa untuk orang yang tidak percaya dengan keberadaanNya...
Aku : dia mendengar kok. Jangan kuatir. Dia mendengarkanmu bahkan sebelum kau minta dia mendengarkanmu. Dia mengirim aku untuk memelukmu ;-)
Kamu : aku baca buku saja dulu ya. Barangkali bisa sedikit membantu mengalihkan kekuatiranku. Sampai bertemu besok ya...
24.05.07 21.07...
Kamu : aku tidak bisa tenang lagi menunggu hasil tes!
Kamu : Oya, besok kamu mengajar kan? Aku mau ngobrol denganmu serius tentang hasil tesku. Rencananya jam 1. bagaimana?
Aku : besok setelah aku mengajar ya...
Aku : aku tidak tahu harus bilang apa. Katakata hanya akan menjadi klise tapi aku cuma bilang kalau aku tidak meninggalkanmu. Apapun hasil tesmu. Aku tidak berjanji tapi aku berusaha. Aku sudah mempersiapkan diri untuk hasil terburuk.
Kamu : terima kasih. Aku tidak bisa tenang. Aku takut kamu akan pergi. kalau HIVnya, itu adalah buah dari masa laluku. Aku ingin memelukmu. Boleh tidak?
Aku : silakan. Dengan senang hati...
Kamu : besok apapun hasilnya. Positif atau negatif, aku masih tetap boleh memelukmu to? Menciummu?
Aku : boleh...
Kamu : kamu tidak takut?
Aku : kalau kamu positif, tentu saja ada batasnya. Kau tidak mau membunuhku kan?
Aku : aku tidak bilang bahwa aku tidak takut. Aku hanya manusia biasa. Yang coba kulakukan adalah menghadapinya. Melihatnya lebih dekat. Itu saja.
Kamu : gila jika ketika aku tahu bahwa aku positif terus mau menularkan itu ke kamu! Aku tidak sejahat itu. Mungkin aku akan memilih pergi saja. Aku tidak mau menjadi beban untukmu.
Aku : aku menghormati setiap keputusan yang kau ambil. Apapun itu. Kalau kau pikir pergi adalah jalan terbaik, aku hanya bisa membiarkanmu. Tapi jika kau memutuskan untuk tinggal, kau tahu dimana mencariku...
Kamu : kita lihat saja besok. Tapi tetap saja aku takut! Tolong sampaikan pada Tuhanmu barangkali dia mau mendengar doa untuk orang yang tidak percaya dengan keberadaanNya...
Aku : dia mendengar kok. Jangan kuatir. Dia mendengarkanmu bahkan sebelum kau minta dia mendengarkanmu. Dia mengirim aku untuk memelukmu ;-)
Kamu : aku baca buku saja dulu ya. Barangkali bisa sedikit membantu mengalihkan kekuatiranku. Sampai bertemu besok ya...
24.05.07 21.07...
Thursday, May 24, 2007
shadows...
saya sayang kamu. jangan takut... hanya itu yang bisa saya katakan saat ini. jangan takut...
Wednesday, May 16, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)